Perkembangan Teknologi dan Metode Keperawatan Terhadap Pasien Pengidap Diabetes Melitus (DM)

(Sebuah Analisis Komparatif antara Indonesia dan Amerika Serikat)

Salah satu penyakit paling berbahaya di dunia adalah Diabetes Melitus, dengan jumlah penderita di seluruh dunia diperkirakan mencapai angka 382 juta jiwa. Jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan populasi dunia saat ini. Di Amerika Serikat, jumlah pengidap diabetes melitus mencapai 25,8 juta, menempati peringkat ketujuh dalam urutan penyakit paling mematikan di negara tersebut.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan jumlah pengidap diabetes melitus tertinggi di dunia. Hasil survei yang dilakukan World Health Organitation (WHO) menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 teringgi di dunia. Data yang tentu saja mengambarkan masih buruknya kondisi kesehatan masyarakat dalam skala nasional terutama dalam kasus Diabetes Melitus.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka pengidap DM di Indonesia, jika sekilas dilakukan analisis perbandingan mengenai jumlah pengidap DM di Indonesia dan AS maka akan muncul pertanyaan apakah faktor tingkat "kemajuan" sebuah negara juga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh signifikan?

Diabetes Melitus –bahkan dalam dunia medis- merupakan kasus yang masih "kabur" (setidaknya dalam memastikan penyebab utama kemunculannya). Semisal bahwa sejauh ini ilmu medis belum memberi kepastian yang tegas tentang hubungan antara kemunculan diabetes melitus dengan faktor genetik seseorang. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk setidaknya memastikan apakah diabetes melitus masuk dalam kategori penyakit generatif atau degeneratif. Namun hal ini tidak berarti perkembangan dunia medis tidak memberi sumbangsih yang berarti dalam upaya penanganan masalah Diabetes Melitus. Banyak hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa gaya hidup merupakan salah satu penyebab utama kemunculan diabetes melitus telah terbukti sebagai hasil temuan keilmuan yang berharga. Bahkan di Amerika, perkembangan dunia keperawatan (terutama dalam pengembangan metode penanganan dan perawatan pasien pengidap diabetes melitus) sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil penyimpulan penelitian yang terus bekembang.

Tanpa mengesampingkan banyaknya faktor yang menyebabkan seseorang dapat mengidap penyakit diabetes, satu hal menarik yang patut ditelaah dalam kasus diabetes melitus adalah perkembangan metode penanganan dan perawatan pasien pengidap. Di Indonesia hal ini mungkin belum begitu terasa dan masih relatif sulit dilacak. Namun tidak demikian dengan yang terjadi di Amerika Serikat, pendekatan-pendekatan dan metode keperawatan baru dengan hasil yang relatif lebih optimal dapat dengan mudah ditemui dalam aktivitas medis perawatan pasien pengidap diabetes. Salah satu aspek yang paling menarik sekaligus menjadi pembeda antara proses perawatan di AS dengan Indonesia yakni pada tingkat intervensi dan improfisasi yang dapat dilakukan dalam tindakan perawatan oleh perawat. Namun hal ini hanya berlaku pada penanganan medis untuk diabetes tipe 2 atau yang dikenal dengan sebutan diabetes melitus tidak tergantung insulin (non-insulin-independent diabetes melitus).

Adapun bentuk intervensi dan improvisasi perawat dalam proses penanganan dan perawatan pasien pengidap diabetes di Amaerika Serikat dikenal dengan istilah Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan Nurse Practition (NP). Hal-hal yang dilakukan diantaranya ialah menilai kebutuhan dasar pasien, menjelajahi sejarah/rekam medis pasien, melakukan pemeriksaan fisik hingga pada mengubah dan menyesuaikan resep dengan atau tanpa seizin dokter. Kemampuan mengubah dan menyesuaikan resep inilah yang kemudian dianggap sebagai sesuatu yang berharga dalam perawatan pasien karena terbukti menunjukkan hasil klinis yang lebih optimal.

Bentuk inisiatif lain yang tidak kalah menarik adalah perawat menjalin komunikasi dengan ahli gizi untuk mngkonsultasikan kebutuhan diet yang tepat dengan kondisi pasien. Hal ini memungkinkan pasien mendapatkan penangan dan perawatan maksimal dan holistik karena dalam proses tersebut perawat mengupayakan integrasi persfektif dan pendekatan dari berbagai praktisi ahli yang berbeda. Sehingga proses pemulihan dan penyembuhan pasien yang menjadi mungkin dilakukan melalui berbagai sisi.

Sebuah kasus menarik, pasien 69 tahun menderita DM tipe 2. Tahun 1997 menderita DM tipe 2. Pasien tinggal dengan seorang istri dan telah memiliki 2 orang anak yang telah menikah. Kedua orang tua penderita menderita diabetes tipe 2. Pasien memiliki pengetahuan yang terbatas tentang manajemen perawatan diri dan menyatakan tidak mengerti mengapa dia menderita diabetes karena dia tidak pernah mengonsumsi gula. Sejarah diet pasien menunjukkan asupan karbohodrat yang berlebih dalam bentuk roti dan pasta. Berdasarkan riwayat kesehatan, catatan, pemeriksaan fisik, laboratorium pasien dinilai menderita diabetes tipe 2 tidak terkontrol. Kasus ini ditangani oleh perawat. Tugas pertama perawat dalam memberikan perawatan adalah memilih masalah kesehatan yang paling mendesak dan memprioritaskan perawatan medis untuk mengatasinya.

Rujukan ke ahli gizi menjadi priortas pertama. Perawat menghubungi ahli diet melalui telpon untuk fokus terhadap penurunan berat badan dan meningkatkan diabetes kontrol. Ahli gizi meminta agar selama intervensi, pasien merekam asupan makanan dan mencoba memperkirakan porsi makanan. Pasien juga melakukan jalan kaki 15-20 menit setiap hari. Rencana ini ditulis oleh perawat termasuk tanggal dan waktu untuk telpon serta evaluasi obat, dan memberikannya kepada pasien. Dalam kunjungan tersebut, pasien diajarkan cara menggunakan alat pengukur glukosa yang dapat diguanakan 2 kali sehari yakni saat sarapan dan makan malam. Dalam kasus ini NP memenuhi kebutuhan dasar pasien dengan cara mengubah gaya hidup pasien sehingga dihasilkan klinis yang optimal.

Sayangnya hal yang sama belum dipraktekkan di Indonesia. Perkembangan metode perawatan di Indonesia memang belum menunjukkan tanda-tanda yang memuaskan. Padahal hal tersebut merupakan faktor yang sangat penting karena berkaitan dengan tingkat harapan hidup atau peluang kesembuhan pasien. Kata kuncinya bisa saja pada hal-hal yang berkenaan dengan penelitian terkait perkembangan teknologi keperawatan. Entah karena minimnya jumlah penelitian atau karena tidak adanya "link and match" antara hasil-hasil penelitian dengan kebijakan-kebijakan di bidang kesehatan?.

Oleh : Eva Tirtabayu Hasri S.Kep, MPH
Sumber : Geralyn Spollett, MSN, C-ANP, CDE. Case Study: A Patient With Uncontrolled Type 2 Diabetes and Complex Comorbidities Whose Diabetes Care Is Managed by an Advanced Practice Nurse. Diabetes Spectrum Volume 16, Number 1, 2003.
http://spectrum.diabetesjournals.org/content/16/1/32.full.pdf+html