Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kualitas pelayanan dan sistem rujukan merupakan tantangan besar dalam upaya peningkatan kesehatan ibu, bayi, anak dan remaja. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar sangat memerlukan sistem transportasi dan komunikasi, infrastruktur, fasilitasi pelayanan kesehatan, dan tenaga kesehatan yang memadai berkualitas. Sistem pelayanan kesehatan yang belum sepenuhnya berkesinambungan juga menjadi suatu faktor penyebab rendahnya status kesehatan ibu dan neonatal. Akses dan kualitas layanan rujukan memegang peranan penting untuk menghadapi berbagai tantangan kesehatan di Indonesia seperti kesehatan ibu, bayi, anak, remaja, dan transisi epidemiologi.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang besar sangat memerlukan sistem transportasi dan komunikasi, infrastruktur, fasilitas pelayanan kesehatan, dan tenaga kesehatan yang kompeten dengan jumlah memadai. Sistem pelayanan kesehatan yang masih terfragmentasi dan belum berkesinambungan menjadi suatu salah satu faktor penyebab rendahnya status kesehatan ibu dan neonatal. Di sisi lain transisi epidemiologi yang pesat memberikan urgensi semakin diperlukannya percepatan peningkatan akses dan kualitas pelayanan rujukan melalui pemenuhan sumber daya dan penguatan tata kelola. Sehingga peran rumah sakit saat ini diarahkan tidak hanya berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif untuk mengejar pendapatan, tetapi juga harus mempunyai peran dalam pencapaian program prioritas, seperti penurunan kematian maternal, penurunan kematian bayi, penurunan stunting, penurunan wasting, dan juga pengendalian penyakit, termasuk melalui skrining.

Dalam rangka penyediaan layanan rujukan yang lebih berkualitas. Fokus transformasi pada pelayanan rujukan ini adalah:

  1. Perluasan akses ke pelayanan kesehatan rujukan secara merata dan berkeadilan di seluruh daerah sesuai dengan Rencana Induk Nasional Fasilitas Pelayanan Kesehatan, yang mencakup pembangunan RS kelas B terutama di Provinsi Maluku, NTT dan Papua, kemudian pembangunan RS Pratama di provinsi DTPK dan penambahan sarana dan prasarana alat kesehatan PONEK di seluruh provinsi, serta upaya terobosan penyediaan pelayanan kesehatan lainnya untuk peningkatan akses pelayanan kesehatan di daerah yang sulit diakses
  2. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan rujukan yang mencakup obat, alat kesehatan, sarana dan prasarana dan aspek layanan lainnya, yaitu penguatan pusat rujukan nasional untuk layanan kesehatan ibu dan anak, kanker, serta pernapasan di RS Rujukan Nasional, pengembangan RS Rujukan Nasional di setiap Provinsi (42 RS Rujukan Nasional) yang menjadi rumah sakit rujukan tertinggi serta menjadi pusat layanan unggulan dari 9 (sembilan) jenis layanan kesehatan prioritas, kemudian pengembangan jejaring pengampuan 6 (enam) layanan unggulan di seluruh provinsi (RS Jantung Harapan Kita untuk jantung, RS Persahabatan untuk tuberkolusis, RS Ibu dan Anak Harapan Kita untuk kesehatan ibu dan anak, RS Kanker Dharmais untuk kanker, RS PON untuk stroke, dan RSCM untuk diabetes), membangun kemitraan seluruh RS Kementerian Kesehatan dengan dengan world’s top healthcare center dan universitas terbaik untuk riset, serta stratifikasi layanan unggulan RS menjadi Center of Excellence ASEAN/Asia
  3. Penataan sistem rujukan secara nasional termasuk upaya untuk pemenuhan RS Rujukan Nasional di setiap provinsi
  4. Upaya pemenuhan SPA secara berkelanjutan akan dilaksanakan berdasarkan sebuah rencana induk.

Strategi transformasi pelayanan kesehatan rujukan tersebut dilaksanakan melalui upaya sebagai berikut:

a. Pemenuhan sarana dan prasarana, alat kesehatan, obat dan BMHP pada layanan rujukan, yang mencakup:

  1. Pembangunan rumah sakit di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK)
  2. Peningkatan Sarana, Prasarana dan Alat kesehatan (SPA) sesuai standar di rumah sakit
  3. Pemenuhan obat dan BMHP di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan
  4. Pembangunan RS UPT Vertikal Pusat di Provinsi Maluku, NTT dan Papua

b. Penguatan tata kelola manajemen dan pelayanan spesialistik, dengan upaya seperti:

  1. Penguatan mekanisme dan sistem rujukan terutama di Rumah Sakit Umum (RSU)
  2. Penyediaan dan pengembangan pendidikan dan pelatihan dirumah sakit
  3. Pemanfaatan teknologi untuk deteksi dini dan respons penyakit dalam hal ini adalah telemedicine
  4. Penyusunan dan implementasi Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK)

c. Penyediaan pelayanan kesehatan rujukan yang berkualitas, melalui:

  1. Pengembangan RS Rujukan Nasional di setiap Provinsi (42 RS Rujukan Nasional)
  2. Penyediaan akses layanan rujukan di daerah luar Jawa
  3. Penguatan mutu rumah sakit
  4. Inovasi dan pengembangan Rumah Sakit Khusus
  5. Program sister hospital dan stratifikasi layanan unggulan rumah sakit menjadi Center of Excellence ASEAN/Asia

Sumber:
Kementerian Kesehatan RI. 2022. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024.

 

 

Pemilihan dan pengumpulan data indikator mutu merupakan salah satu fokus pada standar peningkatan mutu dan keselamatan pasien dalam akreditasi Rumah Sakit. Pada penyelenggaraan mutu di RS dikatakan bahwa komite/tim mendukung proses pemilihan indikator dan melaksanakan koordinasi serta integrasi kegiatan pengukuran data indikator mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit. Beberapa indikator yang perlu disusun diantaranya Indikator Nasional Mutu (INM), Indikator Mutu Prioritas Rumah Sakit (IMP-RS), dan Indikator Mutu Prioritas di Unit (IMP-Unit).

Pemilihan indikator mutu prioritas rumah sakit adalah tanggung jawab pimpinan dengan mempertimbangkan prioritas untuk pengukuran yang berdampak luas/ menyeluruh di rumah sakit. Sedangkan kepala unit memilih indikator mutu prioritas di unit kerjanya. Semua unit klinis dan non klinis memilih indikator terkait dengan prioritasnya. Hal yang perlu diantisipasi oleh RS yang besar jika ada indikator yang sama yang diukur di lebih dari satu unit. Misalnya, Unit Farmasi dan Komite/Tim PPI memilih prioritas pengukurannya adalah penurunan angka penggunaan antibiotik di rumah sakit. Program mutu dan keselamatan pasien berperan penting dalam membantu unit melakukan pengukuran indikator yang ditetapkan.

Komite/Tim Penyelenggara Mutu juga bertugas untuk mengintegrasikan semua kegiatan pengukuran di rumah sakit, termasuk pengukuran budaya keselamatan dan sistem pelaporan insiden keselamatan pasien. Integrasi semua pengukuran ini akan menghasilkan solusi dan perbaikan yang terintegrasi. Adapun peran dari komite/tim penyelenggara mutu yakni: 1) terlibat dalam pemilihan indikator mutu prioritas baik ditingkat rumah sakit maupun tingkat unit layanan. 2) Penyelenggara mutu melaksanakan koordinasi dan integrasi kegiatan pengukuran serta melakukan supervisi ke unit layanan, dan 3) Mengintegrasikan laporan insiden keselamatan pasien, pengukuran budaya keselamatan, dan lainnya untuk mendapatkan solusi dan perbaikan terintegrasi.

Pengumpulan data indikator mutu dilakukan oleh staf pengumpul data yang sudah mendapatkan pelatihan tentang pengukuran data indikator mutu. Pengumpulan data indikator mutu berdasarkan peraturan yang berlaku yaitu pengukuran indikator nasional mutu (INM) dan prioritas perbaikan tingkat rumah sakit meliputi:

  1. Pengumpulan Indikator nasional mutu (INM) yaitu indikator mutu nasional yang wajib dilakukan pengukuran dan digunakan sebagai informasi mutu secara nasional, diantaranya:
    1. Kepatuhan kebersihan tangan
    2. Kepatuhan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
    3. Kepatuhan identifikasi pasien
    4. Waktu tanggap seksio sesarea emergensi
    5. Waktu tunggu rawat jalan
    6. Penundaan operasi elektif
    7. Kepatuhan waktu visite dokter penanggung jawab pelayanan
    8. Pelaporan hasil kritis laboratorium
    9. Kepatuhan penggunaan formularium nasional
    10. Kepatuhan terhadap clinical pathway
    11. Kepatuhan upaya pencegahan risiko pasien jatuh
    12. Kecepatan waktu tanggap terhadap complain
    13. Kepuasan pasien dan keluarga
  2. Indikator mutu prioritas RS (IMP-RS)
    1. Indikator Sasaran Keselamatan Pasien (minimal 1 untuk tiap sasaran)
    2. Indikator Pelayanan Klinis Prioritas (minimal 1)
    3. Indikator Tujuan Strategis RS  KPI (minimal 1)
    4. Indikator Perbaikan Sistem (minimal 1)
    5. Indikator Manajemen Risiko (minimal 1)
    6. Indikator Penelitian Klinis & Program Pendidikan Kedokteran (minimal1, apabila ada)
    7. Indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit)
  3. Indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) adalah indikator prioritas yang khusus dipilih kepala unit terdiri dari minimal 1 indikator.

Indikator mutu terpilih apabila sudah tercapai dan dapat dipertahankan selama 1 (satu) tahun, maka dapat diganti dengan indikator mutu yang baru. Setiap indikator mutu baik indikator mutu prioritas rumah sakit (IMP-RS) maupun indikator mutu prioritas unit (IMP-Unit) agar dilengkapi dengan profil indikator sebagai berikut:

  1. Judul indikator.
  2. Dasar pemikiran.
  3. Dimensi mutu.
  4. Tujuan.
  5. Definisi operasional.
  6. Jenis indikator.
  7. Satuan pengukuran.
  8. Numerator (pembilang).
  9. Denominator (penyebut).
  10. Target.
  11. Kriteria inklusi dan eksklusi.
  12. Formula.
  13. Metode pengumpulan data.
  14. Sumber data.
  15. Instrumen pengambilan data.
  16. Populasi/sampel (besar sampel dan cara pengambilan sampel).
  17. Periode pengumpulan data.
  18. Periode analisis dan pelaporan data.
  19. Penyajian data.
  20. Penanggung jawab.

 

Disarikan Oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK-KMK UGM)

Sumber: Kementerian Kesehatan RI. 2022. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/1128/2022 Tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit.

 

 

Fasilitas pelayanan kesehatan primer merupakan ujung tombak dalam mewujudkan masyarakat yang sehat. Pemberdayaan masyarakat melalui upaya peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan harus menjadi bagian penting dalam sistem pelayanan kesehatan primer ini. Sistem ini juga harus memiliki kapasitas yang memadai dalam memberikan layanan dasar bagi masyarakat untuk membentuk perilaku hidup sehat, mencegah kejadian kesakitan dan mengurangi beban sistem rujukan yang membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Keberhasilan upaya penguatan PHC mutlak membutuhkan reformasi sistem kesehatan secara substansial. Reformasi ini meliputi komitmen politik dan kepemimpinan, tata kelola pemerintahan dan kebijakan, pendanaan dan alokasi sumber daya, serta keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Reformasi strategis harus disertai dengan reformasi operasional, upaya berbasis bukti dalam peningkatan akses, cakupan, dan kualitas yang mengedepankan integrasi layanan kesehatan, penguatan tenaga kerja dan penggunaan teknologi digital yang terintegrasi. Di sisi lain, keterlibatan pihak swasta dalam sistem kesehatan, utamanya dalam pelayanan kesehatan primer menjadi penting, dengan kondisi disparitas terhadap akses, sumber daya, kualitas, maupun outcome kesehatan esensial saat ini.

Berikut ini strategi transformasi pelayanan kesehatan primer ini yang dilaksanakan melalui:

1) Penguatan pelayanan kesehatan primer pada upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat dengan mengutamakan promotif dan preventif.

Penguatan pelayanan kesehatan primer merupakan upaya untuk mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan melalui pemberdayaan masyarakat, pembudayaan Germas, dan penggerakan lintas sektor, dengan rincian strategi yang meliputi:

  1. Penguatan dan perluasan upaya edukasi dan pemberdayaan masyarakat, termasuk untuk peningkatan peran aktif dan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
  2. Pengendalian penyakit berbasis masyarakat melalui UKBM, pendekatan keluarga dan pelibatan swasta. UKBM merupakan salah satu bentuk implementasi pemberdayaan masyarakat yang dapat diukur dari tingkat keaktifan posyandu.
  3. Memperluas Health in all Policies (HiAP) untuk mendorong lebih banyak strategi lintas sektor dalam menangani determinan sosial yang luas dari bidang kesehatan di antara sektor kehidupan lainnya.
  4. Penguatan sistem surveilans gizi secara nasional, pendampingan bagi daerah untuk dapat memberikan intervensi gizi secara berkelanjutan serta penyiapan respons untuk permasalahan gizi yang menjadi perhatian secara nasional
  5. Peningkatan cakupan dan perluasan jenis imunisasi rutin
  6. Penguatan deteksi dini penyakit berdasarkan faktor risiko sesuai dengan kelompok usia , yang pada RPJMN disebutkan bahwa perluasan skrining di layanan kesehatan primer difokuskan pada kasus stunting, wasting dan kematian ibu
  7. Peningkatan kapasitas penemuan kasus baru penyakit menular

2) Pemenuhan sarana, prasarana, obat, BMHP dan alat kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer. Pemenuhan ini meliputi antara lain:

  1. Perluasan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan primer melalui pembangunan puskesmas, sehingga diharapkan pada 2024, seluruh kecamatan di Indonesia telah memiliki puskesmas
  2. Pemenuhan sarana prasarana puskesmas, termasuk obat, BMHP dan alat Kesehatan sebagai bagian dari komitmen untuk penyediaan 40 jenis obat esensial di puskesmas seluruh Indonesia
  3. Pemenuhan sarana prasarana imunisasi di seluruh puskesmas di Indonesia

3) Meningkatan kualitas pelayanan kesehatan primer yang komprehensif melalui penguatan tata kelola manajemen pelayanan dan kolaborasi publik-swasta, yang mencakup:

  1. Penguatan tata kelola manajemen puskesmas
  2. Penguatan pelayanan esensial sesuai standar, termasuk untuk daerah terpencil dan sangat terpencil
  3. Penguatan tata laksana rujukan termasuk rujuk balik
  4. Standardisasi mutu FKTP swasta, melalui penyediaan NSPK, akreditasi dan upaya pendampingan yang berkelanjutan
  5. Peningkatan partisipasi publik dan swasta pada penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer

Sumber:
Kementerian Kesehatan RI. 2022. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024.

 

 

oleh: Hanevi Djasri

Tanggal 1 dan 2 Juni 2022, PERSI Pusat mengadakan acara sosialisasi standar akreditasi rumah sakit yang baru saja ditetapkan oleh Kemenkes. Sosialisasi daring tersebut diikuti dengan antusias oleh lebih dari 2.400 peserta dan video youtube-nya telah ditonton lebih dari 16.000 pemirsa dalam waktu tidak sampai 12 jam, sungguh luar biasa.

Semangat tersebut diharapkan tetap tinggi pada tahap penerapan standar akreditasi, yang terdiri dari kegiatan membangun kebulatan tekad bersama, memperdalam pemahaman persyaratan akreditasi, melakukan baseline assessment, menetapkan rencana penerapan dan sistem pemantauan kemajuan akreditasi, membentuk tim fasilitator dan pelaksana, serta menyusun, melaksanakan, dan meningkatkan efektifitas berbagai kebijakan dan prosedur.

Berbagai upaya pemenuhan standar akreditasi yang menguras sumber daya RS dan memakan waktu berbulan-bulan tersebut akan dinilai oleh para “penyurvei” (menggunakan istilah baku dalam KBBI) dari lembaga independen penyelenggara akreditasi dalam waktu 3 sampai 4 hari saja. Sehingga penting bagi pimpinan RS memilih dengan bijaksana lembaga akreditasi yang akan melakukan penilaian.

Saat ini terdapat 6 lembaga independen penyelenggara akreditasi RS dengan berbagai akronim yang hampir mirip KARS, LAFKI, LARS-DHP, LARS, LAM-KPRS, LARSI. Pimpinan RS bebas memilih sebebas-bebasnya (dan memang tidak boleh dipaksa baik secara halus apalagi terang-terangan) lembaga yang akan diminta menilai RS yang dipimpinnya, namun ternyata tidak mudah memilih yang terbaik.

The International Society for Quality in Healthcare (ISQua) telah memberikan kiat jitu memilih lembaga akreditasi terbaik. ISQua adalah komunitas internasional untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien termasuk dengan membentuk External Evaluation Association (ISQua-EEA) sebagai asosiasi lembaga evaluasi eksternal yang kemudian mengembangkan pedoman dan standar bagi lembaga evaluasi eksternal (termasuk lembaga akreditasi).

Berdasarkan beberapa kriteria inti dari ISQua-EAA, cara memilih lembaga akreditasi terbaik adalah dengan menilai berbagai aspek dibawah ini:

  1. Tatakelola: Pilihlah lembaga akreditasi yang telah berupaya mencegah dan memastikan bebas dari kemungkinan konflik kepentingan, memiliki kejelasan tatakelola organisasi yang meliputi: susunan organisasi, masa jabatan, mekanisme pengangkatan, dan uraian tugas setiap pengelola, serta jalur akuntabilitas yang melibatkan pemangku kepentingan di luar lembaga.
  2. Manajemen strategi, operasional, dan keuangan: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki kejelasan rencana strategis, disusun dengan melibatkan para pemangku kepentingan (termasuk wakil pengelola RS), dilengkapi dengan tujuan dan sasaran yang dapat dicapai dan terukur.
  3. Manajemen risiko dan peningkatan mutu: Pilihlah lembaga akreditasi dengan sistem manajemen keluhan yang baik, yaitu lembaga yang: menjelaskan prosedur pengajuan komplain baik oleh pengelola RS, penyurvei, dan pemangku kepentingan lainnya, memiliki kerangka waktu yang jelas dalam menindaklanjuti keluhan, memastikan adanya umpan balik kepada pelapor, serta menggunakan temuan dari keluhan untuk peningkatan kualitas berkelanjutan.
  4. Manajemen SDM: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki program orientasi bagi staf baru (termasuk para penyurvei), sehingga para staf mereka memahami dengan baik misi, visi, nilai, strategi, layanan, dan struktur lembaga mereka, serta prosedur kesehatan dan keselamatan, termasuk peran dan tanggung jawab mereka.
  5. Manjemen informasi: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki sistem teknologi informasi (TI) yang baik, yaitu informatif, ramah pengguna, selalu diperbaharui, dan dipelihara, serta terdapat mekanisme keamanan. Lembaga akreditasi juga harus memiliki proses untuk memastikan bahwa semua informasi: akurat, dapat diandalkan, dapat diakses sesuai dengan undang-undang yang relevan, dan dijaga kerahasiaannya.
  6. Manajemen penyurvei: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki jumlah dan komposisi keterampilan penyurvei yang cukup untuk memastikan layanan survei yang diberikan berkualitas. Lembaga akreditasi juga harus mengangkat penyurvei melalui proses yang ketat dan transparan sesuai dengan kriteria seleksi berbasis kompetensi dan persyaratan dari lembaga akreditasi.
  7. Manajemen proses survei dan hubungan dengan pengelola RS: Pilihlah lembaga akreditasi yang menyediakan informasi lengkap tentang program penilaian akreditasi yang ditawarkan dan memiliki pengaturan untuk memastikan ketidakberpihakan serta menghindari konflik kepentingan dalam hubungan dengan pengelola RS.
  8. Pengelolaan status akreditasi: Pilihlah lembaga akreditasi yang setelah pemberian status akreditasi tetap memantau secara berkelanjutan kepatuhan pengelola RS terhadap standar dan upaya mereka untuk melakukan perbaikan. Lembaga akreditasi juga harus memiliki mekanisme untuk menindaklanjuti setiap permasalahan terkait RS yang telah terakreditasi.

Bagaimana cara pengelola RS memperoleh informasi dan menilai delapan aspek ini? Mudah, cukup cari, buka, dan pelajari website dari masing-masing lembaga akreditasi tersebut diatas.

Bagaimana kalau website-nya tidak ada atau tidak informatif? Mudah, nilai saja bahwa aspek tersebut diatas tidak terpenuhi. Kita berada di era informasi digital, bila informasi seperti itu tidak ada di website anggap saja memang tidak ada, “gitu aja kok repot”.

----

Hanevi Djasri, pada tahun 2005 menjadi anggota ISQua, tahun 2018 menjadi fellow ISQua

 

 

Lampiran: Usulan Instrumen Penilaian Lembaga Akreditasi oleh Pengelola RS

Aspek Penilaian Kode Lembaga Akreditasi
1 2 3 4 5 6
1. Tatakelola            
2. Manajemen strategi, operasional, dan keuangan            
3. Manajemen risiko dan peningkatan mutu            
4. Manajemen SDM            
5. Manjemen informasi            
6. Manajemen penyurvei            
7. Manajemen proses survei dan hubungan dengan pengelola RS            
8. Pengelolaan status akreditasi            
TOTAL Nilai            

Catatan:

  1. Penilaian dapat dilakukan dengan skala Likert 1-5
    • 1:tidak ada atau tidak ada informasi
    • 2:kurang baik
    • 3:cukup baik
    • 4:baik
    • 5:sangat baik
  2. Penilaian disarankan tidak hanya dilakukan oleh 1 orang tapi oleh tim
  3. Instrumen ini dapat dimodifikasi oleh masing-masing RS tergantung kebutuhan