Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Reportase Forum Mutu IHQN Hari II Sesi 1

Sesi 1

IQHN - Yogyakarta. Forum mutu kali ini mengangkat tema celah kecurangan fraud dalam pelayanan pasien COVID-19. COVID-19 tidak hanya sebatas bencana tetapi mempunyai dampak yang sangat luas terhadap tata kelola klinis dan tata kelola manajemen. Diharapkan penguatan layanan kesehatan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta dan masyarakat. Narasumber pertama, Dra. Reni Kusumawardhani, M.Psi, selaku Ketua Umum Apsifor Indonesia menyatakan bahwa terdapat beberapa teori yang menilai perilaku dalam fraud, namun ada satu yang memiliki resiko tinggi melakukan fraud yakni dark triad.

Tipe dark triad berada di kalangan para eksekutif daripada masyarakat umum dimana kesempatan untuk melakukan fraud lebih besar. Kepribadian dark triad terdiri dari narcissism, machiavellianism, dan psychopathy. Selain itu, diantara ketiga kepribadian tersebut yang paling berbahaya adalah psychopath. Mengatasi anti fraud dengan penanganan yang benar dan tepat, serta penegakkan hukum baik dari hulu ke hilir termasuk profiling. Fokus yang harus dilakukan yakni perilaku dan manajemen perilaku, sistem SDM, psychological chech-up, dan employee assistance program.

Narasumber kedua, Edward Harefa, SE, MM selaku Inspektur I Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI

menyatakan bahwa penetapan COVID-19 sebagai penyakit infeksi emerging tertentu yang menimbulkan wabah dan menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat sehingga perlu dilakukan penanggulangan dengan mengacu pada Permenkes RI Nomor 59 Tahun 2016 tentang pembebasan biaya penyakit infeksi emerging tertentu (PIET), maka pemerintah mengalokasikan anggaran untuk biaya perawatan pasien COVID-19 melalui anggaran dana siap pakai (DSP) dan DIPA Kementerian Kesehatan.

Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan selaku APIP memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan proses pembayaran klaim oleh Kementerian Kesehatan kepada rumah sakit yang menyelenggarakan COVID-19. Penyebab klaim dispute disebabkan awalnya terdapat 10 kluster berdasarkan Kepmenkes Nomor 238 Tahun 2020 berubah menjadi 4 klaster pada Kepmenkes Nomor 446 Tahun 2020, dimana 4 klaster tersebut adalah berkas klaim tidak lengkap bisa diselesaikan segera, kriteria penjaminan tidak sesuai demgan ketentuan (permasalahan keterbatasan SPA di DTPK), diagnosa komorbid tidak sesuai kebutuhan (ada diagnosa komorbid namun tata laksana tidak terlihat di dokumen), dan diagnosa sekunder merupakan gejala dari diagnosa utama (COVID-19).

Pengendalian kepatuhan atas potensi fraud dalam pembayaran klaim biaya pelayanan pasien COVID-19 di rumah sakit perlu dilakukan dengan mengedepankan strategi pencegahan daripada deterensi, seluruh penyelenggara memegang teguh nilai - nilai luhur organisasi, memastikan terselenggaranya operasional didukung SOP yang up-to-date, menerapkan verifikasi dan check and re-check sebelum eksekusi, mengoptimalkan whistleblowing systems, dan memberikan sanksi yang tegas sesuai aturan bila ada unsur kesengajaan untuk menyalahgunakan aturan.

Adanya sistem continous auditing and monitoring (CACM) dapat mengidentifikasi dan menganalisis bila terdapat anomali dari perilaku atau transaksi yang direpresentasikan dalam data - data. Analisis dapat dilakukan dengan review trend serta melakukan test terhadap kontrol atas aktivitas atau proses bisnis yang berkaitan. Selain itu, auditor dapat melakukan intervensi terhadap device, aplikasi, jaringan dan data secara langsung.

Terdapat pembahas yang telah hadir pada forum mutu kali ini mengangkat tema celah kecurangan fraud dalam pelayanan pasien COVID-19 yakni pembahas pertama, dr. Kuntjoro Adi Purjanto, M.Kes dari PERSI yang menyampaikan bahwa meskipun vaksin ada akan ada bumpy recovery secara terus-menerus karena rumah sakit memiliki beban ganda selain melayani pasien COVID-19 dan juga melayani pasien umum secara bersamaan dengan resiko penularan seminimal mungkin.

Selain itu, pelayanan kesehatan di dunia saat ini menghadapi kondisi volatile, uncertainty, complexity dan ambiguity (VUCA) karena dihadapkan pada discruption in healthcare. Terdapat total jumlah rumah sakit yang teregistrasi berdasarkan jenis RS adalah 2.963 RS namun pengajuan klaim tidak hanya pada RS rujukan COVID melainkan RS non rujukan COVID pun bisa mengajukan klaim karena mereka juga sudah mengeluarkan biaya untuk layanan kesehatan. Fenomena fraud seperti gunung es, dimana potensi fraud bisa diindentifikasi sebesar 40%, 40% tidak terdeteksi dan 20% saja dapat diinvestigasi dan diselesaikan.

Berdasarkan laporan ACFE, 50% kasus fraud terungkap dari sistem whistleblowers, 25% kasus fraud terungkap karena internal audit dan 25% kasus fraud terungkap karena adanya proses internal control atau bahkan tidak sengaja. Tips melaksanakan investigasi di masa pandemi dengan pengunaan teknologi, kreatif dan mudah beradaptasi, mengumpulkan bukti secara cepat, komunikasi dengan auditor dan regulator, kerangka investigasi yang tepat, komposisi tim yang sesuai, menaati peraturan dan regulasi yang berlaku, serta tetap menjalankan business as usual.

Pembahas kedua, drg. Farichah Hanum, M.Kes dari Mutu & Akreditasi Kemenkes RI

Menyampaikan bahwa Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSC. PhD dari UGM menyampaikan bahwa siklus program anti fraud belum berjalan baik di seluruh Indonesia dan selama 7 tahun ini, belum ada penindakan fraud oleh pihak berwenang dan pemberian sanksi berupa pidana bila benar melakukan fraud. Melihat dana yang berada di BPJS semakin meningkat dengan lebih dari 80 Triliun rupiah setahun dan kita memiliki kelemahan dalam investigasi fraud di bidang kesehatan baik belum memiliki dasar hukum untuk investigasi atau belum adanya profesi investigator di Indonesia.

Enforcement dalam bentuk hukuman pidana yang berfungsi sebagai deterence bagi orang yang mempunyai perilaku merugikan orang lain. Jika tidak ada deterence, fraud bisa menjadi budaya yang permisif dan orang yang melakukannya pun merasa tidak ada tindakan namun hal ini perlu didiskusikan dengan kepala dingin karena pembahasan fraud yang sensitif.

Terdapat beberapa pertanyaan dari peserta, “Penerapan kepribadian yang berpotensi fraud, melihat situasi sekarang intervensi untuk mencegah terjadinya fraud dari sisi psikologi seperti apa selain dari regulasi?”. Dra. Reni Kusumawardhani, M.Psi dari Apsifor Indonesia menjawab, “Belum ada bukti dan ini persepsi masyarakat, dalam situasi pandemi dengan tidak adanya kepastian dan informasi yang dilihat di media membuat adanya ketakutan masyarakat. Mari kita bersama-sama menyelesaikan dan media perlu di edukasi, bukan sebaliknya”.

Terdapat pertanyaan lain dari peserta, “Bagaimana secara budaya kita bisa membangun anti fraud di fasilitas pelayanan kesehatan?”. Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSC. PhD dari UGM menjawab “Secara budaya, BPJS ini hal yang baru dan ada orang yang mencari kesempatan ini sehingga bagaimana budaya untuk meningkatkan anti fraud bisa ditingkatkan. Melihat contoh seperti di Singapura, bila buang sampah langsung di denda dan interest orang dengan hal itu karena sangat penting dalam konteks manusia, bagaimana budaya anti fraud bisa ada bila ada yang korupsi maka dikenakan sanksi. Terdapat tambahan Dra. Reni Kusumawardhani, M.Psi dari Apsifor Indonesia menjawab, “Presentase 80% orang itu sangat situasional, 10% itu baik dan 10% lagi itu buruk. Penting memang harus ada proses investigasi, Indonesia sistem yang berjalan berbasis editor dan bila ada yang tidak berjalan kemudian dilanjutkan oleh investigator, dan juga sangat setuju bila ada efek jera dengan di penjara bila terbukti korupsi”.

Reporter: Agus Salim (PKMK UGM)