Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Seiring perkembangan teknologi, praktik penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sudah banyak mulai mengubah pendekatan peningkatan mutu di rumah sakit. Perubahan pendekatan khususnya terjadi dalam dua level utama, yakni diagnosis terapi dan operasi klinis. Berdasarkan review artikel Abu Khadijah dan Nashwan (2024), AI terbukti berperan penting dalam menekan kesalahan medis yang memiliki dampak merugikan pada level klinis. Misalnya seperti dalam deteksi dini sepsis yang mampu mengurangi lama rawat inap hingga 2,7 hari dan menurunkan angka kematian sebesar 12,4%. AI juga membantu tenaga kesehatan menginterpretasi citra medis, mengidentifikasi interaksi obat yang berbahaya, dan mengenali pola risiko dalam catatan medis elektronik yang terlewat. Contoh lain penggunaan AI terdapat dalam bidang kesehatan mental dan manajemen kondisi kritis.

Dalam level operasional, AI menawarkan solusi untuk tantangan efisiensi yang selama ini membebani rumah sakit. Tantangan efisiensi diketahui didominasi oleh porsi waktu kerja klinisi yang tersita oleh tugas administratif. Teknologi AI dapat membantu untuk memperkirakan volume kunjungan pasien, mengotomatisasi penjadwalan, menyeimbangkan beban kerja staf, serta memberikan sistem pengingat otomatis untuk kunjungan tindak lanjut atau imunisasi. Melalui bantuan AI, alur kerja yang disusun menjadi lebih ringkas, penggunaan sumber daya lebih tepat, dan waktu layanan klinis dapat kembali terfokus pada interaksi langsung dengan pasien.

Selain itu, artikel ini menyoroti bagaimana AI memperkuat proses penilaian risiko seperti Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) dan Root Cause Analysis (RCA). Dalam studi kasus yang dibahas, AI GPT-4 mampu mengidentifikasi berbagai failure modes secara cepat dibandingkan proses manual yang memakan waktu hingga berbulan-bulan. Meskipun praktis, masih terdapat catatan bahwa penilaian akhir tetap harus dilakukan oleh tenaga ahli yang memahami konteks klinis. Pada saat yang sama, AI meningkatkan pelaporan indikator mutu melalui analisis pola tersembunyi dalam Electronic Health Record (EHR) secara real-time. Inovasi lain seperti augmented reality juga membuka cara baru dalam pelatihan staf mutu dengan simulasi yang aman dan interaktif tanpa risiko terhadap pasien.

Meskipun potensinya besar, penulis menekankan adanya tantangan yang wajib dikelola seperti kualitas dan akses data, interoperabilitas sistem, isu privasi dan etika, bias algoritma, dan resistensi pengguna. Oleh karena itu, integrasi AI memerlukan tata kelola yang kuat dan kerangka regulasi yang jelas. Secara praktis, artikel ini menegaskan bahwa AI bukan pengganti tenaga kesehatan melainkan alat strategis bagi praktisi dan manajemen rumah sakit untuk memperkuat keselamatan, mempercepat analisis mutu, meningkatkan efisiensi operasional, dan memperkaya pelatihan staf. Melalui penggunaan AI yang bijak, layanan kesehatan dapat bergerak menuju sistem yang lebih aman, efektif, efisien, berpusat pada pasien, dan responsif.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39104802/ 

 

 

Tantangan krisis kesehatan seperti pandemi, bencana alam, hingga serangan biologis yang dihadapi oleh pemerintah, fasilitas kesehatan, dan masyarakat diketahui semakin kompleks. Seiring perkembangan, tantangan krisis kesehatan memerlukan solusi yang efektif, optimal, dan tepat sasaran. Narrative review oleh Ongesa et al. (2025) membahas pentingnya pendekatan project management yang dapat diintegrasikan dengan sistem kesehatan masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan respon darurat di wilayah perkotaan. Pendekatan ini menekankan pentingnya perencanaan strategis, kolaborasi lintas sektor, penggunaan teknologi, dan pengambilan keputusan yang didasari dengan etik.

Ongesa et al. (2025) mengemukakan bahwa penerapan kerangka kerja Project Management Body of Knowledge (PMBOK) dapat meningkatkan koordinasi lintas lembaga, mempercepat distribusi sumber daya, dan memastikan komunikasi publik yang lebih efektif selama krisis. PMBOK adalah kerangka standar internasional yang memberikan panduan sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi proyek secara efisien. Dalam konteks kesehatan, PMBOK membantu mengoptimalkan koordinasi, alokasi sumber daya, dan pengambilan keputusan selama situasi darurat. Contohnya dalam penanganan COVID-19 di New York, Tokyo, dan Singapura, penggunaan prinsip manajemen proyek memungkinkan pemerintah untuk mengatur sumber daya secara lebih sistematis. Kerangka kerja ini juga memungkinkan pihak fasilitas kesehatan untuk memantau kebutuhan rumah sakit secara real-time dan menyesuaikan strategi berdasarkan data lapangan. Hasilnya, waktu tanggap menjadi lebih cepat dan kepercayaan publik dapat terjaga.

Aspek penting lainnya adalah integrasi teknologi seperti Artificial Intelligence (AI), Big Data, dan Internet of Things (IoT). Ketiganya digunakan untuk memprediksi pola penyebaran penyakit, memantau rantai pasokan medis, serta mengoptimalkan distribusi vaksin dan alat pelindung diri (APD). Dalam kasus Singapura, penggunaan aplikasi TraceTogether menjadi contoh sukses penerapan teknologi untuk pelacakan kontak secara efisien tanpa mengorbankan transparansi informasi kepada masyarakat. Penulis juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam kesiapsiagaan kesehatan. Keterlibatan aktif warga dan tokoh lokal dalam penyebaran informasi, pelatihan tanggap darurat, dan pengawasan komunitas terbukti memperkuat ketahanan sosial. Selain itu, isu etika menjadi kunci terutama dalam hal alokasi sumber daya yang terbatas. Pendekatan utilitarian (memaksimalkan manfaat bagi banyak orang) dan egalitarian (menjamin keadilan bagi semua) perlu dipadukan agar keputusan tetap efisien sekaligus adil.

Bagi praktisi kesehatan dan manajemen rumah sakit, artikel ini memberikan pelajaran penting bahwa kesiapsiagaan tidak hanya menekankan pada aspek logistik tetapi juga kepemimpinan, komunikasi, dan kemampuan beradaptasi. Penerapan prinsip manajemen proyek dapat membantu rumah sakit dalam merancang sistem respons yang tangguh. Sistem respon contohnya dapat dimulai dari simulasi krisis, pelatihan tenaga medis, hingga penerapan sistem pemantauan berbasis data. Melalui pendekatan yang terstruktur, inovatif, dan berorientasi etika, fasilitas kesehatan dapat lebih siap menghadapi ancaman kesehatan dengan cepat, terkoordinasi, dan berkeadilan secara berkelanjutan.

Disarikan oleh:
Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://journals.lww.com/md-journal/fulltext/2025/01170/optimizing_emergency_response_systems_in_urban.17.aspx 

 

 

Tuberkulosis (TB) diketahui sering berhubungan dengan gejala batuk, demam, atau penurunan berat badan. Namun, studi Emery et. al (2022) melalui analisis empat survei prevalensi di Asia dan Afrika menemukan bahwa penularan TB justru banyak terjadi pada individu yang tidak menunjukkan gejala apapun. Studi ini menggunakan pendekatan pemodelan berbasis Bayesian yang mengintegrasikan data household contacts, tingkat hasil uji lab smear-positivity, dan estimasi durasi penyakit untuk menghitung kontribusi relatif setiap fase TB terhadap penularan. Hasilnya ditemukan bahwa durasi TB subklinis cenderung lebih panjang daripada fase klinis sehingga akumulasi penularan tetap lebih besar meskipun infektivitas per hari sedikit lebih rendah.

Analisis terhadap 414 pasien TB dan 789 kontak serumah menunjukkan bahwa pasien dengan TB subklinis memiliki tingkat infektivitas yang hampir setara dengan pasien TB klinis. Pasien tersebut bahkan berpotensi dua kali lebih tinggi per satuan waktu karena fase subklinis dapat berlangsung lebih lama. Ketika dipadukan dengan data dari 14 survei prevalensi nasional, model menyimpulkan bahwa sekitar 68% penularan TB global berasal dari kasus subklinis dengan variasi 45–84% antarnegara. Penelitian Emery et. al (2022) juga menyoroti bahwa sepertiga pasien subklinis ternyata memiliki smear-positif. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas penularan tinggi dan banyak pasien yang tidak mampu menghasilkan sputum sehingga tidak terdeteksi melalui metode konvensional.

Selain itu, penelitian membandingkan pola antarnegara dan menemukan bahwa negara dengan proporsi TB subklinis tinggi memiliki beban ancaman tersembunyi yang jauh lebih besar. Temuan tersebut terutama terjadi di kawasan dengan akses skrining rendah atau ketergantungan tinggi pada deteksi berbasis gejala. Studi ini juga menggarisbawahi bahwa skrining gejala, termasuk algoritma “batuk ≥2 minggu”, melewatkan banyak kasus yang secara bakteriologis sudah positif dan berpotensi menular. Peneliti menekankan perlunya strategi skrining aktif berbasis populasi, penggunaan pemeriksaan radiologi dan alat deteksi molekuler yang tidak bergantung pada sputum, serta integrasi skrining TB pada pelayanan rawat jalan atau pemeriksaan rutin bagi kelompok berisiko tinggi.

Implikasi penelitian ini bagi praktik pelayanan mutu kesehatan tentunya sangat luas. Bagi manajemen rumah sakit dan pembuat kebijakan, temuan ini dapat mendorong upaya investasi perencanaan deteksi dini. Upaya misalnya dapat dilakukan melalui pemanfaatan artificial intelligence untuk pembacaan foto toraks dan pergeseran paradigma dari deteksi pasif ke pencarian aktif kasus. Kesimpulan utama penelitian ini jelas, yakni kasus subklinis TB adalah sumber penularan terbesar yang selama ini terabaikan. Strategi eliminasi TB global tidak akan tercapai tanpa melibatkan prioritas fase subklinis sebagai prioritas utama dalam kebijakan, program, dan intervensi di tingkat layanan maupun komunitas.

Disarikan oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://elifesciences.org/articles/82469

 

 

Hari Kesehatan Nasional pada tanggal 6 November 2025 bertema "Generasi Sehat, Masa Depan Hebat" memiliki makna pentingnya menjaga kesehatan dimulai dari individu dimulai dari lingkup yang paling kecil. Dengan menjaga diri, baik secara fisik, mental, maupun sosial, setiap warga negara berkontribusi memperkuat ketahanan dan kemajuan Indonesia, mewujudkan Indonesia Hebat.

Kesehatan masyarakat menjadi dasar dari kuatnya kemajuan sudatu negara. Hal ini tidak terlepas dari peran pemangku kebijakan untuk mendukung program kesehatan. Salah satu kelompok yang memerlukan dukungan penuh agar dapat meningkatkan kesehatannya secara optimal adalah anak dan remaja. Anak dan remaja yang sehat akan menghadilkan orang dewasa yang juga sehat, bukan hanya secara fisik, namun juga mental.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh McGovern, et al. (2022), menunjukkan sekitar separuh dari seluruh gangguan kesehatan mental pada orang dewasa sebenarnya mulai muncul sebelum usia 14 tahun, dan tiga perempatnya muncul sebelum usia 24 tahun. Anak-anak yang mengalami masalah kesehatan mental sejak dini juga cenderung memiliki berbagai dampak negatif, seperti meningkatnya risiko penyalahgunaan zat, keterlibatan dalam perilaku melanggar hukum, kesulitan dalam hubungan sosial dengan keluarga maupun teman, menurunnya peluang pendidikan, serta risiko kehamilan dan menjadi orang tua di usia muda. Selain itu, anak-anak dengan gangguan mental berisiko besar mengalami masalah serupa secara berkelanjutan hingga dewasa, yang kemudian berdampak pada kesulitan ekonomi di masa depan.

Dalam beberapa tahun terakhir, kasus gangguan kesehatan mental pada remaja terus meningkat, ditambah lagi dengan melonjaknya angka depresi dan kecemasan setelah pandemi COVID-19. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius dari perspektif kesehatan masyarakat. Walaupun jumlah intervensi berbasis bukti ilmiah untuk menangani masalah kesehatan mental pada anak dan remaja terus bertambah, akses terhadap layanan ini masih terbatas. Banyak remaja yang membutuhkan bantuan justru menghadapi waktu tunggu yang panjang sebelum mendapatkan penanganan.

Bukti ilmiah yang kuat menunjukkan bahwa pencegahan primer memiliki peran penting dalam mengurangi risiko gangguan kesehatan mental. Intervensi jenis ini biasanya diterapkan secara universal kepada seluruh anak dan remaja, dengan tujuan memperkuat kesehatan mental positif serta mencegah timbulnya gangguan psikologis. Namun, anak-anak yang memiliki risiko lebih tinggi tampaknya memerlukan pendekatan yang lebih spesifik dan disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sejumlah tinjauan sistematis juga telah meneliti efektivitas berbagai bentuk intervensi pencegahan sekunder untuk kesehatan mental anak dan remaja, guna menekan risiko berkembangnya gangguan yang lebih berat di kemudian hari.

Intervensi preventif yang dinilai efektif menurut penelitian McGovern, et al. (2022), yakni:

  • Program berbasis sekolah atau komunitas untuk meningkatkan resilience (ketahanan psikososial) dan mengurangi faktor risiko seperti bully, konflik keluarga, dan stres.
  • Intervensi keluarga/sistem keluarga (family-based) termasuk konseling, dukungan parental, pelatihan keterampilan parenting sehingga mengurangi dampak adversitas.
  • Program untuk individu yang sudah menunjukkan tanda-tanda awal (misalnya gejala internalising atau externalising) agar tidak berkembang menjadi gangguan penuh.
  • Strategi kombinasi antara pengurangan faktor risiko (risk reduction) dan peningkatan faktor protektif (resilience/enhancement) dianggap paling efektif.

Dalam pelaksanaannya, intervensi di atas dilakukan berdasarkan 3 kategori, yakni

  1. Intervensi Selektif
    Intervensi yang ditargetkan kepada kelompok/individu yang berisiko tinggi tapi belum
    menunjukkan gangguan penuh. Contoh: anak remaja yang memiliki riwayat kekerasan rumah tangga, atau tinggal di lingkungan sosial dengan banyak faktor stres. Dalam penelitian ini, program berbasis komunitas atau sekolah untuk kelompok seperti itu termasuk dalam kategori selektif.
  2. Interevensi yang Diindikasikan
    Intervensi yang ditujukan kepada individu yang sudah menunjukkan gejala ringan/awal dari gangguan psikologis (misalnya gejala depresi ringan, kecemasan, perilaku eksternalising) tapi belum memenuhi kriteria penuh penyakit. Contoh dari penelitian ini: program individu atau keluarga yang menangani anak dengan gejala internalising/externalising untuk mencegah progres ke gangguan penuh.
  3. Intervensi Sekunder Kombinasi
    Intervensi yang mencakup elemen pencegahan sekunder (deteksi awal + intervensi cepat) dengan kombinasi komponen risk reduction dan resilience building. Dalam penelitian ini disebut bahwa intervensi paling efektif adalah yang menggabungkan kedua pendekatan: mengurangi faktor risiko sekaligus memperkuat proteksi (resilience) bagi anak/keluarga yang sudah berada di lingkungan dengan banyak stres atau sudah menunjukkan gejala awal.

Interventions to prevent mental health problems in young people are more likely to be effective if they combine both risk reduction and resilience enhancing approaches to targeting younger children and young people who have experience adversity and/or those with subclinical externalising and internalising difficulties. Interventions may include both individual and family level interventions components.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11271346/