Perlukah Rumah Sakit Kita Diakreditasi?

Bila pertanyaan tersebut kita ajukan pada manajer dan direktur rumah sakit, semua akan menjawab: "perlu". Di Indonesia, orang akan merujuk pada persyaratan perijinan rumah sakit, undang-undang, dan regulasi lain. Di forum diskusi, khalayak akan menyinggung soal mutu dan keselamatan pasien. Para pemilik rumah sakit swasta, berharap cemas akan ada perubahan perilaku dokter dan karyawan lain. Selain mengikuti regulasi, apakah benar bahwa akreditasi rumah sakit diperlukan? Mari kita simak fakta-fakta yang kita temukan.

Menilik Publikasi Ilmiah

Greenfield dan Braithwaite (2009) menulis dalam sebuah editorial mengenai perlunya transparansi bukti ilmiah manfaat akreditasi rumah sakit. Organisasi yang melakukan akreditasi terus menerus memperbaiki standar akreditasi yang dimiliki namun sangat sedikit publikasi yang bisa membuktikan efikasi standar tersebut. Walau secara umum diakui bahwa akreditasi meningkatkan kualitas dan keselamatan, namun bukti yang secara tegas mendukungnya belum berkembang dengan baik. Enam tahun sebelumnya, Shaw (2003) pernah pula menulis dalam sebuah editorial mengomentari review WHO terhadap akreditasi di 36 negara. Shaw (2003) menilai ada banyak variasi yang mempengaruhi akreditasi sehingga pemahaman bersama terhadap manfaat akreditasi perlu dibangun.

Sebuah penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Pomey dkk (2010) menemukan fakta bahwa akreditasi bermanfaat dalam memulai peningkatan mutu berkelanjutan, kepemimpinan dalam peningkatan mutu, dan memberi kesempatan staf mengembangkan berbagai peluang. Namun penelitian ini kembali mempertanyakan manfaat akreditasi pada periode waktu setelah akreditasi yang pertama. Tantangan yang mulai kurang dirasakan diperkirakan menjadi penyebab utamanya.

Penelitian Tehewy dkk (2009) di Mesir adalah satu di antara sedikit yang menemukan hubungan akreditasi dengan kepuasan pasien. Tiga puluh institusi kesehatan yang telah terakreditasi dibandingkan dengan unit sepadan yang belum terprogram akreditasi. Walau kepuasan pasien dikaji dengan skala yang cukup populer, namun hubungan ini patut diduga bukan hubungan kausatif langsung. Unit yang secara sadar turut dalam akreditasi cenderung berorientasi pada mutu dan pelanggan. Sangat mungkin terjadi, kepuasan pasien adalah bagian dari orientasi dasar unit-unit ini.

Nicklin (2014) menerbitkan sebuah laporan bagi kepentingan akreditasi di Kanada. Laporannya menyebutkan bermacam manfaat akreditasi sesuai literatur yang dikumpulkannya. Sebagian besar manfaat yang disebut berhubungan dengan proses layanan, dan secara tegas disampaikan perlunya investigasi lebih lanjut untuk membuktikan hubungan kuat antara akreditasi dan outcome pasien. Laporan ini sejalan dengan laporan Salmon dkk (2003) yang meneliti rumah sakit terakreditasi di salah satu provinsi di Afrika Selatan bahwa perlu penyelidikan lebih teliti mengenai hubungan perbaikan standar struktur dan proses akibat akreditasi dengan outcome.

Tak kurang, Alkhenizan dan Shaw (2011) mengutip salah satu penelitian besar yang melibatkan 742 rumah sakit yang mempergunakan standar JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara performa rumah sakit sesuai standar JCAHO terhadap ¬outcome (Catatan: penulis tidak dapat menemukan naskah lengkap publikasi asli penelitian ini.) Mirip dengan penelitian Braithwaithe dkk (2009) yang hanya menemukan kecenderungan antara akreditasi dan ¬outcome klinis.

Akreditasi di Indonesia

Setelah lebih dari satu dasawarsa memakai sistem akreditasi 5, 12, dan 16 pelayanan, Komisi Akreditasi Rumah Sakit meluncurkan standar akreditasi baru yang mengacu pada standar JCI (Joint Commission International, berafiliasi pada The Joint Commission yang juga dulu dikenal sebagai JCAHO). Isi standar ini sudah secara luas dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu diulang di sini.

Menarik untuk diakui bahwa standar ini cukup berat untuk dipenuhi. Pertama, rumah sakit harus mengubah cara pandangnya terhadap pelayanan pasien secara menyeluruh. Kedua, metode telusur untuk membuktikan standar memerlukan implementasi standar yang tidak mudah dicapai. Ketiga, mendidik staf rumah sakit yang sudah nyaman dengan sistem pelayanan yang lama itu sungguh tidak mudah. Keempat, memang standar baru ini lebih banyak daripada standar yang lama.

Untuk memenuhi standar akreditasi ini, wajah generik rumah sakit di Indonesia menjadi makin serupa. Gelang dengan dua macam identitas, gelang alergi, rencana penanggulangan bencana rumah sakit, simulasi bencana, pengendalian infeksi, ¬clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi, dan lain-lain. Itu adalah contoh penerapan standar yang mulai menjadi umum di kalangan rumah sakit di Indonesia.

Dengan penerapan universal coverage lewat BPJS Kesehatan, kesamaan wajah ini makin nampak. Pengawasan mutu dan keselamatan pasien banyak diintegrasikan dengan pembiayaan dan standar pelayanan. Jumlah pasien yang jatuh dari tempat tidur dihitung, infeksi aliran darah dianalisis potensi kerugian biayanya, dan clinical pathway diaudit pembiayaannya.

Contoh-contoh di atas adalah sebagian kecil dari manfaat akreditasi model baru yang mulai diimplementasikan. Masih banyak perbaikan lain yang dilakukan seperti misalnya pembuatan berbagai panduan dan pedoman, revisi standar prosedur operasional, dipenuhinya hak pasien, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa akreditasi baru ini memodifikasi budaya kerja tenaga kesehatan dan tenaga administrasi rumah sakit.

Perlukah Akreditasi?

Referensi ilmiah terpublikasi ternyata menguatkan apa yang diamati di tataran rumah sakit yang sedang mempersiapkan akreditasi. Standar struktur dan proses nampak lebih mengemuka dalam referensi maupun dalam pengalaman sehari-hari mempersiapkan akreditasi. Dengan konsep patient-centered care yang dikatakan menjadi nafas akreditasi di bab pelayanan pasien, para insan rumah sakit perlu meredefinisi tujuan akreditasi yang dilakukan rumah sakitnya.

Braithwaithe dkk (2009) menambahkan bahwa hasil akreditasi menggambarkan perilaku kepemimpinan dan karakteristik kultural di rumah sakit. Dengan memperbaiki standar struktur dan proses lewat pemenuhan standar akreditasi, rumah sakit diharapkan mampu mengembangkan budaya kerja yang berorientasi pada mutu pelayanan. Budaya kerja inilah yang hendaknya dicapai oleh rumah sakit ketika mempersiapkan akreditasi. Dengan budaya kerja yang baik ini, kekhawatiran Pomey dkk (2010) bahwa manfaat akreditasi akan memudar seiring waktu bisa dihindari.
Lalu bagaimana dengan kepuasan pasien? Belum sepenuhnya dapat disimpulkan bahwa akreditasi meningkatkan kepuasan pasien. Bimbingan akreditasi yang dilakukan di Indonesia mengarahkan rumah sakit untuk menciptakan suatu perasaan emosional pada diri pasien yang disebut sebagai pengalaman pasien atau ¬patient experience. Pengalaman ini adalah suatu konsep yang lebih cair sehingga idenya mudah dituang dari satu pasien ke keluarga, atau dari pasien ke lingkungan sekitarnya. Pengalaman pasien ini ingin diwujudkan dalam bentuk patient-centered care yang dibangun antara lain dengan clinical pathway, catatan perkembangan pasien terintegrasi, pertemuan-pertemuan tim perawatan pasien, dan lain-lain.

Tantangannya saat ini adalah bagaimana ukuran-ukuran struktur dan proses yang sudah jelas diperbaiki dengan akreditasi ini bisa langsung dikomunikasikan dan menjadi pengalaman pasien yang unik. Tentu ini tidak mudah. Perlu lebih dari sekedar menaati regulasi dengan menempuh proses akreditasi.

Di sisi lain, penelitian-penelitian yang nampak belum mendukung manfaat akreditasi untuk meningkatkan mutu ¬outcome klinis dan kepuasan pasien harus diperhatikan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penelitian-penelitian yang mengangkat topik akreditasi dari mahasiswa-mahasiswa di universitas maupun peneliti lain perlu dikumpulkan dan dipelajari. Standar boleh saja berkembang dengan cepat, namun perlu ada bukti bahwa standar tersebut memang bermanfaat bagi rumah sakit yang berupaya memenuhinya. Ibaratnya, sistem kita perlu berorientasi pada evidence-based accreditation.

Kesimpulan

Setelah menilik publikasi-publikasi di atas dan membandingkannya dengan proses akreditasi yang dilakukan, perlu atau tidaknya akreditasi sudah bisa dijawab. Akreditasi dari sisi tenaga kesehatan rumah sakit adalah perlu. Perlu untuk menetapi regulasi, mempertahankan ijin rumah sakit, dan memperbaiki struktur dan proses pelayanan rumah sakit. Dari sisi pasien dan pelanggan rumah sakit, belum ada bukti yang kuat bahwa mereka diuntungkan secara langsung oleh akreditasi. Sambil menunggu (dan menambahi) bukti dan diskusi, mari kita kembali mempersiapkan akreditasi di rumah sakit kita masing-masing. Jangan lupa, ukuran outcome akan makin jelek kalau kita lebih memilih mengerjakan berkas akreditasi dan lupa berbincang pada pasien. Salam!

Penulis

Naskah ini ditulis oleh dr. Robertus Arian Datusanantyo. Penulis adalah wakil ketua tim akreditasi RS Panti Rapih Yogyakarta. Tulisan ini adalah opini pribadi.

Referensi

  • Alkhenizan, A. & Shaw, C., 2011. Impact of Accreditation on the Quality of Healthcare Services: a Systematic Review of the Literature. Ann Saudi Med. 2011 Jul-Aug; 31(4): 407–416.
  • Braithwaithe, J. et al, 2009. Health service accreditation as a predictor of clinical and organisational performance: a blinded, random, stratified study. Qual Saf Health Care 2010;19:14e21.
  • Greenfield, D. & Braithwaithe, J., 2009. Developing the evidence base for accreditation of healthcare organisations: a call for transparency and innovation. Qual Saf Health Care 2009; 18:162–163.
  • Nicklin, W., 2014. The Value and Impact of Health Care Accreditation: A Literature Review. Accreditation Canada, 2008 (Updated March 2014).
  • Pomey, M. et al., 2010. Does accreditation stimulate change? A study of the impact of the accreditation process on Canadian healthcare organizations. Implementation Science 2010, 5:31.
  • Salmon, J.W. et al., 2003. The Impact of Accreditation on the Quality of Hospital Care: KwaZulu-Natal Province, Republic of South Africa. Operations Research Results 2(17). Bethesda, MD: Published for the U.S. Agency for International Development (USAID) by the Quality Assurance Project, University Research Co., LLC.
  • Shaw, C.D., 2003. Evaluating Accreditation. International Journal for Quality in Health Care 2003; Volume 15, Number 6: pp. 455–456
  • Tehewy, M.A. et al., 2009. Evaluation of accreditation program in non-governmental organizations' health units in Egypt: short-term outcomes. International Journal for Quality in Health Care 2009; Volume 21, Number 3: pp. 183–189.