Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh: Puti Aulia Rahma, drg. MPH, CFE
Konsultan Anti Fraud Pelayanan Kesehatan PKMK FKKMK UGM

Laporan Majalah Tempo per 6 Juni 2020 menyebutkan bahwa potensi fraud program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia hanya kurang 1%. Informasi ini mengundang tanya: apakah angka ini adalah besaran kasus/ skema fraud yang berkembang di Indonesia? Apakah 1% ini adalah besaran kerugian akibat fraud yang terjadi di Indonesia? Apakah besaran ini menggambarkan kelompok potensial pelaku fraud tertentu? Dan bagaimana metode deteksi yang digunakan untuk mendapat data ini?

Temuan potensi fraud program JKN di Indonesia yang “hanya” kurang dari 1% ini mengejutkan. Di Amerika Serikat (AS), data menunjukkan bahwa dari banyak pihak (dari berbagai kelompok) yang terdeteksi berpotensi melakukan fraud, terdapat 6% pihak yang terbukti melakukan fraud (dan mendapat hukuman pidana). Kerugian finansial yang ditimbulkan akibat fraud layanan kesehatan di sana, mencapai 3 – 10%. Padahal, saat ini AS sudah mengembangkan dan menjalankan Fraud Control Plan (FCP) sejak tahun 1997.

Pemerintah AS juga sudah memberikan sanksi tegas bagi pelaku fraud melalui lebih dari 5 regulasi anti fraud yang diterbitkan. Amerika Serikat sudah membangun sistem pengaduan terpadu khusus unutk kasus fraud layanan kesehatan. Menurut ACFE Report to The Nation (2020), sistem pengaduan merupakan metode yang paling sering digunakan untuk membantu terbongkarnya kasus fraud. Sistem ini juga memungkinkan penemuan kasus fraud lebih cepat (hanya dalam 12 bulan), dibanding tanpa sistem pengaduan (mencapai 14 bulan). Kerugian akibat fraud juga dapat dikurangi hingga hampir 50% dengan adanya portal aduan ini. Metode canggih untuk deteksi fraud yang mengoptimalkan artificial intelligent dan dibantu aliansi National Health Care Anti-Fraud Association (NHCAA) juga sudah diterapkan di AS.

Ketidakjelasan data potensi fraud di Indonesia saat ini sangat dimungkinkan karena belum ada sistem deteksi potensi fraud terpadu untuk program JKN. Deteksi merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi sesuatu yang tersembunyi. Dalam siklus anti fraud yang dikrekomendasikan European Comission tahun 2013, deteksi merupakan tahapan penting sebelum melakukan investigasi. Menurut ACFE Report to The Nation tahun 2020, deteksi dini sangat baik untuk dilakukan, karena semakin cepat fraud terdeteksi, semakin cepat pula kerugian fraud terhindarkan. Deteksi juga menjadi kunci dalam pencegahan fraud karena menciptakan persepsi staf bahwa perbuatan fraud yang mereka lakukan akan diketahui. Pondasi dari deteksi fraud yang efektif adalah dengan mengetahui metode yang paling banyak digunakan untuk membongkar kasus fraud.

Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu membangun sistem deteksi terpadu potensi fraud, sebagai bagian sistem anti fraud program JKN. Agar sistem deteksi potensi fraud dapat lebih optimal berjalan, perlu dilakukan langkah-langkah berikut: (a) membangun sistem pengaduan terpadu. Sistem aduan ini dapat dibuat mirip dengan portal LAPOR (LAPOR.go.id), namun khusus untuk kasus fraud JKN; (b) melatih pihak-pihak terkait untuk mengenali skema fraud program JKN dan mendorong pihak terlatih ini untuk melaporkan potensi fraud yang diketahui/ dialami; (c) mengembangkan metode deteksi lain yang membantu terbongkarnya kasus fraud program JKN. Metode deteksi ini diantaranya adalah audit internal rutin dan pemanfaatan teknologi informasi lebih optimal; (d) melatih pihak terkait untuk mampu mendeteksi potensi fraud secara mandiri; dan (e) menindaklanjuti hasil deteksi potensi fraud bentuk investigasi serta pemberian sanksi bagi pelaku yang terbukti.

Membangun sistem deteksi terpadu merupakan salah satu cara langkah strategis dalam upaya pengendalian fraud. Sistem ini dapat dibentuk mulai dari tingkat pusat yang juga diturunkan ke tingkat daerah. Hasil deteksi yang terkumpul harus segera ditindaklanjuti dalam bentuk investigasi dan pemberian sanksi bagi pelaku yang terbukti. Respon pasca deteksi merupakan bentuk komitmen pengendalian fraud.

 

Penulis: Eva Tirtabayu Hasri, S.Kep.,MPH
(Materi ini diambil saat pelaksanaan Zoom Meeting pada forum mutu layanan kesehatan, tanggal 24 Juni 2020)

Selama pandemi COVID-19 sejumlah tenaga kesehatan gugur, ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap mutu fasilitas kesehatan menurun, rasa ini harus segera dikembalikan. Kemenkes telah melakukan berbagai kegiatan dalam tatalaksana COVID-19, mulai dari menyiapkan 835 RS rujukan, penggunaan wisma atlit sebagai RS Darurat COVID, dan beberapa pedoman seperti pedoman pencegahan dan pengendalian corona disease, pedoman tatalaksana COVID-19 dan lainnya.

2j 1drg. Farichah Hanum, M.Kes (Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI) menyampaikan draft mutu pelayanan Faskes era new normal, pada forum diskusi manajemen mutu PKMK FK - KMK UGM, 24 Juni 2020.

Kemenkes telah menetapkan indikator kesehatan masyarakat menuju masyarakat produktif dan aman COVID-19 berbasis data, undikator ini berpedoman pada kriteria yang ditetapkan oleh WHO yaitu epidemiologi, sistem kesehatan dan surveilans kesehatan masyarakat. Terdapat indikator tentang jumlah kasus, jumlah yang meninggal, jumlah kesembuhan, jumlah pemeriksaan, jumlah tempat tidur di ruang isolasi, penurunan laju insiden, penurunan angka kematian, dan angka reproduksi efektif.

2j 2

Gambar. Indikator
Sumber: Materi Presentasi Direktorat Mutu dan Akreditasi

Direktorat Mutu dan Akreditasi menyiapkan draft daftar tilik kesiapan fasilitas kesehatan dalam pemenuhan mutu layanan pada masa kenormalan baru yang berfokus pada dimensi yang berfokus pada pasien, adil, efisien, efektif, tepat waktu, aman dan terintegrasi.

Dimensi keselamatan merekomendasikan adanya: sistem manajemen bencana, program penanggulangan bencana, standar PPI, fasilitas kesehatan memastikan skrinning dan triage pada pasien dan pengunjung, menerapkan kaidah K3, akses seluruh pengunjung, pemetaan area berisiko, supply chain management.

Dimensi efektif merekomendasikan adanya: keberlangsungan pelayanan, penyesuaian tata laksana klinis dan penunjang dengan perkembangan penanganan COVID-19 terbaru, dan pelayanan laboratorium yang esensial.

Dimensi berfokus pada pasien atau pengguna layanan merekomendasikan adanya: pelayanan esensial harus diaktifkan kembali dengan memperhatikan protokol kesehatan dan keselamatan pasien, proses skrining dan triase yang tepat dalam waktu singkat, penyediaan jalur khusus untuk pasien non covid, memberikan informasi dan edukasi tentang COVID-19, pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi, media - media informasi dan edukasi yang memadai, khusus untuk fasilitas kesehatan primer yang menyelenggarakan pelayanan UKBM dapat melakukan kunjungan rumah atau komunitas dalam memberikan pelayanan essential.

Dimensi efisien merekomendasikan adanya: kesediaan obat dan BMHP, pengelolaan sumber daya manusia, antisipasi surge capacity, pelayanan penunjang (gizi, linen, listrik, air, Oksigen), mengidentifikasi layanan yang dapat ditunda sementara jika diperlukan.

Dimensi tepat waktu merekomendasikan adanya: upaya surveilans terhadap kasus yang diduga terinfeski penyakit dan/atau terkontaminasi, mekanisme komunikasi internal dan eksternal yang tepat waktu, memastikan semua pelaporan dilakukan tepat waktu, pelayanan diberikan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, pelayanan rawat jalan dengan sistem perjanjian, prosedur triage di area gawat darurat, mengatur prioritas jadwal pelayanan untuk pasien non covid dengan komorbid

Dimensi adil merekomendasikan adanya: pelayanan kesehatan dapat diberikan pada seluruh pasien baik covid maupun non covid, bagi pasien kelompok rentan rumah sakit menyediakan pelayanan khusus (daring atau kunjungan ke rumah).

Dimensi integrasi merekomendasikan adanya: antisipasi surge capacity, sistem rujukan, memperkuat mekanisme koordinasi, menetapkan tim/satgas sebagai koordinator pelayanan pada masa kenormalan baru.

2j 3Upaya menjaga mutu fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan melalui redesign program mutu dan keselamatan pasien (PMKP), disampaikan Dr. dr. Hanevi Djasri, MARS, FISQUA (Konsultan Manajemen Mutu PKMK FK - KMK UGM, Ketua IHQN) saat membahas presentasi dr. Hanum. Dr. Hanevi menyampaikan usulan ISQUA kepada ahli mutu atau tim PMKP: 1) memperkuat sistem manajemen dengan cara menilai kesiapan, mengumpulkan bukti, menyiapkan pelatihan, mempromosikan keselamatan staf dan memperkuat peer support; 2) membangun partisipasi masyarakat, keluarga dan pasien untuk bersama mencapai kesepakatan dan melaksanakan berbagai upaya pencegahan penularan; 3) aktif meningkatkan pelayanan klinisi dengan cara memisahkan alur pelayanan, mengadakan lokakarya kilat tentang kerjasama tim, dan mengembangan sistem dukungan keputusan klinis; 4) proaktif mengelola risiko: baik untuk pasien COVID-19 dan non COVID-19; 5) mengembangkan sistem pembelajaran dengan cara mencari peluang perbaikan, sesuaikan setiap saat sesuai perkembangan.

Pembaca dapat memberikan rekomendasi kepada direktorat mutu dan akreditasi tentang draft kesiapan fasilitas kesehatan dalam pemenuhan mutu layanan pada masa kenormalan baru.

 

Penulis: Andriani Yulianti, MPH (Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM)

Dalam situasi normal, kematian ibu di Indonesia masih menjadi tantangan besar, kurangnya persiapan diri sebelum hamil turut menjadi faktor resiko sulitnya menurunkan angka kematian ibu, terlebih jika melihat status kesehatan perempuan di Indonesia masih rendah yakni masih ada ibu hamil dengan HIV, Ibu rumah tangga dengan AIDS, Infeksi HIV (90% pada pada usia reproduksi 15-49 tahun), Ca Payudara, pernikahan remaja, kehamilan remaja, Ca serviks, anemia pada perempuan dan bumil, WUS hipertensi, WUS KEK bahkan terdapat kekerasan 1 dari 3 perempuan (Riskesdas 2013 dan SUPAS 2015), hal tersebut turut menjadi faktor semakin memburuknya kinerja outcome pelayanan kesehatan ibu.

Saat ini, layanan kesehatan ibu tidak terlepas terkena dampak baik secara akses maupun kualitas dikarenakan merebaknya Coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS- COV2). Pada tanggal 11 Maret 2020 WHO mendeklarasikan bahwa COVID-19 merupakan pandemi di dunia. Kasus COVID-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, yang kemudian berkembang ke hampir seluruh provinsi di Indonesia, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pemberian layanan maternal di masa pandemi perlu menjadi perhatian untuk menghindari terjadi peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu, terlebih saat ini terdapat pembatasan pelayanan kesehatan maternal. Seperti ibu hamil menjadi enggan ke puskesmas atau fasiltas pelayanan kesehatan lainnya karena takut tertular, adanya anjuran menunda pemeriksaan kehamilan dan kelas ibu hamil, serta adanya ketidaksiapan layanan dari segi tenaga dan sarana prasarana termasuk alat pelindung diri.

Untuk mengantisipasi perburukan layanan ibu hamil di masa pandemi COVID-19 maka dibutuhkan panduan pelayanan baik untuk ibu hamil bukan COVID-19, maupun ibu hamil yang dicurigai terinfeksi COVID-19 (kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP), Orang Tanpa Gejala (OTG), atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP)) maupun yang sudah konfirmasi menderita infeksi COVID-19. Namun, sebelum masuk pada pembahasan alur tatalaksana layanan maternal, beberapa hal perlu dipertimbangkan di masa pandemi oleh layanan kesehatan:

  1. Respon pada tingkat level sistem, memperhatikan level pelayanan maternal yang dibagi menjadi: primary, secondary dan teriser health care karena kedepan level pelayanan kesehatan ini mau tidak mau harus siap, karena tidak pernah tahu kapan Pandemi COVID-19 akan berakhir dan harus siap jika suatu saat di Indonesia sendiri terjadi endemik. Untuk itu, pada level sistem terdapat 3 hal yang perlu dipersiapkan yakni:
    1. SOP tentang mengurangi/mencegah transmisi dengan upaya kohorting. Untuk kohortig terdiri dari kegiatan co-locating yakni memisahkan pasien investigasi dengan penderita COVID-19
    2. Clinical risk assessment terhadap pasien yang positif COVID-19, serta
    3. Fasilitas layanan kesehatan perlu mempersiapkan suatu penjadwalan untuk melimitasi jumlah orang yang masuk ke unit perawatan COVID-19 yang positif.
  2. Ruangan pasien, apakah perlu ruangan yang bertekanan positif bahkan mempertimbangkan perlunya ruangan isolasi bagi pasien.
  3. Alat Pelindung Diri (APD), saat ini banyak terdapat kekurangan APD, namun saat APD terpenuhi tidak jarag ketersediaannya tidak sesuai standar sehingga dapat memunculkan permasalahan yang baru di layanan kesehatan.

Di masa Pandemi COVID-19 ini kondisi ideal Ibu hamil harus terus diupayakan menjadi ideal, dan ini menjadi tantangan tersendiri. Dalam memantau kondisi ibu hamil melalui Antenatal Care (ANC) kita mengenal istilah kunjungan K1, K2, K3, K4 dan selama COVID-19 karena pasien mengurangi kunjungan sehingga digantikan dengan tele-konsultasi. Namun merancang tele-konsultasi menjadi tantangan tersendiri agar dapat digunakan oleh semua pihak dan efektif dalam hal pelaksanaannya. Sejatinya, semua kunjungan dalam pemeriksaaan layanan kesehatan Ibu sangat penting baik K1, K2, K3, K4, namun di masa pandemi ini sangat penting ibu hamil melakukan kunjungan K1 karena merupakan skrining awal ibu hamil untuk mengetahui kehamilan risti, tanda vital, laboratorium maupun triple eliminasi.

Pada skrining awal di K1 terdapat 2 fokus yang akan ditanyakan kepada ibu yakni; 1) Kondisi pada saat kehamilan sebelumnya, ada beberapa pertanyaan misalnya; apakah pernah lahir mati, 3 kali keguguran yang berurutan, kelahiran <2500 gram dan >4000 gram saat aterm, apakah saat mondok ada riwayat hipertensi dll, serta 2) Kondisi kehamilan saat ini, terdapat beberapa pertanyaan, misalnya menanyakan kemungkinan bayi kembar, usia yang muda atau terlalu tua, resusnya negatif, ibu dengan diastolic BP ≥ 90 mmgh, apakah datang dengan perdarahan, atau ada komorbid (diabetes, hipertensi, cancer, TB, malaria dll) karena jika ada komorbid tentu hal ini akan menjadi pemberat jika ibu tersebut terdeteksi COVID-19 sehingga membutuhkan rujukan bahkan pada trimester 1.

Jika saat ANC keadaan ibu hamil tersebut masuk dalam katagori yang low risk maka ibu cukup datang di K1 dan K4 dan sisanya bisa di akomodasi dengan tele-konsultasi, dan pada saat pasien mendekati HPL maka idealnya melakukan SWAP. Namun jika SWAP tidak memungkinkan maka dapat melakukan rapid test, dan jika rapidnya test positif maka ibu tersebut dapat dilanjutkan ke pemeriksaan RT PCR. Untuk mengetahui lebih lanjut tatalaksana pelayanan baik untuk ibu hamil bukan COVID-19, maupun Ibu hamil yang dicurigai terinfeksi COVID-19 (kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP), Orang Tanpa Gejala (OTG), atau Pasien Dalam Pengawasan (PDP)) maupun yang sudah konfirmasi menderita infeksi COVID-19 yang dilaksanakan di RSUP Dr Sarjito, berikut di bawah ini;

Alur untuk menentukan status tata laksana ibu hamil di masa pandemi COVID-19

9jl 1

Bahwa setiap ibu hamil wajib dilakukan skrining untuk menentukan status terhadap kecurigaan terhadap infeksi COVID-19: apakah terdapat Batuk, Pilek, Demam atau Riw demam, Takipneu, Suhu  380C, Tinggal atau perjalanan dari negara terjangkit/ area dengan transmisi lokal COVID-19 di Indonesia, Kontak dengan pasien konfirmasi, kemudian akan dilakukan perhitungan skor kewaspadaan awal (early warning score/ EWS) infeksi COVID-19: dilakukan untuk menentukan kecurigaan pasien dengan infeksi COVID-19 dapat menggunakan:

9jl 2

Berikut dibawah ini alur tatalaksana layanan ibu hamil di masa pandemi COVID-19

1. Ibu Hamil Bukan COVID-19

9jl 3

Prinsip penanganan ibu hamil bukan COVID-19 selama masa Pandemi COVID-19 adalah yakni melakukan monitoring mandiri selama kehamilan tidak ada keluhan, pasien akan difasilitasi dengan tele-konsultasi terkait apabila dijumpai masalah selama monitoring, pasien diminta periksa untuk evaluasi kehamilannya maupun dianjurkan untuk mondok sesuai skrining urgensi obstetri serta ruang perawatan ruang perawatan biasa/reguler dan Jenis APD Level 1.

Skrining urgensi dapat dilakukan dengan memperhatikan bagan di bawah ini:

9jl 4

Jika telah dilakukan skrining urgensi maka akan diketahui kriteria skrining, apakah cukup kontrol rutin dengan meneruskan terapi yang ada, atau memerlukan pemeriksaaan/ edukasi bahkan apakah memerlukan pemondokan untuk rencana tindakan sesuai umur kehamilan berdasarkan pemeriksanaan sebelumnya, seperti di bawah ini:

Tabel 1. Indikasi terminasi kehamilan berdasarkan atas indikasi kondisi plasenta/ uterus

9jl 5

Tabel 2. Indikasi terminasi kehamilan berdasarkan atas indikasi kondisi janin/ fetus

9jl 6

Tabel 3. Indikasi terminasi kehamilan berdasarkan atas indikasi kondisi ibu

9jl 7

Tabel 4. Indikasi terminasi kehamilan berdasarkan atas indikasi obstetrik

9jl 8

2. Ibu Hamil dengan PDP/ Pasien Dalam Pengawasan (Ringan, Sedang atau Berat)

9jl 9

Prinsip penangan ibu hamil dengan PDP selama masa Pandemi COVID-19 yakni Ibu hamil dengan PDP dikategorikan menjadi 3 kategori berdasarkan gejalanya:

  1. PDP dengan Gejala Ringan
    • Kriteria PDP Ringan: demam >380C; batuk, nyeri tenggorokan, hidung Tersumbat, malaise, tanpa pneumonia, tanpa komorbid
    • Ibu hamil PDP gejala ringan tidak perlu mondok cukup dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari, dipondokkan apabila ada perburukan
    • Saat usia kehamilan aterm, lakukan swab di rawat jalan. Apabila hasilnya negatif maka persalinannya sesuai indikasi obstetrik, namun bila hasil swab positip maka pasien diterminasi dengan cara SC elektif.
  2. PDP dengan Gejala Sedang
    • Ibu hamil PDP dengan gejala sedang sebaiknya dilakukan pemondokan. Lakukan pemeriksaan Swab hr 1 dan ke-2: bila hasil negatif, terminasi kehamilan sesuai indikasi obstetrik. Apabila hasil Positip maka dilakukan terminasi secara SC elektif
  3. PDP dengan Gejala Berat
    • Kriteria PDP berat: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar
    • Pasien di pondokkan di R. Isolasi bertekanan negatif
    • Dipertimbangkan untuk dilakukan terminasi kehamilan jika usia kehamilan sudah lebih dari 34 mgg
    • Pertimbangan cara persalinan (mode of delivery) berdasarkan fase persalinan saat terjadi pemberatan:
    • Bila pasien belum dalam persalinan maka pertimbangkan persalinan secara SC;
    • namun bila pasien sudah masuk fase aktif maka persalinan bisa secara vaginal (pertimbangkan untuk memperingan Kala II)
    • Plasenta ibu dengan PDP diperlakukan sebagai materi biohazard dan dilakukan pemusnahan sehingga perlu dilakukan informed consent sebelumnya.

3. Ibu hamil dengan OTG/ODP/PDP tanpa gejala/gejala ringan

9jl 10

Prinsip penangan ibu hamil dengan OTG/ODP/PDP tanpa gejala/gejala ringan selama masa Pandemi COVID-19 yakni a) melakukan isolasi 14 hari selama kehamilan tidak ada keluhan dengan meneruskan terapi yang ada serta dan lakukan edukasi terkait dengan pemburukan gejala dan pencegahan penularan, b) Pasien akan difasilitasi dengan tele-konsultasi selama masa isolasi, c) pasien diminta periksa untuk evaluasi kehamilannya maupun dianjurkan untuk mondok apabila ada perburukan gejala atau sesuai skrining urgensi obstetri yang ada, d) apabila pasien memerlukan pemeriksaan, maka pasien diperiksa di ruangan isolasi dengan petugas menggunakan APD Level 1.

Sumber:
Materi diambil dari pertemuan AHS UGM Webinar: Layanan Maternal di Masa Pandemi Covid-19, tanggal 4 Juli 2020.

 

 

Penulis:
Dr Novika Handayani (Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM)

Italia adalah negara Eropa pertama yang mendapatkan dampak besar dari Covid-19 sehingga pada akhirnya negara tersebut menetapkan lockdown. Dua turis China yang terkonfirmasi positif pada tanggal 31 Januari 2020 menjadi kasus awal di Italia. Sampai dengan 23 Juni 2020, total kasus di Italia mencapai 238,433 dengan 34.675 kematian.

The Italian Network for Safety in Healthcare (INSH) telah mengumpulkan pelajaran penting yang telah mereka pelajari dalam pandemi di Italia dan bersama dengan Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua) menerbitkan ‘Patient Safety Recommendations For Covid-19 Epidemic Outbreak’. Rekomendasi ini berisi pesan-pesan praktis bagi petugas garda depan, bukan merupakan sebuah pedoman yang rumit. Dokumen ini juga masih terus dikembangkan dan akan diperbarui oleh para profesional.

Pelayanan kesehatan bukan lagi patient-centered (berpusat pada pasien) namun kini sudah bergerak menjadi people-centered dimana pelayanan melindungi pasien dan juga harus melindungi penyedia layanan kesehatan. Dalam rekomendasi ini, terdapat tiga aspek yang dijelaskan berdasarkan pendekatan SEIPS Human Factors yaitu sistem kerja, proses pelayanan, dan outcome.

Dalam bab sistem kerja, dikeluarkan rekomendasi umum untuk penanganan Covid-19 yaitu:

1. Membangun tim (termasuk komunikasi dan budaya tim)

  • Emergency task-force harus mengaktifkan rantai komando yang jelas, peran dan tanggung jawab yang jelas, wadah komunikasi yang diandalkan dan pendekatan proaktif.
  • Unit manajemen risiko klinis atau mungkin di Indonesia bisa diterapkan oleh tim PMKP RS, berperan untuk menyediakan pedoman atau dokumen praktik klinis yang mendukung pencegahan dan penanganan Covid-19, serta mendukung tenaga kesehatan untuk melaporkan adverse event untuk menciptakan budaya keselamatan dengan meyediakan tools pelaporan yang mudah.

2. Pembagian Tugas dan Keterampilan yang dibutuhkan

  • Buat pelatihan singkat untuk tenaga medis tentang penggunaan APD, kembangkan video tutorialnya
  • Mengadakan kursus penyegaran tentang kebersihan tangan, pencegahan VAP (Ventilator Associated Pneumonia) dan CLABSI (Central Line Associated Bacterial Infection), pengenalan sepsis dini dan manajemen untuk semua petugas kesehatan, khususnya untuk staf yang tidak berada di garis depan kasus kegawatdaruratan yang dapat disebut sebagai “pengganti”.
  • Perlunya dukungan dokter ahli / perawat ahli kepada dokter/perawat muda, serta dukungan antar dokter spesialis
  • Terapkan instruksi desinfeksi lingkungan yang benar

3. Perlengkapan yang dibutuhkan untuk melindungi staf

  • Tindakan pencegahan kontak dan droplet digunakan dalam pelayanan pasien rutin pasien ataupun pasien dengan dugaan/ terkonfirmasi COVID-19
  • Tindakan pencegahan kontak dan airborne dilakukan ketika melakukan prosedur penghasil aerosol (AGPS), termasuk intubasi dan bronkoskopi
  • Mencegah kekurangan APD dengan cara penggunaan yang jangka panjang, penggunaan kembali face-shield dan masker disposable (secara terbatas), mengidentifikasi urutan prioritas pengguna, menyediakan re-usable suit/coveralls, dan simpan perangkat tersebut di tempat yang terkunci atau area yang aman serta pendistribusian kepada staf secara tepat.

4. Perlengkapan yang dibutuhkan untuk pasien

  • Berikan masker bedah bagi pasien yang periksa, terlepas dari gejala, pada kontak pertama mereka di fasilitas pelayanan kesehatan
  • Di area pelayanan khusus untuk pasien Covid-19, pastikan bahwa terdapat analisa haemo-gas, pulse oximeters, oksigen, ventilator therapy equipment dan suction yang semuanya berfungsi dengan baik
  • Terapkan dengan ketat, tanpa kecuali, indikasi untuk desinfeksi lingkungan dan peralatan (sodium hypochlorite atau 0,5% atau 70% larutan etil alkohol)
  • Cegah defisiensi germisida dengan menggunakan sediaan galenic.
  • Pertimbangkan pengadaan rumah sakit khusus
  • Bila masih dijalankan klinik rawat jalan: hindari berkumpul di ruang tunggu (rekomendasikan orang menunggu di luar, beri jarak setidaknya 1 m antar kursi), menginformasikan pasien bergejala dengan demam dan / atau batuk dan / atau dispnea untuk tidak pergi ke klinik, edukasi standar kebersihan dan kesehatan di ruang tunggu.

5. Pasien

  • Mengurangi rawat inap di rumah sakit, kunjungan rutin ke klinik rawat jalan, prosedur bedah rutin dan mengatur kunjungan di rumah sakit.
  • Lakukan prosedur yang tepat bagi pasien dengan gejala, suspek dan terkonfirmasi, prosedur isolasi, screening interview pasien sebelum ke ruang periksa atau bagi yang memerlukan tindakan seperti pembedahan atau persalinan
  • Orang yang kontak dengan pasien Covid-19 harus diambil alih oleh Dinas Kesehatan setempat untuk tujuan epidemiologis dan surveilans aktif dan akan dievaluasi secara klinis di fasyankes yang ditunjuk jika orang tersebut menunjukkan gejala.
  • Gunakan definisi kasus luas dan strategi testing intensif. Pelacakan kontak secara agresif dan testing yang intensif bersamaan dengan isolasi dirumah adalah strategi kemenangan bagi beberapa daerah di Italia dan di negara Asia.

Selain itu, juga terdapat rekomendasi untuk melakukan re-organisasi staf di pelayanan emergensi untuk Covid-19 seperti pengaturan jumlah staf yang dibutuhkan di ruang pelayanan intensif, subintensif dan ruangan biasa (disesuaikan dengan jumlah tempat tidur di masing-masing tempat) dan kriteria staf yang dibutuhkan di ruang pelayanan intensif.

Dalam pembahasan proses pelayanan yang dituangkan dalam bab rekomendasi clinical pathway, rekomendasi yang diberikan cukup holistik karena tidak hanya untuk diagnosis dan penanganan Covid-19, tapi juga bagaimana rekomendasi pelayanan bagi wanita hamil, anak, pasien kanker, pelayanan hemodialisis, rekomendasi bagi dokter umum, prosedur penanganan jenazah suspek atau terkonfirmasi Covid-19 sampai dengan rekomendasi kesehatan psikologis para staf serta mental wellbeing pasien.

Impak dari pelayanan Covid-19 penting untuk diukur. Pengukuran outcome dilakukan untuk mendukung pemantauan respon penyedia layanan kesehatan (RS) Covid-19 yang efektif termasuk kapasitas yang memadai untuk merawat pasien dengan kondisi kegawatan lainnya seperti serangan jantung, stroke, dan trauma untuk memastikan kesehatan publik dilindungi semaksimal mungkin. Berikut contoh indikator yang dapat diukur:

  1. Tingkat rawat inap untuk COVID-19 (ukuran hasil tidak langsung dari wilayah tersebut)
  2. Tingkat mortalitas pasien rawat inap di rumah sakit untuk COVID-19
  3. Rerata Length of Stay pasien COVID-19
  4. Persentase pasien COVID-19 yang dirawat di ICU
  5. Angka kematian di rumah sakit dari pasien non-COVID-19 dirawat karena AMI (Acute Myocardial Infarction)
  6. Angka kematian di rumah sakit dari pasien non-COVID-19 dirawat karena Stroke
  7. Angka kematian di rumah sakit dari pasien non-COVID-19 dirawat karena PPOK
  8. Persentase pasien rawat inap non-COVID-19 yang terinfeksi COVID-19 selama rawat inap
  9. Tingkat infeksi COVID-19di antara staf
  10. Survival rates

Bila memungkinkan, indikator 1-7 harus dikelompokkan berdasarkan kelompok umur. Pengukuran ini harus digunakan dan diinterpretasikan dengan sangat hati-hati jika digunakan untuk membandingkaan kualitas pelayanan antar provider.

Selain pengukuran outcome, berikut contoh indikator untuk pengukuran “proses”:

  1. Length of stay
  2. Persentase pasien dengan penyakit komorbid
  3. Profil pasien : usia, jenis kelamin, etnis, penyakit komorbid
  4. Persentase staf dengan dan tanpa APD yang tepat
  5. Persentase jumlah staf yang terlatih
  6. Jumlah tes yang dilakukan untuk staf RS

Pengukuran lainnya yang dapat dilakukan contohnya:

  1. Tingkat infeksi staf
  2. Tingkat kematian staf
  3. Kesejahteraan staf
  4. Mental illness

Sumber:

  1. The Italian Network for Safety in Healthcare (INSH) dan Internasional Society for Quality in Health Care (ISQua). Patient Safety Recommendations For Covid-19 Epidemic Outbreak. Tersedia online pada https://www.isqua.org/blog/covid-19/covid19-resources/patient-safety-recommendations-for-covid19-epidemic-outbreak.html
  2. https://www.worldometers.info/coronavirus/#countries