Indonesia Gagal Mencapai MDG 4 dan 5: What next?

edi-4marPada pertengahan tahun lalu, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa Ban Ki-moon menunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama PM Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf menjadi pimpinan panel tingkat tinggi untuk merumuskan kerangka kerja baru pasca millenium development goals (MDGs) yang akan berakhir pada 2015. Kerangka kerja baru tersebut sementara ini dinamai sustainable development goals (SDGs).

Untuk menyusun SDGs diperlukan suatu suatu evaluasi obyektif, mengapa ada target MDGs yang melampaui sasaran dan ada yang sasaran yang tidak bisa tercapai. Evaluasi tersebut diperlukan mengingat banyak negara tidak bisa mencapai sasaran yang ditetapkan dalam MDGs. Di Indonesia MDG nomor 4 yaitu penurunan angka kematian bayi (AKB) dan MDG nomor 5 yaitu penurunan angka kematian ibu (AKI) kemungkinan besar gagal tercapai.

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan 2012 menunjukkan AKB mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup, sementara target Indonesia sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian pada bayi usia di bawah 28 hari masih cukup tinggi, jumlahnya mencapai 50 persen dari angka kasus kematian bayi secara keseluruhan dan umumnya disebabkan karena kesulitan bernapas saat lahir (asfiksia), infeksi, dan komplikasi lahir dini serta berat badan lahir rendah. Sulitnya menurunkan AKB disebabkan antara lain belum meratanya persebaran tenaga kesehatan, terutama untuk wilayah Indonesia bagian timur, belum memadainya fasilitas kesehatan dan tidak adanya akses yang cukup baik bagi warga terhadap layanan kesehatan.

Sedangkan AKI pada tahun 1990 sebesar 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup sedangkan AKI tahun 2007 adalah 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup yang menetap hingga tahun 2012. Walau menunjukkan penurunan, angka ini masih jauh dari target tahun 2015 yaitu 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu masih disebabkan karena masalah terkait keterlambatan mengambil keputusan, keterlambatan mengakses pelayanan kesehatan dan keterlambatan dalam melakukan tindakan di sarana pelayanan kesehatan.

Seperti pada kematian bayi, kematian ibu juga disebabkan karena belum meratanya persebaran tenaga kesehatan, bahkan Penasihat Khusus dan Utusan Khusus Sekjen PBB Nafis Sadik, mengatakan bahwa pemerintah dinilai gagal dalam mewujudkan akses layanan kesehatan reproduktif bagi seluruh lapisan masyarakat.

Bila kita mencermati penyebab kematian ibu dan bayi serta akar masalah penyebab kematian tersebut, maka tidak ada penyebab/masalah baru sejak MDGs ditetapkan, bahkan sejak puluhan tahun lalu sebelumnya. Sehingga muncul pertanyaan mengapa kita sulit sekali mencapai MDG 4 dan 5?

Berbagai bukti ilmiah telah tersedia untuk memecahkan berbagai masalah tersebut dan menjadi pedoman penyusunan rencana dan anggaran program KIA yang strategis. The Lancet, salah satu jurnal ilmiah terkemuka mengidentifikasi 66 macam intervensi yang secara internasional telah terbukti efektif dan mungkin dilakukan untuk meningkatkan mutu pelayanan KIA. Berbagai intervensi tersebut juga sudah diterapkan di Indonesia.

Sehingga pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa intervensi tersebut belum berjalan dengan baik di Indonesia? Di mana letak permasalahan dalam intervensi KIA di Indonesia? Bagaimana membuat berbagai intervensi tersebut tidak dilakukan secara terpisah, tapi merupakan kesatuan sistem kesehatan. (hd)