Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Selama ini, mengukur kepuasan pasien merupakan hal yang lazim dilakukan manakala sarana pelayanan kesehatan ingin mendapatkan informasi dari pelayanan yang telah diberikan ke pasien. Perlu diketahui bahwa pandangan dari sisi pasien sama pentingnya dengan perawatan itu sendiri. Ekplorasi dari pengalaman pasien dapat mengungkapkan sisi mana yang menjadi kelemahan dari pelayanan yang kita diberikan. Tidak terkecuali untuk pelayanan pasien kanker, karena seorang pasien kanker tidak hanya menderita penyakitnya tetapi juga mengalami trauma mental, penderitaan, stres, ketidakpastian, dan kecemasan yang substansial.

Di era ini, ketika seseorang berbicara tentang inovasi dan kemajuan teknologi dalam ilmu kedokteran, dasar dari semua perkembangan yang memastikan bahwa setiap pasien mendapatkan perawatan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien. Sama pentingnya untuk menentukan apakah pasien puas atau tidak puas dengan perawatan yang diterimanya. Kepuasan pasien kanker merupakan pertimbangan penting karena sangat mempengaruhi kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental. Kepuasan pasien juga menunjukkan sejauh mana kebutuhan perawatan kesehatan klien terpenuhi dengan persyaratan pasien. Terlebih karena pasien membawa harapan tertentu sebelum kunjungan mereka ke rumah sakit sehingga kepuasan atau ketidakpuasan yang dihasilkan adalah hasil dari pengalaman mereka yang sebenarnya.

Mengenai perawatan kanker, berbeda dari perawatan penyakit lainnya. Lebih dari itu, karena, dalam beberapa kasus ada yang “perawatannya tidak dapat disembuhkan.” sehingga dalam memberikan layanan perawatan kesehatan kepuasan pasien tidak dapat diabaikan, seperti halnya kualitas perawatannya, bahkan penyembuhan penyakitnya. Terutama, ketika datang untuk melakukan perawatan kanker, kepuasan pasien harus diprioritaskan, karena pasien kanker tidak hanya berjuang dengan penyakitnya tetapi juga dengan penderitaan mental, trauma, kendala keuangan, ketidakpastian hidup, dan sejenisnya begitu banyak hal lainnya bahkan masalah kritis yang mempengaruhi kesejahteraan pasien kanker.

Sebuah penelitian mencoba mengeksplorasi kepuasan pasien kanker di rumah sakit khusus yang menyediakan layanan onkologi di Odisha-India, penelitian dilakukan dengan model transformasi triangulasi data cross-sectional dengan design mixed methode (Quant+Qual), data menunjukkan bahwa kepuasan umum pasien adalah 60%. Skor yang paling tinggi diperoleh untuk komunikasi dokter. Temuan kualitatif mengungkapkan bahwa perjalanan ke tempat yang jauh untuk penyakit ringan, masa tunggu, dan kurangnya layanan di fasilitas perawatan primer adalah alasan ketidakpuasan pasien.

Disadari atau tidak, bahwa ketrampilan komunikasi dokter ternyata berkontribusi pada tingkat kepuasan pasien, sehingga dapat memotivasi pasien untuk mematuhi prosedur perawatan. Masa tunggu terkait penjadwalan janji temu yang efisien dan manajemen yang baik dapat mengurangi waktu tunggu yang lebih lama. Penelitian ini menunjukkan Mayoritas responden melaporkan bahwa seorang dokter khusus ditunjuk, selama kunjungan tindak lanjut, dalam kasus ketidakhadiran dokter yang ditugaskan tidak dihadiri oleh dokter pengganti melainkan diminta untuk menunggu sampai dokter yang ditunjuk tersedia atau diminta untuk membuat janji lain. Sedangkan jarak dan lokasi sangat jauh.

Mengenai Jarak dan lokasi, menjadi faktor pendukung ketidakpuasan pasien karena mengalami kesulitan dalam perjalanan dari tempat tinggal menuju ke rumah sakit kanker. Bahkan ada yang mengalami kehilangan/pemotongan gaji di tempat kerja untuk menyelesaikan pemeriksaan lanjutan yang sudah disepakati dan biaya transportasi dan makanan yang tinggi. Kurangnya layanan di fasilitas perawatan primer juga merupakan alasan ketidakpuasan pasien, hal ini terlihat bahwa hampir semua pasien tidak mendapatkan layanan tindak lanjut di pusat perawatan primer karena dirujuk atau disarankan untuk mengunjungi rumah sakit kanker bahkan untuk penyakit ringan seperti batuk dan pilek.

Berdasarkan peneltian di atas bahwa penting untuk menilai kepuasan pasien agar dapat meningkatkan layanan kesehatan, serta dapat juga bertindak sebagai parameter untuk memahami apa yang berfungsi dan apa yang tidak. Sehingga kedepan berdasarkan hasil temuan yang ada dapat melakukan perubahan sehingga kualitas pelayanan kanker mengalami perubahan yang semakin baik dari waktu ke waktu.

Penulis: Andriani Yulianti, MPH
Referensi: Toomey et al. (2015). The Development of a Pediatric Inpatient Experience of Care Measure: Child HCAHPS. PEDIATRICS 2015:136;360, number 2. DOI: 10.1542/peds.2015-0966. http://pediatrics.aappublications.org/content/136/2/360 
Mahapatra et al. (2016). Quality of Care in Cancer: An Exploration of Patient Perspectives. J Family Med Prim Care. 2016 Apr-Jun; 5(2): 338–342. doi: 10.4103/2249-4863.192349 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5084558/ 

Stunting pada anak dapat menjadi indikator yang bagus terkait kesejahteraan anak dan refleksi yang akurat terhadap ketidaksetaraan sosial. Secara keseluruhan, indikator tingkat kesejahteraan anak dapat digambarkan dalam pertumbuhan yang linier (linear growth).

Jutaan anak di dunia masih tidak dapat mencapai potensi pertumbuhan liniernya karena kesehatan dan nutrisi yang kurang optimal, serta perawatan kesehatan yang tidak memadai. Selain tidak tercapainya pertumbuhan linier, anak-anak tersebut dapat menderita kerusakan fisik dan kognitif parah serta terhambatnya pertumbuhan.

Stunting sering tidak dapat diidentifikasi, hal ini biasa terjadi karena kendala tidak dilaksanakannya asesmen rutin pertumbuhan linier pada anak. Namun saat ini stunting menjadi prioritas kesehatan global dan menjadi fokus pada beberapa inisiatif terkenal seperti; Scalling Up Nutrition, Zero Hynger Challenge, dan Nutrition for Growth Summit.

Stunting sendiri dapat diidentifikasi dengan melakukan asesmen terhadap panjang atau tinggi anak (diukur pada anak usia kurang dari dengan posisi telentang, dan posisi berdiri pada anak usia 2 tahun atau lebih), dan dilakukan interpretasi dengan membandingkan hasil pengukuran dengan standar nilai yang dapat diterima atau ditetapkan. Penentuan kondisi stunting pada anak dapat mengacu pada kesepakatan internasional, bahwa anak-anak dapat dikategorikan mengalami stunting jika panjang/ tinggi mereka di bawah -2SDs mengacu pada median di WHO Child Growth Standards, untuk semua jenis usia dan jenis kelamin. Demikian pula, anak-anak dikategorikan termasuk sangat terhambat pertumbuhan jika panjang/ tingginya dibawah -3 SDs dari median di WHO Child Growth Standards, untuk semua jenis usia dan jenis kelamin.

Proses untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami stunting tidak dapat hanya diamati saat berinteraksi saja, namun terjadinya pertumbuhan terhambat yang sangat parah dapat diketahui dengan mengukur ketinggian anak dan membandingkannya dengan standar WHO. Pengukuran panjang anak-anak (hingga 24 bulan) atau tinggi (mulai 24 bulan ke depan) harus menjadi suatu praktik standar.

Pada prinsipinya proses menilai pertumbuhan linier pada anak tidaklah sulit, namun diperlukan kepatuhan terhadap prinsip kunci pengukuran dan perhatian terhadap detil-detilnya. Proses pengukuran tersebut sangat tergantung pada ketahanan, prsesisi, pemeliharaan, dan kalibrasi peralatan antropometrik, teknik pengukuran dan penetapan prosedur kualitas data.

Sedangkan berdasar observasi diperoleh hasil bahwa anak-anak yang berasal dari populasi keluarga mampu di negara-negara berkembang memiliki pola pertumbuhan yang sama dengan anak-anak sehat dan bergizi baik di negara-negara maju (Bhandari et al. 2002; Mohammed et al. 2004; Owusu et al. 2004; WHO Multicentre Growth Reference Study Group, 2006).

WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS) ini dilakukan untuk mengembangkan standar normative berdasarkan pendekatan preskriptif dan inovatif. Hasil penting dari penelitian ini adalah adanya kesamaan dalam pertumbuhan linier di enam populasi MGRS, yang menunjukkan bahwa ketika kenutuhan kesehatan, lingkungan, dan perawatan terpenuhi, pertumbuhan potensial yang secara umum adalah setidaknya pada usia minimal 5 tahun.

Stunting biasanya diawali ketika dalam kandungan dan berlanjut hingga setidaknya 2 tahun pertama setelah kelahiran. Pendekatan preskriptif pada MGRS di penelitian Intergrowth-21st menunjukkan bahawa pertumbuhan janin dan panjang bayi baru lahir serupa di beberapa setting geografis ketika kebutuhan nutrisi dan kesehatan yang diperlukan ibu terpenuhi serta kendala lingkungan untuk proses pertumbuhan hanya sedikit.

Stunting merupakan proses berulang, dimana perempuan yang terhambat pertumbuhannya di masa kanak-kanak memiliki risiko yang lebih besar untuk melahirkan anak yang terhambat pertumbuhannya, sehingga pada siklus kemiskinan antar generasiyang berkelanjutan dan ‘kerusakan’ sumber daya manusia menjadi suatu hal yang sulit di’interupsi’.

Stunting adalah bentuk malnutrisi anak yang paling umum. UNICEF, WHO, dan World Bank mengeluarkan estimasi perkiraan tahunan anak dengan malnutrisi di seluruh dunia, dengan menggunakan WHO Child Growth Standards, pada tahun 2013 diperkirakan 161 juta anak di bawah 5 tahun mengalami stunting. Sekitar setengah dari semua anak stunting tersebut berasal dari Asia dan sepertiga dari Afrika. Dan meskipun sedikit anak stunting berasal dari Amerika, namun di beberapa negara di wilayah Amerika memiliki tingkat prevelansi stunting pada anak setinggi yang ditemukan di Asia dan Afrika.

Stunting sendiri didefinisikan sebagai suatu sindrom dimana terjadi kegagalan pertumbuhan liner yang berfungsi sebagai penanda berbagai kelainan patologis, serta terkait dengan morbiditas dan mortalitas, hilangnya potensi pertumbuhan fisik, penurunan fungsi perkembangan sraf dan kognitif, serta peningkatan risiko penyakit kronis pada masa dewasa.

Stunting dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat infeksi, khususnya pneumonia dan diare (Koosman et al. 2000; Black et al. 2008; Olofin et al. 2013) dan juga sepsis, meningitis, tuberkulosis, dan hepatitis, serta menunjukkan adanya gangguan umum kekekbalan pada anak dan pertumbuhan yang sangat terhambat (Olofin et al. 2013).

Kegagalan pertumbuhan dalam 2 tahun pertama kehidupan juga dikaitkan dengan penurunan perawakan di masa dewasa (Coly et al. 2006; Stein et al. 2010). Stunting juga memiliki konsekuensi ekonomi yang penting bagi kedua jenis kelamin baik di tingkat individu, rumah tangga, maupun masyarakat. Pada usia 24 bulan pertama juga sangat penting untuk perkembangan otak. Stunting juga dilaporkan dapat mempegaruhi kesehatan orang dewasa dan risiko penyakit kronis.

Pada 2012, WHO mengadopsi resolusi untuk gizi ibu, bayi, dan anak-anak, serta menyepakati 6 target global untuk mengajak dunia bertanggungjawab atas upaya mereduksi malnutrisi (WHO 2012). Paling utama adalah target mengurani 40% jumlah anak stunting di bawah 5 tahun pada tahun 2025 yang akan datang. Sasaran stunting didasarkan pada anisis data time series dari 148 negara dan kisah sukses nasonal dalam mengatasi malnutrisi (de Onis et al. 2013).

Dirangkum oleh: Lucia Evi Indriarini, MPH.
Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5084763/ 

Stunting mempengaruhi sepertiga anak-anak usia dibawah 5 tahun pada negara-negara berkembang, dan 14% kematian anak-anak dianggap disebabkan oleh stunting. Penelitian oleh Danaei et al(2016) memperkirakan jumlah kasus stunting pada anak-anak berusia 24-35 bulan (yaitu, pada akhir periode kerentanan 1.000 hari) disebabkan oleh 18 faktor risiko di 137 negara berkembang. Terdapat lima klasifikasi faktor risiko, yaitu:

  1. Nutrisi dan infeksi ibu
  2. Ibu remaja dan interval kelahiran pendek
  3. Restriksi pertumbuhan janin (Fetal Growth Restriction / FGR) dan kelahiran premature
  4. Gizi dan infeksi anak
  5. faktor lingkungan.

Risiko utama di negara berkembang dan juga di seluruh dunia adalah restriksi pertumbuhan janin (FGR), yang didefinisikan sebagai lahir cukup bulan (saat atau setelah usia kehamilan 37 minggu) tetapi kecil untuk usia kehamilan, dan 10,8 juta kasus (dari 44,1 juta) disebabkan oleh FGR, diikuti oleh sanitasi yang tidak baik seperti kualitas air yang buruk, kondisi sanitari buruk dan penggunaan bahan bakar padat, dengan 7,2 juta dan diare dengan kasus 5,8 juta. FGR dan kelahiran prematur adalah kelompok faktor risiko utama di semua wilayah. Risiko lingkungan memiliki dampak estimasi terbesar kedua untuk stunting secara global dan kasus stunting di Asia Selatan, Afrika sub-Sahara, serta kawasan Asia Timur dan Pasifik, sedangkan nutrisi dan infeksi anak adalah kelompok faktor risiko utama kedua di wilayah lain.

art21jan

Peneliti merekomendasikan upaya untuk mengurangi stunting lebih lanjut harus difokuskan pada pencegahan FGR dan sanitasi yang buruk. Hal ini membutuhkan program pencegahan yang fokus pada intervensi yang menjangkau ibu dan keluarga untuk perbaikan lingkungan hidup dan gizi mereka.

Relevansi di Indonesia: Jumlah kasus stunting berdasarkan hasil Riskesdas 2018 menunjukkan perbaikan. Proporsi balita sangat pendek dan pendek pada tahun 2018 adalah 30,8% (menurun dari 37,2% pada tahun 2013) dan proporsi baduta sangat pendek dan pendek pada tahun 2018 adalah 29,9% dengan 18 provinsi tercatat memiliki prevalensi tinggi (30%-<40%). Pemerintah melalui koordinasi 22 kementerian dan lembaga menargetkan penurunan angka stunting pada 2019 hingga ke angka 24,8 persen dengan melakukan intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif. Sementara fokus intervensi pada 2019 akan dilakukan terhadap 160 kabupaten dan kota.

Penulis: dr. Novika Handayani
Kaleidoskop Kebijakan Kesehatan 2018 https://drive.google.com/file/d/0Bzt046lJwc-DdWtYc1E0VmlNRTNPMzBCY3BlRjUwa0FFeHc0/view 
Hasil Riskesdas 2018

 

 

Politeknik Kesehatan Papua, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UGM, Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cendrawasih Jayapura telah melakukan penelitian tentang “Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS”. Penelitian telah diterbitkan pada tahun 2010 oleh Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor perilaku masyarakat Papua seperti perilaku seks bebas, merosotnya nilai agama dan kebiasaan budaya negatif di Biak mempunyai risiko terhadap terjangkitnya penyakit HIV-AIDS.

Sejak tahun 1979 angka HIV-AIDS semakin meningkat di Papua, untuk mengantisipasi hal ini pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan nasional Abstinency, Be faithful, dan Condom (ABC). Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual. Namun, di Indonesia program ini belum menunjukkan hasil yang bermakna, perlu usaha lain yaitu meneliti tentang model lokal penanggulangan HIV-AIDS di Papua.

Tercatat 38.874 orang HIV/AIDS di Papua, jumlah ini berdasarkan data per 30 September. Kabupaten Nabire menduduki posisi tertinggi dari 28 kabupaten dan 2 kota di Papua, sebesar 7.240 orang. Peringkat kedua Kota Jayapura, yaitu 6.189 orang, disusul Kabupaten Mimika dan Jayawijaya dan daerah lainnya. Peningkatan jumlah kasus yang diketahui karena ada program yang dilakukan pemerintah untuk mengajak masyarakat secara sukarela mengikuti tes.

Metode penelitian yang dikembangkan oleh tim peneliti adalah analitik case control, terdiri dari 50 orang HIV AIDS (ODHA) dan 50 non ODHA Biak Numfor. 200 orang yang mewakili 7 wialyah adat papua dan 10 tokoh agama mewakili 5 denominasi kristen di Papua. Data yang digunakan bersifat primer dan sekunder, diambil dengan cara wawancara, pencatatan dan observasi.

Penelitian ini mengeluarkan beberapa rekomendasi, yaitu:

  1. Pemerintah bersama lembaga masyarakat membuat aturan tentang lokasi praktek seks bebas, milo dan mili, narkoba, penerapan nilai agama dan budaya yang berisiko berjangkitnya penyakit AIDS di Papua.
  2. Pemerintah Papua hendaknya mencari alternatif pekerjaan lain bagi para pekerja seks
  3. Papua dapat menggunakan Model H (model perubahan perilaku AB/ kebijakan AB) karena efisien dan efektif untuk digunakan di Papua.
  4. Lembaga agama, lembaga adat dan masyarakat Papua secara keseluruhan sebagai lembaga kunci dalam pengembangan model H (model perubahan perilaku AB/kebijakan AB).
  5. Khusus bagi lembaga agama, perlu melakukan ministry penggembalaan, penguatan kepada pengidap dan keluarganya (fisik dan psikologi) dan sakramen bagi penderita. Kemudian, kepada segenap umatnya pemimpin harus memberi contoh dan meningkatkan pembimbingan dan pengawasan serta lebih bersifat transparan dalam pengajaran dan khotbah.
  6. Pemerintah daerah Papua dapat menggunakan Model H (model perubahan perilaku AB/kebijakan AB) untuk penanggulangan risiko terjangkit HIV-AIDS di Papua dengan pendekatan nilai-nilai masyarakat lokal yaitu a community planning process and efforts and directed.

Penulis, Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH (082324332525)

Sumber:
Zeth Arwam Hermanus Markus et al. 2010. Perilaku dan Risiko Penyakit HIV-AIDS di Masyarakat Papua Studi Pengembangan Model Lokal Kebijakan HIV-AIDS. Yogyakarta: Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Volume 13 No. 04 Desember
Kompas. 2018. https://regional.kompas.com/read/2018/12/01/21132341/penderita-hivaids-di-papua-tercatat-38874-orang