Reportase Pertemuan Evaluasi SKDR Nasional 2022: Pemanfaatan Kode ICD-10 Sebagai Dasar Standarisasi Klasifikasi Pencatatan dan Pelaporan

3oktKegiatan Evaluasi Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR) Nasional diadakan pada tanggal 28 – 30 September 2022 di Hotel Harris Summarecon, Bekasi, Jawa Barat.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK), Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes RI sebagai bentuk evaluasi tahunan kegiatan deteksi dini dan respon penyakit berpotensi wabah melalui aplikasi SKDR. Selain dihadiri oleh PKMK FK-KMK UGM, juga dihadiri development partners yang lain seperti WHO, AISPH, JICA, dan lain sebagainya.

 

Terdapat 24 penyakit infeksi menular yang dilaporkan secara mingguan ke dalam aplikasi SKDR yang didasarkan kepada definisi operasional penyakit yang telah ditetapkan oleh Tim Kerja Surveilans, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan.

Definisi operasional tersebut mudah dipahami oleh tenaga kesehatan dengan latar belakang klinis seperti dokter umum, namun seringkali tenaga unit pelapor ke dalam aplikasi SKDR merupakan seorang tenaga surveilans tanpa pengetahuan klinis. Masalah definisi operasional penyakit dalam kegiatan surveilans penyakit infeksi menular yang tidak terstandar juga dialami oleh negara lainnya, sehingga digunakanlah kode International Classification of Disease (ICD) yang telah dikembangkan oleh WHO.

Beberapa puskesmas juga dilaporkan mulai menggunakan kode ICD-10 yang diinput oleh dokter umum ke dalam rekam medis sebagai acuan untuk melakukan pelaporan surveilans mingguan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat standar yang berbeda yang digunakan oleh puskesmas dalam menentukan kategori penyakit yang akan dilaporkan.

Hal di atas disampaikan oleh dr. Hardantyo Puspo Wardoyo, MPH, PhD. pada acara Pertemuan Evaluasi SKDR Nasional 2022 sebagai salah satu narasumber untuk membawakan makalah dengan tema Padanan Kode Penyakit untuk pelaporan didalam SKDR dan ICD-10. Makalah ini merupakan salah satu hasil kegiatan program INSPIRASI yang merupakan kerja sama antara CDC, PKMK FK-KMK UGM, Yayasan Project HOPE, dan Kementerian Kesehatan.

Pelaporan surveilans harus dipastikan terstandar dan seragam dari unit pelapor sehingga dapat memberikan data yang berkualitas. Data yang berkualitis sangatlah penting dalam menentukan KLB di berbagai tingkatan dan dalam analisis surveilans untuk mencegah terjadinya KLB di masa depan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk memastikan pelaporan terstandar, salah satunya adalah menggunakan kode klasifikasi penyakit. Kode klasifikasi penyakit yang banyak digunakan saat ini adalah International Classification of Disease versi 10 atau ICD-10 yang juga digunakan oleh BPJS Kesehatan untuk klaim asuransi Jaminan Kesehatan Nasional.

Beberapa studi validasi terhadap kode ICD-10 sudah dilakukan di berbagai negara dan pada beberapa penyakit infeksi menular. Studi di Jerman memvalidasi beberapa kode ICD-10 dari rumah sakit untuk surveilans penyakit severe acute respiratory infection (SARI) (1). Di Australia juga dilakukan validasi untuk mencari kode ICD-10 yang banyak digunakan untuk pelaporan influenza-like illness (2).

Pemaparan ini cukup mendapatkan perhatian di antara peserta dan mengungkapkan bahwa dibutuhkan standarisasi kode yang mudah dipahami tenaga lapangan dalam melaporkan data surveilans penyakit yang berkualitas secara mingguan. Namun juga memberikan masukan jika kode juga dapat bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Inisiatif ini kemudian akan dilanjutkan dengan validasi daftar kode ICD-10 yang telah dibuat untuk kemudian dibandingkan dengan data SKDR untuk mencari kode yang memiliki korelasi positif untuk ditetapkan sebagai kode untuk surveilans penyakit infeksi menular.

Selain pemaparan makalah dari PKMK FK-KMK UGM, sesi seminar juga diisi dengan pemaparan dari WHO terkait pemanfaatan Event-Based Surveillance (EBS) yang merupakan salah satu implementasi surveilans berbasis kejadian yang real-time dan harus dilaporkan dalam waktu 24 jam. EBS menghimpun informasi berdasarkan rumor di masyarakat dan juga media massa lokal untuk segera dikonfirmasi oleh petugas surveilans di puskesmas setempat. Selain itu juga ada pemaparan dari drh. Endang Burni Prasetyowati, M.Kes terkait evaluasi SKDR di seluruh Indonesia.

Reporter:
dr. Aldilas Achmad Nursetyo, M.Sc (Peneliti Divisi Manajemen Mutu PKMK FK-KMK UGM)