Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

[PUBLIKASI] Korupsi Dalam Pelayanan Kesehatan Di Era Jaminan Kesehatan Nasional: Kajian Besarnya Potensi Dan Sistem Pengendalian Fraud

Hanevi Djasri, Puti Aulia Rahma Dan Eva Tirtabayu Hasri – Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Sejak berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional, potensi fraud dalam layanan kesehatan semakin nampak di Indonesia. Potensi ini muncul dan dapat menjadi semakin meluas karena adanya tekanan dari sistem pembiayaan yang baru berlaku di Indonesia, adanya kesempatan karena minim pengawasan, serta ada pembenaran saat melakukan tindakan ini. Fraud layanan kesehatan berpotensi merugikan dana kesehatan negara dan menurunkan mutu layanan kesehatan. Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan: (1) bagaimana gambaran potensi fraud layanan kesehatan di Indonesia, dan (2) upaya-upaya pemberantasan fraud layanan kesehatan yang sudah dilakukan di Indonesia serta tantangannya. Kajian dilakukan dengan membandingkan antara teori pencegahan, deteksi dan penindakan fraud dengan hasil pengamatan pelaksanaan program JKN di media massa dan situs-situs gerakan anti korupsi, maupun melalui berbagai hasil kegiatan yang terkait dengan topik pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PKMK FK UGM baik dalam bentuk penelitian serta diskusi-diskusi dalam seminar maupun blended learning. Kajian menunjukkan bahwa fraud layanan kesehatan berpotensi, bahkan sebagian sudah terbukti, terjadi di Indonesia. Di seluruh Indonesia, hingga pertengahan tahun 2015 terdeteksi potensi fraud dari 175.774 klaim Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Potensi fraud ini baru dari berasal dari kelompok provider pelayanan kesehatan, belum dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan supplier alat kesehatan dan obat. Nilai tersebut juga belum menunjukan nilai sesungguhnya mengingat sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana. Bentuk potensi fraud yang umum ditemui dikelompok provider adalah upcoding, inflated bills, service unbundling, no medical value dan standard of care. Bentuk fraud standard of care selain merugikan biaya kesehatan negara juga berdampak buruk bagi pasien. Sistem pengendalian fraud layanan kesehatan sudah mulai berjalan terutama sejak terbitnya Permenkes nomor 36 tahun 2015, namun masih perlu diiringi dengan berbagai kegiatan dan instrumen detail untuk pencegahan, deteksi, dan penindakan.

  PENDAHULUAN

Pemberantasan korupsi marak dilakukan di berbagai institusi. Sejak diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) awal 2014 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai aktif melakukan kajian untuk menilai potensi korupsi dibidang kesehatan. Korupsi merupakan bagian dari Fraud. Dalam sektor kesehatan, istilah Fraud lebih umum digunakan untuk menggambarkan bentuk kecurangan yang tidak hanya berupa korupsi tetapi juga mencakup penyalahgunaan aset dan pemalsuan pernyataan. Fraud dalam sektor kesehatan dapat dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam program JKN mulai dari peserta BPJS Kesehatan, penyedia layanan kesehatan, BPJS Kesehatan, dan penyedia obat dan alat kesehatan. Uniknya masing-masing aktor ini dapat bekerjasama dalam aksi Fraud atau saling mencurangi satu sama lain.

Fraud menyebabkan kerugian finansial negara. Di seluruh Indonesia, data yang dilansir KPK menunjukkan bahwa hingga Juni 2015 terdeteksi potensi Fraud dari 175.774 klaim Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Ini baru dari kelompok klinisi, belum dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan suplier alat kesehatan dan obat. Nilai ini mungkin saja belum total mengingat sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana (KPK, 2015).

Besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan, mendorong pemerintah menerbitkan Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti Fraud layanan kesehatan di Indonesia. Sejak diluncurkan April 2015 lalu, peraturan ini belum optimal dijalankan. Dampaknya, Fraud layanan kesehatan berpotensi semakin banyak terjadi namun tidak diiringi dengan sistem pengendalian yang mumpuni.

Artikel yang disusun oleh tim penulis dari PKMK FK UGM ini didasarkan pada hasil kajian terhadap pelaksanaan program JKN selama tahun 2014 – 2015. Kajian dilakukan untuk menjawab pertanyaan: (1) bagaimana gambaran potensi Fraud layanan kesehatan di Indonesia, dan (2) upaya-upaya pemberantasan Fraud layanan kesehatan yang sudah dilakukan di Indonesia serta tantangannya. Artikel ini diharapkan dapat membangun kesadaran berbagai pihak yang beranggung jawab untuk lebih aktif menjalankan program-program pemberantasan Fraud layanan kesehatan.

  TINJAUAN TEORETIS

A. Korupsi dan Fraud Secara Umum dan Dalam Sektor Kesehatan

Istilah korupsi sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Istilah korupsi kerap dikaitkan dengan perilaku penyelewengan dana negara oleh aparat negara itu sendiri. Berbeda dengan korupsi, istilah Fraud belum umum diketahui masyarakat Indonesia. Namun, sejak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) digulirkan awal 2014 lalu, istilah Fraud santer terdengar dan digunakan di sektor kesehatan. Istilah Fraud digunakan juga sektor kesehatan untuk menggambarkan bahwa perbuatan curang di sektor kesehatan mencakup ketiga bentuk ini.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sebuah organisasi profesional yang bergerak dibidang pemeriksaan atas kecurangan dan mempunyai tujuan untuk memberantas kecurangan yang berkedudukan di Amerika Serikat dan telah memiliki cabang di Indonesia, mengklasifikasikan Fraud (kecurangan) dalam beberapa klasifikasi, dan dikenal dengan istilah “Fraud Tree” yaitu sistem klasifikasi mengenai hal-hal yang ditimbulkan oleh kecurangan sebagai berikut:

  1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation). Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/ pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk Fraud yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/ dihitung (defined value).
  2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement). Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
  3. Korupsi (Corruption). Jenis Fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, di mana hal ini merupakan jenis yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis mutualisma). Termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).

Secara umum, Fraud adalah sebuah tindakan kriminal menggunakan metode-metode yang tidak jujur untuk mengambil keuntungan dari orang lain (Merriam-Webster Online Dicionary). Secara khusus, Fraud dalam jaminan kesehatan didefinisikan sebagai sebuah tindakan untuk mencurangi atau mendapat manfaat program layanan kesehatan dengan cara yang tidak sepantasnya (HIPAA, 1996).

Berdasar Permenkes 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Fraud dalam jaminan kesehatan adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapat keuntungan finansial dari program JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai ketentuan.

B. Penyebab Fraud Layanan Kesehatan

Secara umum, menurut Cressey (1973), terdapat 3 faktor yang pasti muncul bersamaan ketika seseorang melakukan Fraud. Pertama adalah tekanan yang merupakan faktor pertama yang memotivasi seseorang melakukan tindak kriminal Fraud. Kedua adalah kesempatan yaitu situasi yang memungkinkan tindakan kriminal dilakukan. Ketiga adalah rasionalisasi, yaitu pembenaran atas tindakan kriminal yang dilakukan.

Dalam banyak kasus, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shahriari (2001), Fraud dalam layanan kesehatan terjadi karena: (1) tenaga medis bergaji rendah, (2) adanya ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan, (3) penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai, (4) kekurangan pasokan peralatan medis, (5) inefisiensi dalam sistem, (6) kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan, dan (7) faktor budaya.

“Ketidaknyamanan” dalam sistem kesehatan menyebabkan berbagai pihak melakukan upaya “penyelamatan diri” untuk bertahan hidup selama berpartisipasi dalam program JKN. Dokter maupun rumah sakit dapat melakukan coping strategy sebagai langkah untuk menutupi kekurangan mereka atau paling tidak memang bertujuan mencari keuntungan meskipun dari sesuatu yang illegal (Lerberghe et al. 2002). Mekanisme koping ini hadir ketika sistem pengawasan lemah dan tidak mampu menutupi peluang oknum untuk melakukan Fraud. Oknum tentu akan terus menerus melakukan kecurangan ini sepanjang mereka masih bisa menikmati keuntungan dengan kesempatan yang selalu terbuka untuk melakukan kecurangan (Ferrinho et al. 2004).

C. Pelaku dan Dampak Fraud Layanan Kesehatan

Banyak aktor yang dapat terlibat dalam terjadinya Fraud layanan kesehatan. Di Indonesia, aktor-aktor potensial Fraud yang disebut dalam Permenkes No. 36 tahun 2015, adalah peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, dan/atau penyedia obat dan alat kesehatan.

Fraud dalam bidang kesehatan terbukti berpotensi menimbulkan kerugian finansial negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Sebagai contoh, pontesi kerugian akibat Fraud di dunia adalah sebesar 7,29 % dari dana kesehatan yang dikelola tiap tahunnya. Data dari FBI di AS menunjukkan bahwa potensi kerugian yang mungkin ditimbulkan akibat Fraud layanan kesehatan adalah sebesar 3 – 10% dari dana yang dikelola. Data lain yang bersumber dari penelitian University of Portsmouth menunjukkan bahwa potensi Fraud di Inggris adalah sebesar 3 – 8 % dari dana yang dikelola. Fraud juga menimbulkan kerugian sebesar 0,5 – 1 juta dollar Amerika di Afrika Selatan berdasar data dari Simanga Msane dan Qhubeka Forensic dan Qhubeka Forensic Services (lembaga investigasi Fraud) (Bulletin WHO, 2011).

Menurut Vian (2002), Fraud akibat penyalahgunaan wewenang dapat mengurangi sumber daya, menurunkan kualitas, rendahnya keadilan dan efisiensi, meningkatkan biaya, serta mengurangi efektivitas dan jumlah. Di Indonesia, Fraud berpotensi memperparah ketimpangan geografis. Ada kemungkinan besar provinsi yang tidak memiliki tenaga dan fasilitas kesehatan yang memadai tidak akan optimal menyerap dana BPJS. Penduduk di daerah sulit di Indonesia memang tercatat sebagai peserta BPJS namun tidak memiliki akses yang sama terhadap pelayanan. Bila mereka harus membayar sendiri, maka biaya kesehatan yang harus ditanggung akan sangat besar. Fraud dalam layanan kesehatan di daerah maju dapat memperparah kondisi ini. Dengan adanya Fraud, dana BPJS akan tersedot ke daerah-daerah maju dan masyarakat di daerah terpencil akan semakin sulit mendapat pelayanan kesehatan yang optimal (Trisnantoro, 2014).

D. Sistem Anti Fraud Layanan Kesehatan

Saat ini di Indonesia sudah terbit Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai dasar hukum pengembangan sistem anti Fraud layanan kesehatan di Indonesia. Dalam peraturan menteri ini, sudah mencakup kegiatan-kegiatan seperti membangun kesadaran, pelaporan, deteksi, investigasi, dan pemberian sanksi. Kegiatan-kegiatan ini sesuai dengan rekomendasi European Comission tahun 2013. Komisi negara-negara eropa ini juga merekomendasikan bahwa kegiatan anti Fraud harus berjalan sesuai alur seperti skema pada Gambar 1 berikut:

Gambar 1. Siklus Anti Fraud (European Comission, 2013)

Implementasi siklus anti Fraud tidak serta merta dapat berjalan mulus. Penelitian Sparrow (1998) menunjukkan 7 faktor yang membuat kontrol fraud di lingkungan manapun sulit dicegah: (1) fraud hanya terlihat ketika dilakukan deteksi dan seringkali hanya mewakili sebagian kecil dari kecurangan yang dilakukan; (2) indikator kinerja yang tersedia masih ambigu dan belum jelasnya apa yang disebut keberhasilan pelaksanaan fraud control plan; (3) upaya kontrol fraud terbentur data banyak yang harus diolah oleh SDM terbatas; (4) pencegahan fraud bersifat dinamis bukan satu statis. Sistem pencegahan fraud harus cepat dan mudah beradaptasi dengan model-model fraud baru; (5) penindakan fraud umumnya bersifat tradisional. Kekuatan ancaman sanksi fraud baru terlihat dari penangkapan pelaku dan beratnya sanksi dijatuhkan bagi pelaku; (6) pihak berwenang terlalu percaya diri dengan model kontrol fraud baru. Bila sebuah model terlihat dapat mengatasi bentuk fraud yang sering muncul, upaya pengembangan model fraud ini tidak akan optimal; (7) pencegahan fraud seringnya hanya dialamatkan untuk bentuk fraud yang sederhana.

E. Kegiatan-Kegiatan dalam Impelementasi Sistem Anti fraud Layanan Kesehatan

Detil kegiatan dalam siklus anti Fraud adalah sebagai berikut:

  1. Pembangunan Kesadaran
    Pembangunan kesadaran merupakan kunci untuk mencegah terjadinya atau meluasnya Fraud layanan kesehatan (Bulletin WHO, 2011). Membangun kesadaran tentang potensi Fraud dan bahayanya di rumah sakit merupakan salah satu upaya pencegahan terjadi atau berkembangnya Fraud. Dalam Permenkes No. 36/ 2015, pembangunan kesadaran dapat dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/ kota dengan pembinaan dan pengawasan dengan melalui program-program edukasi dan sosialisasi.
  2. Pelaporan
    Pihak yang mengetahui ada kejadian Fraud hendaknya dapat membuat pelaporan. Permenkes No. 36/ 2015 mengamanatkan bahwa pelaporan dugaan Fraud minimalnya mencakup identitas pelapor, nama dan alamat instansi yang diduga melakukan tindakan kecurangan JKN, serta alasan pelaporan.
    Laporan disampaikan kepada kepala fasilitas kesehatan maupun dinas kesehatan kabupaten/ kota.
  3. Deteksi
    Dalam Permenkes No 36 Tahun 2015 deteksi potensi Fraud dapat dilakukan dengan analisa data klaim yang dilakukan dengan pendekatan: mencari anomali data, predictive modeling, dan penemuan kasus. Analisis data klaim dapat dilakukan secara manual dan/atau dengan memanfaatkan aplikasi verifikasi klinis yang terintegrasi dengan aplikasi INA-CBGs. Dalam melakukan analisis data klaim tim pencegahan kecurangan JKN dapat berkoordinasi dengan verifikator BPJS Kesehatan atau pihak lain yang diperlukan.
  4. Investigasi
    Dalam Permenkes No. 36 tahun 2015 disebutkan bahwa investigasi dilakukan oleh tim investigasi yang ditunjuk oleh oleh Tim Pencegahan Kecurangan JKN dengan melibatkan unsur pakar, asosiasi rumah sakit/asosiasi fasilitas kesehatan, dan organisasi profesi. Investigasi dilakukan untuk memastikan adanya dugaan kecurangan JKN, penjelasan mengenai kejadiannya, dan latar belakang/ alasannya.
    Pelaporan hasil deteksi dan investigasi dilakukan oleh Tim Pencegahan Kecurangan JKN dan paling sedikit memuat: ada atau tidaknya kejadian Kecurangan JKN yang ditemukan; rekomendasi pencegahan berulangnya kejadian serupa di kemudian hari; dan rekomendasi sanksi administratif bagi pelaku Kecurangan JKN.
  5. Pemberian Sanksi/Penindakan
    Pemberian sanksi dilakukan untuk menindak pelaku Fraud. Berdasar Permenkes 36 tahun 2015, pihak yang berhak memberikan sanksi adalah Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sanksi yang direkomendasikan dalam Permenkes adalah sanksi administrasi dalam bentuk: teguran lisan; teguran tertulis; dan/atau perintah pengembalian kerugian akibat Kecurangan JKN kepada pihak yang dirugikan.

Dalam hal tindakan kecurangan JKN dilakukan oleh pemberi pelayanan, sanksi administrasi dapat ditambah dengan denda paling banyak sebesar 50% dari jumlah pengembalian kerugian akibat tindakan kecurangan JKN. Bila tindakan kecurangan JKN dilakukan oleh tenaga kesehatan, sanksi administrasi dapat diikuti dengan pencabutan surat izin praktek. Selain sanksi administrasi, kasus Fraud dapat juga dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 379 jo Pasal 379a jo Pasal 381 KUHP. Walaupun tidak disebut secara langsung dalam pasal-pasal tersebut, namun Fraud dalam JKN dikategorikan sebagai penipuan.

  METODE KAJIAN

Kajian dilakukan dengan membandingkan antara teori pencegahan, deteksi, dan penindakan fraud. Kajian dilakukan melalui pengamatan pelaksanaan program JKN di media massa dan situs-situs gerakan anti korupsi, penelitian, maupun diskusi-diskusi dengan peserta seminar maupun blended learning dengan topik pencegahan, deteksi, dan penindakan Fraud layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh PKMK FK UGM. Diskusi-diskusi dilakukan dengan total lebih dari 40 peserta dari kelompok dosen dan peneliti, lebih dari 200 peserta dari kelompok rumah sakit di Indonesia, dan lebih dari 1.500 peserta dari kelompok kepala cabang dan kepala unit Manajer Pelayanan Kesehatan Primer (MPKP) dan Manajer Pelayanan Kesehatan Rujukan (MPKR) BPJS Kesehatan. Seluruh kajian, diskusi, maupun penelitian dilakukan dalam rentang Januari – Desember 2015.

  ANALISIS DATA

Hasil kajian menunjukkan bahwa Fraud layanan kesehatan berpotensi, bahkan sebagian sudah terbukti, terjadi di Indonesia. Fraud layanan kesehatan mengancam finansial dan menurunkan mutu layanan kesehatan. Di seluruh Indonesia, data yang dilansir KPK menunjukkan bahwa hingga Juni 2015 terdeteksi potensi Fraud dari 175.774 klaim Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) dengan nilai Rp. 440 M. Ini baru dari kelompok klinisi, belum dari aktor lain seperti staf BPJS Kesehatan, pasien, dan suplier alat kesehatan dan obat. Nilai ini mungkin saja belum total mengingat sistem pengawasan dan deteksi yang digunakan masih sangat sederhana (KPK, 2015).

Untuk mencegah semakin luasnya Fraud layanan kesehatan yang dilakukan para aktor, Kemenkes menerbitkan Permenkes No. 36 tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional yang resmi berlaku per Oktober 2015. Dalam peraturan menteri kesehatan ini jelas disebutkan upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka mencegah dan mengendalikan Fraud layanan kesehatan. Bentuk kegiatan anti Fraud yang tertuang dalam Permenkes No. 36/ 2015 ini mencakup pembangunan kesadaran anti Fraud, pelaporan, deteksi, investigasi, dan pemberian sanksi. Kegiatan-kegiatan ini hampir mirip dengan rekomendasi kegiatan anti Fraud dari European Comission (2013). Namun, hingga Desember 2015, kegiatan-kegiatan ini masih belum berjalan optimal karena aspek-aspek pendukung berjalannya sistem juga belum tersedia baik.

Kegiatan pembangunan kesadaran melalui sosialisasi dan edukasi Permenkes belum berjalan baik. Tugas edukasi, sosialisasi, pembinaan, dan pengawasan upaya anti Fraud bagi seluruh aktor potensial Fraud merupakan tanggung jawab kementerian dan dinas kesehatan tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Namun, masih banyak dinas kesehatan yang belum tahu mengenai peraturan ini sehingga belum banyak melakukan aksi untuk mengendalikan Fraud layanan kesehatan. Bahkan di beberapa daerah peran pemberian edukasi dan sosialisasi ini dijalankan oleh BPJS Kesehatan.

Kegiatan pelaporan dugaan Fraud layanan kesehatan juga belum optimal karena ketiadaan sarana untuk melapor. Kalaupun ada informasi terkait potensi Fraud yang dilaporkan, tindak lanjut dari laporan tersebut belum pasti. Dalam situs Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan ( http://itjen.depkes.go.id/wbs ) terdapat menu Whistleblowing System (WBS) untuk melaporkan dugaan korupsi pejabat kementerian kesehatan. Namun, menu pelaporan ini belum spesifik untuk melaporkan kasus Fraud layanan kesehatan. Kondisi serupa ditemukan juga dalam wesite BPJS Kesehatan, saluran pelaporan khusus terkait Fraud layanan kesehatan belum ada. Salah satu portal yang sementara dapat digunakan untuk melakukan pengaduan dugaan Fraud layanan kesehatan adalah “Lapor!” ( https://www.lapor.go.id ). Portal ini menampung semua keluhan pelayanan publik dan tindak lanjut yang sudah dilakukan juga diinformasikan kembali kepada masyarakat.

Proses deteksi Fraud terkendala akibat minimnya teknologi untuk mengolah data dan informasi potensi Fraud. Data paling kuat yang dapat digunakan untuk melakukan deteksi potensi Fraud salah satunya adalah data klaim BPJS Kesehatan. Dari data ini dapat dianalisis dititik mana terjadi kecurangan dan pelaku kecurangan. Data yang banyak ini harus diolah menggunakan teknologi yang sensitif terhadap potensial Fraud. Namun saat ini teknologi olah data semacam itu belum ada di Indonesia atau masih dalam tahap pengembangan. Situasi ini menghambat proses deteksi potensi Fraud karena proses deteksi sangat bergantung kepada teknologi.

Proses investigasi juga masih terkendala karena saat ini belum ada investigator khusus untuk penyidikan kasus-kasus Fraud layanan kesehatan di Indonesia. Peran investigator dalam upaya anti Fraud sangat krusial karena memiliki kewenangan untuk membuktikan sebuah tindakan Fraud, besar kerugian yang dihasilkan, hingga rekomendasi sanksi. Saat ini proses investigasi potensi Fraud masih dilakukan secara sederhana yaitu dengan membandingkan sebuah dugaan Fraud dengan aturan-aturan dari Kementerian Kesehatan maupun BPJS Kesehatan. Pihak yang melakukan perbandingan data dan aturan adalah pihak yang merasa dirugikan. Dampaknya, bias kepentingan sangat kental dalam proses ini.

Dalam Permenkes telah disebutkan sanksi-sanksi administrasi yang dapat diberikan kepada pelaku Fraud. Namun, mekanisme penerapan sanksi ini belum jelas. Pihak yang berwenang dalam memberi sanksi adalah kementerian dan dinas kesehatan. Saat ini belum diketahui dengan pasti apakah sudah ada pelaku Fraud yang secara resmi diberi sanksi oleh kementerian maupun dinas kesehatan. Salah satu bentuk sanksi yang diketahui sudah dijalankan adalah pengembalian dana oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan maupun sebaliknya. Namun mekanisme pengembalian dana ini juga belum jelas hnya dilakukan secara kekeluargaan antara kedua belah pihak.

  PEMBAHASAN

Potensi-potensi Fraud layanan kesehatan semakin nampak di Indonesia. Potensi ini muncul dan dapat semakin meluas secara umum karena adanya tekanan dari sistem pembiayaan yang baru berlaku di Indonesia, adanya kesempatan karena minim pengawasan, serta ada pembenaran saat melakukan tindakan ini (Cressey, 1973). Di Indonesia, sesuai teori yang dikemukakan Shariari (2010), potensi Fraud dari kelompok klinisi mungkin muncul akibat (1) tenaga medis bergaji rendah, (2) adanya ketidakseimbangan antara sistem layanan kesehatan dan beban layanan kesehatan, (3) penyedia layanan tidak memberi insentif yang memadai, (4) kekurangan pasokan peralatan medis, (5) inefisiensi dalam sistem, (6) kurangnya transparansi dalam fasilitas kesehatan, dan (7) faktor budaya.

Dari kuesioner yang disebar kepada peserta blended learning dengan topik pencegahan, deteksi, dan penindakan Fraud layanan kesehatan kelompok rumah sakit tahun 2015, tarif INA CBG’s yang dianggap rendah oleh kalangan klinisi dan tingginya beban kerja membuat mereka memikirkan upaya-upaya yang tidak wajar untuk mempertahankan diri agar tidak sampai merugi. Buruknya lagi para klinisi ini kadang saling berbagi “pengalaman” dalam upaya “penyelamatan diri ini”. Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian mereka terapkan dalam memberi pelayanan kesehatan sehingga menjadi budaya. Dasar penetapan tarif juga masih dirasa misterius bagi sebagian besar kalangan sehingga menyebabkan ketidakpuasan terhadap sistem.

Ketidakpuasan ini juga yang mendorong dokter maupun rumah sakit dapat melakukan coping strategy sebagai langkah untuk menutupi kekurangan mereka atau paling tidak memang bertujuan mencari keuntungan meskipun dari sesuatu yang illegal (Lerberghe et al. 2002). Mekanisme koping ini hadir ketika sistem pengawasan lemah dan tidak mampu menutupi peluang oknum untuk melakukan Fraud. Oknum tentu akan terus menerus melakukan kecurangan ini sepanjang mereka masih bisa menikmati keuntungan dengan kesempatan yang selalu terbuka untuk melakukan kecurangan (Ferrinho et al. 2004).

Diperlukan sebuah upaya sistematis untuk dan berkelanjutan untuk mengendalikan Fraud layanan kesehatan. Kegiatan dalam sistem anti Fraud ini harus berupa siklus yang dimulai dari pembangunan kesadaran – pelaporan – deteksi – investigasi – pemberian sanksi – (kembali lagi ke) pembangunan kesadaran (European Comission, 2013). Pembangunan kesadaran merupakan kunci untuk mencegah terjadinya atau meluasnya Fraud layanan kesehatan (Bulletin WHO, 2011). Pembangunan kesadaran dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi dan edukasi.

Pengalaman PKMK FK UGM, dari kuesioner yang disebar kepada peserta blended learning dengan topik pencegahan, deteksi, dan penindakan Fraud layanan kesehatan kelompok rumah sakit tahun 2015, kegiatan-kegiatan edukasi dan sosialisasi menghasilkan perubahan paradigma dari masing-masing kelompok aktor potensial Fraud. Sebelum ada kegiatan sosialisasi dan edukasi, kelompok klinisi dan fasilitas kesehatan sering menolak informasi terkait potensi Fraud yang mungkin mereka lakukan dan menolak untuk ambil peran dalam upaya pencegahan. Saat ini sebagian besar kelompok ini mulai sadar bahwa mereka juga berpotensi melakukan Fraud dan bersedia ambil peran dalam upaya pengendalian Fraud. Beberapa rumah sakit (RS) sudah memiliki pedoman dan tim pencegahan kecurangan JKN diinternal RS. Tim ini juga sudah mulai menjalankan program-program pencegahan Fraud layanan kesehatan atas inisiatif sendiri.

Pada kelompok regulator, sebelum Permenkes No. 36/ 2015 terbit, umumnya regulator seperti dinas kesehatan kabupaten/ kota beranggapan bahwa tanggung jawab pemberantasan Fraud terletak di pundak Kemenkes RI atau hanya sampai di dinas kesehatan tingkat provinsi. Padahal untuk tingkat daerah, kewenangan untuk membangun sistem anti Fraud berada di dinas kesehatan kabupaten/ kota. Mereka juga beranggapan bahwa kewenangan mereka hanya untuk mengendalikan Fraud di tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer (FKTP) tidak sampai ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Namun, setelah diberi sosialisasi dan edukasi, kesadaran kelompok regulator ini meningkat. Edukasi dan advokasi kepada kelompok regulator (dinas kesehatan kabupaten/ kota) selain dilakukan mandiri oleh PKMK FK UGM, dilakukan juga dalam bentuk kerja sama dengan pihak lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kerja sama dalam program edukasi dan advokasi ini menghasilkan rencana aksi pemberantasan korupsi sektor kesehatan yang dihasilkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Kesehatan Kota Kupang, dan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Ketiga kota ini dipilih secara acak oleh KPK mewakili 3 kota besar di Indonesia.

Pada kelompok BPJS Kesehatan, sebelum ada program edukasi, mulanya BPJS Kesehatan memiliki pandangan bahwa pelaku Fraud hanya kalangan provider, tanpa sadar bahwa mereka juga berpotensi melakukan Fraud. Mereka juga lebih sering mengemukakan data temuan potensi-potensi Fraud yang telah dilakukan oleh provider dan seolah enggan merespon informasi potensi Fraud yang ditemukan di lembaga mereka sendiri. Namun, pasca berlangsungnya 2 periode program edukasi untuk staf BPJS Kesehatan, pola pikir tersebut berubah. Saat ini mereka mulai sadar bahwa Fraud berpotensi terjadi di lembaga mereka sendiri dan mereka perlu ambil peran dalam upaya pemberantasan Fraud internal. Program edukasi dan sosialisasi bagi para aktor ini masih tetap harus dilakukan secara berkesinambungan. Tantangan ke depan adalah perlunya pemerataan program agar dapat menyentuh seluruh aktor potensial Fraud.

Setelah memiliki pemahaman yang baik mengenai potensi Fraud dan dampaknya bagi pembiayaan kesehatan, diharapkan berbagai aktor dapat terlibat juga kegiatan pelaporan. Fraud layanan kesehatan merupakan hal yang unik, masing-masing aktor dapat saling mencurangi satu sama lain. Agar tidak menjadi korban dalam perbuatan curang ini, masing-masing aktor diharapkan aktif melaporkan dugaan Fraud yang dialami.

Untuk memudahkan pelaporan dugaan Fraud, diperlukan sebuah sistem pelaporan yang baik. Permenkes No. 36/ 2015 mengamanatkan bahwa pelaporan dugaan Fraud minimalnya mencakup identitas pelapor, nama dan alamat instansi yang diduga melakukan tindakan kecurangan JKN, serta alasan pelaporan. Sarana pelaporan dugaan Fraud layanan kesehatan juga harus disiapkan dengan baik misalnya melalui sebuah portal yang didesain khusus untuk menampung berbagai informasi dugaan Fraud. Dalam portal ini juga perlu dicantumkan bentuk-bentuk kecurangan apa saja yang masuk dalam kategori tindakan Fraud layanan kesehatan dan perlu dilaporkan. Pembatasan kategori pelaporan memudahkan pengelola portal mengumpulkan dan menindaklanjuti informasi spesifik Fraud layanan kesehatan.

Tindak lanjut pelaporan dugaan Fraud adalah dengan deteksi. Saat ini di Indonesia, jumlah laporan dugaan Fraud masih minim sehingga menghambat proses deteksi potensi Fraud. Tantangan lainnya yang dihadapi dalam proses deteksi diantaranya terbatasnya SDM untuk mengolah data yang telah tersedia (Sparrow, 1998). BPJS Kesehatan memiliki banyak sekali data klaim yang dapat dijadikan salah satu sumber deteksi potensi Fraud. Namun, terbatasnya teknologi dan SDM menghambat proses ini. Lebih lanjut data yang banyak ini belum optimal juga dimanfaatkan untuk mengembangkan teknologi deteksi potensi Fraud.

Investigasi dilakukan untuk memastikan adanya dugaan kecurangan JKN, penjelasan mengenai kejadiannya, dan latar belakang/ alasannya (Permenkes No. 36/ 2015). Tantangan yang dihadapi di Indonesia adalah saat ini belum ada investigator khusus Fraud layanan kesehatan. Berbeda dengan Amerika Serikat yang sudah memiliki profesi investigator khusus kasus Fraud di sektor kesehatan yang tergabung dalam Association of Healthcare Fraud Invetigator (AHFI). Pasca proses investigasi, investigator akan memberikan rekomendasi sanksi bagi pelaku yang terbukti melakukan tindakan Fraud.

Sanksi yang tegas bagi pelaku Fraud akan menimbulkan efek jera. Dalam Permenkes No. 36 tahun 2015 sudah disebutkan sanksi-sanksi administratif yang dapat diberikan kepada pelaku Fraud. Namun, saat ini sanksi-sanksi tersebut masih belum juga tegas diterapkan. Dampaknya beberapa kalangan masih menganggap sanksi yang ada hanya bersifat ancaman belaka. Untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan Fraud, pasca pemberian sanksi, pelaku juga perlu kembali diberi pembinaan dan pengawasan sebagai sarana pembangunan kesadaran agar tidak mengulangi perbuatannya.

  KESIMPULAN

Potensi terjadinya Fraud layanan kesehatan sudah semakin nampak di Indonesia namun belum diiringi dengan sistem pengendalian yang mumpuni. Perlu upaya-upaya sistematis untuk mencegah berkembangnya kejadian ini. Kerjasama berbagai pihak sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan Fraud layanan kesehatan dapat berdampak baik. Upaya-upaya pengendalian Fraud hendaknya dapat berjalan dalam siklus yang tidak terpotong-potong. Upaya-upaya pengendalian Fraud yang sudah dilakukan dan dampaknya terhadap penyelamatan uang negara hendaknya dapat didokumentasikan dalam bentuk laporan berkala sehingga dapat diketahui publik. Bentuk laporan berkala dapat mencontoh laporan yang ditebitkan oleh Departemen Kehakiman dan Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat tentang Program Pengendalian Fraud dan Abuse Layanan Kesehatan (contoh laporan dapat diakses di http://oig.hhs.gov/publications/docs/hcfac/FY2014-hcfac.pdf ). Laporan semacam ini dapat memberi gambaran kepada aktor potensial Fraud layanan kesehatan bahwa tindakan mencurangi program JKN ini tidak mendapat tempat di Indonesia.

  IMPLIKASI

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi wawasan mengenai gambaran potensi Fraud layanan kesehatan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam upaya pemberantasan Fraud seperti kementerian kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/ kota, jajaran direksi rumah sakit, badan dan dewan pengaws rumah sakit, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, hingga pemerintah daerah. Temuan ini juga diharapkan dapat menyadarkan berbagai pihak terkait bahwa upaya pemberantasan Fraud harus berjalan dalam siklus (tidak sepotong-sepotong), mulai dari pembangunan kesadaran – pelaporan – deteksi – investigasi – pemberian sanksi – pembangunan kesadaran. Lebih lanjut pihak-pihak ini diharapkan dapat saling bekerja sama dalam upaya pemberantasan Fraud layanan kesehatan di Indonesia.

  KETERBATASAN

Kajian ini terbatas pada penggambaran secara umum potensi dan upaya-upaya pengendalian Fraud layanan kesehatan di Indonesia. Dalam kajian ini belum ditelaah lebih jauh masing-masing kegiatan dalam upaya pemberantasan Fraud ini. Minimnya data yang dapat diakses menjadi kesulitan tersendiri untuk memperluas dan memperdalam bidang kajian. Untuk memeberi sumbangsih ilmu pengetahuan lebih luas, diharapkan peneliti lain dapat mengkaji lebih dalam mengenai Fraud layanan kesehatan. Peneliti lain dapat lebih dalam mengkaji potensi Fraud pada masing-masing kelompok aktor. Peneliti lain juga diharapkan dapat mengkaji masing-masing upaya dalam kegiatan anti Fraud layanan kesehatan. Pengembangan sistem anti Fraud layanan kesehatan di Indonesia juga dapat menjadi topik menarik untuk diteliti lebih dalam.

Dipublikasikan di: https://acch.kpk.go.id/id/ragam/riset-publik/korupsi-dalam-pelayanan-kesehatan-di-era-jaminan-kesehatan-nasional-kajian-besarnya-potensi-dan-sistem-pengendalian-fraud