Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FKKMK UGM)

WHO baru saja merilis 10 besar kematian tertinggi di tingkat global pada tahun 2019, 10 penyebab kematian tersebut merupakan menyumbang 55% dari 55,4 juta kematian di seluruh dunia. Penyebab kematian global teratas, dalam urutan jumlah total kematian dikaitkan dengan tiga topik besar: kardiovaskular (penyakit jantung iskemik, stroke), pernapasan (penyakit paru obstruktif kronik, infeksi saluran pernapasan bawah) dan kondisi neonatal - termasuk kelahiran asfiksia dan trauma kelahiran, sepsis dan infeksi neonatal, dan komplikasi kelahiran prematur. Penyebab kematian tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni; menular (penyakit menular dan parasit dan kondisi ibu, perinatal dan gizi), tidak menular (kronis) dan cedera.

Berikut di bawah ini penyebab utama kematian secara global di tingkat global, 7 dari 10 penyebab kematian utama pada tahun 2019 adalah penyakit tidak menular. Tujuh penyebab ini merupakan penyumbang 44% dari semua kematian atau 80% dari dererta 10 besar kasus.

10des

Berdasarkan data di atas bahwa penyakit sebagai pembunuh terbesar di dunia adalah penyakit jantung iskemik, menyebabkan 16% dari total kematian dunia. Sejak tahun 2000, mengalami peningkatan kasus dan meningkat lebih dari 2 juta menjadi 8,9 juta kematian pada tahun 2019. Stroke dan penyakit paru obstruktif kronik adalah penyebab kematian nomor 2 dan 3, yang menyebabkan masing-masing sekitar 11% dan 6% kematian dari total kematian.

Infeksi saluran pernapasan bagian bawah tetap menjadi penyakit menular yang paling mematikan di dunia, menempati peringkat ke-4 penyebab kematian. Namun, jumlah kematian telah turun secara substansial: pada 2019 merenggut 2,6 juta nyawa, turun sekitar 460.000 dibandingkan data tahun tahun 2000. Kondisi neonatal berada di peringkat ke-5. Namun, kematian akibat kondisi neonatal adalah salah satu kategori di mana terjadi penurunan terbesar kematian global dalam jumlah absolut selama dua dekade terakhir: kondisi ini menyebabkan kematian 2 juta bayi baru lahir dan anak kecil pada tahun 2019 dan menurun sekitar 1,2 juta dibandingkan tahun 2000.

Kematian akibat penyakit tidak menular terus meningkat. Kematian akibat kanker trakea, bronkus, dan paru-paru telah meningkat dari 1,2 juta menjadi 1,8 juta dan sekarang menduduki peringkat ke-6 di antara penyebab utama kematian. Pada tahun 2019, penyakit Alzheimer dan bentuk demensia lainnya menduduki peringkat ke-7 penyebab kematian.

Salah satu penurunan terbesar dalam jumlah kematian adalah akibat penyakit diare, dengan kematian global turun dari 2,6 juta pada 2000 menjadi 1,5 juta pada 2019. Kemudian diabetes telah masuk dalam 10 besar penyebab kematian, mengikuti peningkatan persentase yang signifikan sebesar 70% sejak tahun 2000. Serta penyakit lain yang termasuk dalam 10 besar penyebab kematian pada tahun 2000 tidak ada lagi dalam daftar. HIV / AIDS adalah salah satunya yakni telah turun 51% selama 20 tahun terakhir, bergerak dari penyebab kematian ke-8 di dunia pada tahun 2000 menjadi penyebab kematian ke-19 pada tahun 2019. Penyakit ginjal telah meningkat dari penyebab kematian ke-13 di dunia menjadi penyebab kematian ke-10 di dunia. Kematian meningkat dari 813.000 pada tahun 2000 menjadi 1,3 juta pada tahun 2019.

Mengapa kita perlu mengetahui penyebab kematian?

Penting untuk mengetahui penyebab kematian untuk meningkatkan cara hidup seseorang. Mengukur seberapa banyak orang yang meninggal setiap tahun untuk dapat membantu menilai keefektifan sistem kesehatan kita dan mengarahkan sumber daya ke tempat yang paling membutuhkan. Misalnya, data kematian dapat membantu memfokuskan kegiatan dan alokasi sumber daya di antara sektor-sektor seperti transportasi, pangan dan pertanian, dan lingkungan serta kesehatan.

Di masa pandemi COVID-19 saat ini, semakin memperlihatkan bahwa pentingnya data sehingga dapat mengungkapkan fragmentasi yang melekat dalam sistem pengumpulan data di sebagian besar negara berpenghasilan rendah, di mana para pembuat kebijakan masih tidak tahu pasti berapa banyak orang yang meninggal dan apa penyebabnya. Untuk mengatasi kesenjangan kritis ini, WHO telah bermitra dengan aktor global untuk meluncurkan Revealing the Toll of COVID-19: Paket Teknis untuk Pengawasan Kematian Cepat dan Respons Epidemi. Dengan menyediakan alat dan panduan untuk surveilans kematian cepat, sehingga negara dapat mengumpulkan data tentang jumlah total kematian berdasarkan hari, minggu, jenis kelamin, usia dan lokasi, sehingga memungkinkan memicu para pemimpin kesehatan untuk melakukan upaya perbaikan kesehatan yang lebih tepat waktu.

Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia mengembangkan standar dan praktik terbaik untuk pengumpulan, pemrosesan, dan sintesis data melalui Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11) yang terkonsolidasi dan ditingkatkan - platform digital yang memfasilitasi pelaporan data yang tepat waktu dan akurat untuk penyebab kematian di negara-negara. untuk secara rutin menghasilkan dan menggunakan informasi kesehatan yang sesuai dengan standar internasional. Pengumpulan dan analisis rutin data berkualitas tinggi tentang kematian dan penyebab kematian, serta data tentang disabilitas, yang dipilah menurut usia, jenis kelamin, dan lokasi geografis, sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan mengurangi kematian dan kecacatan di seluruh dunia.

Sumber: https://www.who.int/news/item/09-12-2020-who-reveals-leading-causes-of-death-and-disability-worldwide-2000-2019 

 

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH

Perjuangan menyelamatkan bangsa Indonesia dari belenggu COVID-19 masih panjang dan membutuhkan kerja keras. Pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tentu menjadi harapan dan tujuan utama dari masyarakat/pasien, petugas kesehatan, pengelola layanan kesehatan serta regulator. Bahkan di masa pandemik COVID-19 ini pun pelayanan kesehatan tetap dapat dijalankan dengan mengutamakan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan kesehatan di masa adaptasi kebiasaan baru akan sangat berbeda dengan keadaan sebelum COVID-19. Penyedia layanan kesehatan perlu menyiapkan prosedur keamanan yang lebih ketat dimana Protokol pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) diikuti sesuai standar.

Momentum peringatan HKN ke 56 di masa pandemi diharapkan dapat membangun semangat dan tekad untuk terus berjuang, tidak hanya mengajak masyarakat untuk belajar dan bertanggung jawab terhadap kesehatan diri yang diwujudkan dengan berperilaku sehat agar terhindar dari berbagai penyakit. Pelayanan kesehatan, sebagai sektor yang paling terdampak oleh situasi pandemik ini harus di dorong untuk berubah ke arah tatanan pelayanan kesehatan mengikuti adaptasi kebiasaan baru.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mulai memikirkan langkah yang akan diambil untuk tetap merawat pasien COVID-19 namun di saat bersamaan juga memberikan pelayanan kepada pasien umum dengan risiko penularan seminimal mungkin, sehingga disebut sebagai balancing act. Termasuk prosedur penerimaan pasien juga akan mengalami perubahan, misalnya penggunaan masker secara universal, prosedur skrining yang lebih ketat, pengaturan jadwal kunjungan, dan pembatasan pengunjung/ pendamping pasien bahkan pemisahan pelayanan untuk pasien COVID-19 dan non COVID-19.

Prinsip utama pengaturan layanan kesehatan pada masa adaptasi kebiasaan baru untuk menyesuaikan layanan rutinnya adalah:

  1. Memberikan layanan pada pasien COVID-19 dan non COVID-19 dengan menerapkan prosedur skrining, triase dan tata laksana kasus.
  2. Melakukan antisipasi penularan terhadap tenaga kesehatan dan pengguna layanan dengan penerapan prosedur Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI), penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di unit kerja dan pemenuhan Alat Pelindung Diri (APD).
  3. Menerapkan protokol pencegahan COVID-19 yaitu: harus mengenakan masker bagi petugas, pengunjung dan pasien, menjaga jarak antar orang >1m dan rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir selama 40 s/d 60 detik atau dengan hand sanitizer selama 20 s/d 30 detik.
  4. Menyediakan fasilitas perawatan terutama ruang isolasi untuk pasien kasus COVID-19.
  5. Terintegrasi dalam sistem penanganan COVID-19 di daerah masing-masing sehingga terbentuk sistem pelacakan kasus, penerapan mekanisme rujukan yang efektif dan pengawasan isolasi mandiri dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.
  6. Melaksanakan kembali pelayanan yang tertunda selama masa pandemik COVID-19.

Untuk dapat memenuhi prinsip-prinsip tersebut, beberpa hal di bawah ini perlu dilakukan:

  1. Membuat pembagian dan pengaturan zona risiko COVID-19 dan pembatasan akses masuk di Faskes.
  2. Pemanfaatan teknologi informasi untuk inovasi layanan kesehatan seperti: a. Sistem pendaftaran melalui telepon atau secara online untuk membatasi jumlah orang yang berada di Rumah Sakit dalam waktu yang bersamaan. Pada aplikasi daftar online pasien juga dapat diminta mengisi kajian mandiri COVID-19 untuk memudahkan dan mempersingkat proses skrining ketika mengunjungi Rumah Sakit. b. Layanan telemedicine untuk mengurangi jumlah orang yang berada di Rumah Sakit. c. Rekam medik elektronik d. Sistem pembayaran secara online / melalui uang elektronik
  3. Mengembangkan sistem “drug dispencing” dimana pasien yang telah menerima layanan telemedicine tidak perlu datang ke faskes hanya untuk mengambil obat. Dapat mengembangkan layanan pengantaran obat atau bekerjasama dengan penyedia jasa lain untuk mengantarkan obat kepada pasien. Dalam penerapan layanan antar obat harus memperhatikan prosedur pelayanan farmasi yang ada.

Sumber: Kementerian Kesehatan RI (2020), Panduan Teknis Pelayanan Rumah Sakit, Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.

 

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Divisi Manajemen Mutu- PKMK FKKMK UGM)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan wabah COVID-19 sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional. Lebih dari 54 juta orang di seluruh dunia diketahui terinfeksi dan lebih dari 1 Juta orang telah meninggal dunia (data per 18 November 2020). Pada masa pandemi COVID-19, Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti Diabetes Melitus (DM) lebih rentan untuk menjadi sakit parah akibat virus COVID-19.

DM merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah gaya hidup yang tidak sehat, sehingga membuat kadar gula darah normal menjadi sulit dicapai. Ketika penderita diabetes mengalami infeksi virus, akan lebih sulit untuk diobati karena fluktuasi kadar glukosa darah dan kemungkinan adanya komplikasi diabetes.

Hal di atas mungkin terjadi, dikarenakan sistem kekebalan terganggu yang membuatnya lebih sulit untuk melawan virus dan kemungkinan mengarah ke masa pemulihan yang lebih lama. Selanjutnya dikarenakan virus yang dapat berkembang di lingkungan dengan glukosa darah yang tinggi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Huang I et al dengan melakukan meta-analisis komprehensif dari 30 penelitian menunjukkan bahwa DM dikaitkan dengan hasil yang buruk yang dipengaruhi oleh usia dan hipertensi yang mengakibatkan keparahan ketika terinfeksi COVID-19, ARDS, dll hingga kematian.

International diabetes federation (IDF) yang telah bergabung dalam upaya global, bersama dengan organisasi diabetes terkemuka di dunia dalam mengurangi risiko penderita diabetes selama pandemi COVID-19 merekomendasi beberapa hal tentang pengelolaan dan pencegahan COVID-19. Rekomendasi tersebut bertujuan untuk menjaga agar individu yang paling rentan terhadap komplikasi dari COVID-19 tetap aman sampai pandemi berhasil diatasi. Rekomendasi tersebut dibuat oleh JDRF - Beyond Type 1 Alliance dan juga didukung oleh American Diabetes Association, Harvard Medical School dan The International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes (ISPAD), diantanya:

  1. Kadar gula darah rata-rata yang meningkat pada individu dengan diabetes adalah faktor risiko yang dapat mengakibatkan keparahan pada pasien dengan COVID-19. Sehingga penting untuk melakukan:
    • Uji kadar gula darah lebih sering;
    • Hubungi dokter atau ahli kesehatan melalui telepon / telehealth jika memungkinkan untuk mendapatkan nasihat manajemen diabetes pribadi, terutama jika angka glukosa darah secara konsisten berada di luar kisaran.
    • Biasakan diri dengan cara memeriksa keton. Jika memiliki persediaan yang cukup, periksa keton secara teratur terlepas dari kadar gula darah.
    • Amankan persediaan manajemen standar dalam jumlah yang cukup serta persediaan untuk memeriksa keton dan mengobati hipoglikemia berat (glukagon).
    • Cari tahu tentang komunitas daring diabetes.
  2. Kelebihan berat badan / obesitas dan merokok juga merupakan faktor risiko utama untuk hasil COVID-19 yang lebih parah - memaksimalkan kesehatan fisik dan mental dasar untuk meningkatkan kekebalan fisik.
    • Menghentikan merokok ataupun melakukan vape.
    • Jika kelebihan berat badan, berusahalah menuju berat badan yang lebih ideal.
    • Siapkan makanan di rumah menggunakan makanan utuh dan tetap terhidrasi.
    • Pastikan untuk berolahraga, di rumah atau di area luar ruangan di mana dapat dengan mudah menjaga jarak dari orang lain.
    • Dapatkan cukup tidur berkualitas - kebanyakan orang dewasa membutuhkan 7+ jam per malam, anak-anak membutuhkan lebih banyak (setidaknya 9 jam).
    • Jangkau orang lain untuk tetap berhubungan secara virtual.
    • Periksa kesehatan mental, termasuk penggunaan zat dan kebiasaan yang berpotensi berbahaya. Jika bermasalaha dengan kesehatan mental, carilah bantuan daring.
  3. Buat lingkungan seaman mungkin, banyak yang kembali bekerja dan sekolah -.
    • Bekerja dari rumah sebanyak mungkin. Perhatikan modifikasi dalam prosedur kerja untuk menjaga jarak 2 meter / 6 kaki dari orang lain. Sesuaikan jadwal untuk menghindari waktu lalu lintas padat.
    • Jika mengelola lingkungan kerja atau sekolah, pastikan pencegahan sedang disiapkan untuk individu yang rentan. Mengadvokasi pilihan kerja yang fleksibel untuk individu berisiko tinggi.
  4. Deteksi dini COVID-19 atau masalah kesehatan lainnya dapat menyelamatkan nyawa - jika sakit, segera diobati.
    • Ukur suhu setiap hari dengan termometer dan ukur detak jantung dengan jam tangan. Lacak setiap perubahan.
    • Jangan pernah berhenti minum insulin atau obat lain, bahkan saat sakit. Diskusikan tentang insulin, metformin, atau perubahan dosis obat lain dengan dokter.
    • Pastikan memiliki rencana pengelolaan hari sakit khusus diabetes, untuk berjaga-jaga.
    • Ketahui tanda-tanda peringatan ketoasidosis diabetik (DKA) dan segera cari pertolongan medis untuk gejala-gejalanya termasuk napas berbau buah, muntah, penurunan berat badan, dehidrasi, kebingungan, dan hiperventilasi.
  5. Tindakan pencegahan dasar dapat menyelamatkan nyawa - lanjutkan kebiasaan kebersihan pribadi yang ketat.
    • Cuci tangan setiap kali bersentuhan dengan barang atau tempat di luar rumah.
    • Kenakan masker kain atau penutup wajah setiap kali berada dalam jarak 2 meter / 6 kaki dari seseorang di luar rumah.
    • Hindari kontak yang terlalu lama dengan partikel aerosol - mis. ruangan dalam ruangan dengan ventilasi rendah, terutama yang menampilkan percakapan keras atau nyanyian
    • Disinfeksi permukaan bersentuhan tinggi secara teratur di rumah Anda, batuk atau bersin ke siku atau tisu, dan hindari menyentuh wajah Anda.
  6. Bekerja dengan menjaga jarak sosial - terus meminimalkan interaksi fisik dengan orang lain.
    • Minimalkan kontak dengan individu di luar rumah. Pertahankan jarak setidaknya 2 meter / 6 kaki dari orang lain.
    • Minimalkan perjalanan ke luar rumah, dapat mencari perawatan medis rutin dari rumah, dengan memanfaatkan opsi farmasi telehealth dan pemesanan melalui pos.
    • Sesuaikan jadwal untuk menghindari waktu sibuk di tempat umum. Manfaatkan waktu belanja khusus untuk individu yang rentan jika tersedia.

Sumber:

  • Huang, I., Lim A, M., Pranata, R. 2020. Diabetes mellitus is associated with increased mortality and severity of disease in COVID-19 pneumonia – A systematic review, meta-analysis, and meta-regression, 14(4): 395–403.
  • https://coronavirusdiabetes.org/

 

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH

Situasi pandemi COVID-19 membuka berbagai problematika di bidang kesehatan, yang menunjukkan bahwa banyak celah dalam pelayanan bidang kesehatan yang perlu diperbaiki, khususnya dalam hal melindungi tenaga kesehatan agar tidak terpapar infeksi. Dalam hal ini dokter sebagai tenaga kesehatan garda terdepan dalam peperangan melawan wabah penyakit. Menjadi prioritas kesehatan masyarakat bagi pembuat kebijakan untuk memahami faktor risiko kelompok rentan ini dengan mencegah penularan pekerjaan. Berbagai pertimbangan di bidang kesehatan perlu dibuat dalam menjalani adaptasi kebiasaan baru pada masa Pandemi COVID-19.

Banyaknya korban tenaga medis akibat COVID- yakni data per 9 Oktober mencapai 132 Dokter yang meninggal. Oleh karena itu, tim mitigasi dokter dalam pandemi COVID -19 PB IDI telah menyusun sebuah pedoman perlindungan dokter di era COVID-19 untuk mencegah bertambahnya korban khususnya dari kalangan dokter. Beberapa pertimbangan yang perlu diambil baik bagi tenaga kesehatan maupun sistem kesehatan di era COVID-19 (lihat tabel1)

Tabel 1. Pertimbangan bagi tenaga kesehatan dan sistem kesehatan di era COVID-19

Tenaga Kesehatan Sistem Kesehatan

Aplikasi telemedicine untuk triase dan penanganan pasien apabila

memungkinkan

Menyediakan dan menyebarluaskan

informasi dan fasilitas untuk telemedicine

Mematuhi pedoman penggunaan APD

Menyediakan APD yang lengkap untuk

keluarga pasien dan tenaga kesehatan

Melaporkan diri dan menghentikan kegiatan sebagai tenaga kesehatan apabila masuk dalam kriteria kasus sesuai dengan pedoman resmi pemerintah yang berlaku

Meningkatkan edukasi ke pasien dan

publik mengenai indikasi karantina dan

kunjungan ke rumah sakit

Membatasi prosedur elektif

Melakukan tes/pengujian COVID-19

secara berkala untuk mengendalikan

penularan

Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan tempat kerja yang memiliki risiko terhadap keselamatan dan kesehatan sumber daya manusia fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun masyarakat di sekitar lingkungan fasilitas terutama dalam masa pandemi COVID-19 ini. Mengeliminasi bahaya potensial merupakan cara terbaik, dibandingkan dengan mengurangi bahaya potensial tersebut. Namun, apabila bahaya potensialnya adalah biologi, terutama yang menyebabkan pandemi, maka tidak mungkin menghilangkannya. Oleh karena itu, langkah-langkah perlindungan yang paling efektif dimulai dari eliminasi, pengendalian teknik, administrasi, dan alat pelindung diri perlu dilakukan. (Lihat Gambar 1)

9nov1

Gambar 1. Hierarki pengendalian risiko transmisi infeksi (PMK no 52 tahun 2018 dan K3RS)

Penjelasan:

  1. Tahap Eliminasi merupakan langkah pengendalian yang menjadi pilihan pertama untuk mengendalikan pajanan karena menghilangkan bahaya dari tempat kerja. Namun, beberapa bahaya sulit untuk benar-benar dihilangkan dari tempat kerja.
  2. Substitusi merupakan upaya penggantian bahan, alat atau cara kerja dengan alternatif lain dengan tingkat bahaya yang lebih rendah sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya dampak yang serius. Contohnya: a) Mengganti tensi air raksa dengan tensi digital b) Mengganti kompresor tingkat kebisingan tinggi dengan tipe yang kebisingan rendah (tipe silent kompresor)
  3. Pengendalian Teknik merupakan pengendalian rekayasa desain alat dan/atau tempat kerja. Pengendalian risiko ini memberikan perlindungan terhadap pekerja termasuk tempat kerjanya. Untuk mengurangi risiko penularan penyakit infeksi harus dilakukan penyekatan menggunakan kaca antara petugas loket dengan pengunjung/pasien. Contoh pengendalian teknik yaitu: untuk meredam suara pada ruang dengan tingkat bising yang tinggi seperti: a) Pada poli gigi khususnya menggunakan unit dental dan kompresor b) Pada ruang genset
  4. Pengendalian administrasi berfungsi untuk membatasi pajanan pada pekerja. Pengendalian administrasi diimplementasikan bersamaan dengan pengendalian yang lain sebagai pendukung. Contoh pengendalian administrasi diantaranya: a) Pelatihan/sosialisasi/penyuluhan pada SDM Fasyankes b) Penyusunan prosedur kerja bagi SDM Fasyankes c) Pengaturan terkait pemeliharaan alat d) Pengaturan shift kerja
  5. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam mengendalikan risiko keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang sangat penting, khususnya terkait bahaya biologi dengan risiko yang paling tinggi terjadi, sehingga penggunaan APD menjadi satu prosedur utama di dalam proses asuhan pelayanan kesehatan. APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber daya manusia dari potensi bahaya di Fasyankes. Alat pelindung diri tidak mengurangi pajanan dari sumbernya, hanya saja mengurangi jumlah pajanan yang masuk ke tubuh. APD bersifat eksklusif (hanya melindungi individu) dan spesifik (setiap alat memiliki spesifikasi bahaya yang dapat dikendalikan). Implementasi APD seharusnya menjadi komplementer dari upaya pengendalian di atasnya dan/atau apabila pengendalian di atasnya belum cukup efektif.

Perlunya memetakan tingkat risiko tertular virus SARS-CoV-2 untuk dokter dibedakan menjadi 4 kelompok :

  1. Risiko rendah, yaitu dokter yang tidak memberikan pelayanan atau kontak langsung pasien suspek/probable/konfirmasi COVID-19 misalnya dokter di manajemen
  2. Risiko sedang, yaitu dokter yang memberikan pelayanan atau kontak langsung pasien yang belum diketahui status terinfeksi COVID-19
  3. Risiko tinggi, yaitu dokter yang melakukan pelayanan pada suspek/probable/konfirmasi COVID-19 namun tidak termasuk melakukan tindakan aerosol
  4. Risiko sangat tinggi, yaitu dokter yang melakukan pelayanan tindakan aerosol pada pasien suspek/probable/konfirmasi COVID-19, serta dokter yang melakukan pengambilan spesimen pernapasan (nasofaring dan orofaring) dan otopsi.

9nov2

Gambar 2. Klasifikasi pajanan tenaga kesehatan terhadap SARS-CoV-2 sesuai piramida risiko okupasi untuk COVID-19

Setelah melakukan pemetaan tingkat risiko maka dapat menentukan standar dan protokol dengan menerapkan hierarki pengendalian risiko transmisi infeksi untuk melindungi dokter di Fasilitas tingkat pertama, fasilitas tingkat lanjut, ruang prosedur/tindakan operasi. Kemudian melakukan pembagian zonasi Rumah Sakit, hingga pada level penggunaan alat pelindung diri, pengaturan aliran udara dan ventilasi, penentuan penyakit akibat COVID-19, Pemeriksaan SARS-CoV-2 untuk dokter dan kriteria kembali bekerja. Standar dan protokolnya dapat dipelajari lebih lengkap dengan membuka bab 2 pada pedoman standar perlindungan dokter di era COVID-19.

Selengkapnya: Baca Pedoman

Sumber:

  • Kementrian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2018.
  • Ikatan Dokter Indonesia. Pedoman Standar Perlindungan Dokter Di Era COVID-19. 2020.