Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kebersihan tangan (hand hygiene) merupakan tolok ukur dalam upaya pencegahan penyebaran resistensi antimikroba dan mengurangi infeksi. Namun demikian kepatuhan tenaga kesehatan dalam penerapan praktik kebersihan tangan (hand hygiene) pada saat pelayanan kesehatan masih rendah pada beberapa situasi.

Artikel berikut akan memaparkan kajian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada kepatuhan hand hygiene, dampak promosi hand hygiene pada pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan transmisi patogen, dan tingkat infeksi, serta isu-isu lain diantaranya terkait adopsi alkohol-bahan dasar hand rub sebagai perubahan sistem kritis untuk keberhasilan promosi.

Selama lebih beberapa tahun, bukti ilmiah membuktikan bahwa peran hand hygiene dalam peningkatan keselamatan pasien (patient safety) relatif meningkat, namun beberapa isu kunci masih menjadi tantangan pagi provider pelayanan kesehatan dan peneliti. Secara ringkas, tema kajian artikel ini akan membahas peran hand hygiene pada pencegahan infeksi terkait kesehatan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Praktik Cuci Tangan

Seperti telah diketahui bahwa telah cukup lama tenaga kesehatan mengalami kesulitan dalam upaya kepatuhan hand hygiene. Rendahnya tingkat kepatuhan cuci tangan tersebut terjadi baik di negera berkembang maupun negara sedang berkembang. Alasan mengapa hal tersebut terjadi bervariasi dan bergantung pada kondisi dan sumber daya yang tersedia. Namun faktor-faktor yang paling sering diobservasi terkait rendahnya tingkat kepatuhan cuci tangan antara lain:

  1. Terrmasuk kategori tenaga profesional tertentu (yaitu; dokter, asisten perawat, fisioterapis, teknisi)
  2. Bekerja di area perawatan khusus (yaitu; perawatan intensif, operasi, anestesiologi, obat darurat)
  3. Kekurangan staf dan kelebihan beban pekerjaan
  4. Penggunaan APD dan atau sarung tangan

Kebersihan tangan petugas kesehatan sangat penting karena dapat menjadi media perpindahan bakteri patogen ke pasien, namun praktik cuci tangan ini terindikasi berisiko tinggi tidak dipatuhi oleh tenaga kesehatan, seperti pada saat sebelum kontak dengan pasien atau prosedur antiseptik.

Banyak faktor yang berperan dalam ketidak patuhan cuci tangan, diantaranya; persepsi dan pengetahuan terhadap risiko transmisi dan dampak infeksi terkait kesehatan, tekanan sosial, keyakinan tenaga kesehatan terhadap self-efficacy mereka, evaluasi manfaat yang dirasakan dibandingkan dengan hambatan yang ada, dan niat untuk melakukan cuci tangan.

Perilaku kebersihan tangan sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis praktik, yakni:

  • Praktik inherent hand hygiene
    Praktik cuci tangan yang dilakukan ketika tangan terlihat kotor, lengket, atau berpasir
  • Praktik elective hand hygiene
    Praktik cuci tangan yang tidak termasuk dalam kategori inherent. Untuk tenaga kesehatan komponen perilaku cuci tangan ini mirip dengan interaksi sosial pada umumnya seperti berjabat tangan. Untuk pelayanan kesehatan , hal itu termasuk ‘menyentuh’ pasien (misal: melakukan pengecekan denyut nadi atau tekanan darah) atau ketika terjadi ‘kontak’ dengan benda mati disekitar pasien

Dampak Promosi Hand Hygiene pada Healthcare Associated Infection (HCAI)

Pada penelitian yang telah dilakukan ditemukan bukti meyakinkan bahwa peningkatan praktik cuci tangan atau upaya penerapan hand hygiene dapat menurunkan tingkat infeksi. Lebih dari 20 rumah sakit, menjadi dasar penelitian dampak praktik hand hygiene terhadap risiko Healthcare Associated Infection telah diterbitkan selama kurun waktu 1977-2008.

Terlepas dari keterbatasan penelitian, hampir semua laporan menunjukkan hubungan sementara antara peningkatan praktik hand hygiene dan penurunan infeksi dan tingkat transmisi silang. Sebagian besar investigasi dilaksanakan pada pasien dewasa dan neonatal di Intensive Care Units (ICUs) dan sebagian besar atau mayoritas memperkenalkan penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol terkait dengan komponen promosi.

Di banyak negara, berbagai bukti dari penelitian memaparkan efektivitas praktik hand hygiene cukup meyakinkan pemerintah untuk menginvestasikan sumber daya pada praktik penerapan hand hygiene pada kampanye nasional maupun sub-nasional. Namun demikian sebagian besar bukti menyebutkan bahwa temuan tersebut merefleksikan intervensi pada penerapan di pelayanan kesehatan negara berkembang. Untuk itu penelitian lebih lanjut memerlukan evaluasi terkait efikasi setiap elemen kunci pada startegi multimodal, melakukan penilaian pada penerapan di situasi yang memiliki sumberdaya terbatas, dan untuk mengumpulkan informasi solusi yang berhasil dengan melakukan adaptasi.

Berdasar penelitian yang dilakukan pada artikel ini, peningkatan kepatuhan praktik hand hygiene tidak melebihi 81%. Salah satu penelitian yang diikuti atau dipantau selama 8 tahun menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan praktik hand hygiene maksimum berada di angka 66% dan berhasil secara paralel menjaga capaian pengurangan HCAI pada tingkat <10%. Sedangkan tujuan pencapaian tingkat kepatuhan di angka 100% tampaknya relatif sulit dicapai karena kompleksitas berbagai faktor berpengaruh pada perilaku tenaga kesehatan terkait performa praktik hand hygiene. Untuk itu perlu pertimbangan khusus dan berhati-hati dalam menentukan tingkat kepatuhan praktik hand hygiene untuk menghindari kegagalan dan kefrustasian.

Isu-isu terkait Penggunaan Hand Rubs Berbahan Dasar Alkohol

Penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol dipertimbangkan sebagai standar ‘emas’ untuk praktik hand hygiene pada sebagian besar situasi klinis. Rekomendasi ini didukung oleh CDC dan WHO dan berbagai pedoman nasional hand hygiene.

Penekanan yang kuat di pedoman dan ketersediaan tools hand rub berbahan dasar alkohol sebagai faktor kunci peningkatan praktik hand hygiene, memunculkan isu pengadaan dan biaya produk, sehingga feasibilitas rekomendasi ini menjadi tantangan tersendiri khususnya di negara-negara berkembang.

Data pada pemasaran global produk komersial – hand rub berbahan dasar alkohol di tahun 2007 menunjukkan angka US $ 3 milyar, dengan peningkatan 16,3% dibandingkan pada tahun 2003, yang sebagian besar diobservasi di Eropa dan Amerika Utara.

Penerapan toolkit pada Pedoman WHO mengenai Hand Hygiene di Fasilitas Kesehatan meliputi pedoman produksi lokal untuk menghasilkan hand rub berbahan dasar alkohol di farmasi rumah sakit atau di fasilitas lainnya untuk penggunaan lokal. Dua formulasi yang disarankan: satu berdasarkan ethanol 80% v/v, satu berdasarkan isopropyl alcohol 75% v/v, keduanya termasuk hydrogen peroxide 0,125% v/v dan glycerol 1,45% v/v. Produksi lokal ini banyak dilakukan di berbagai fasilitas kesehatan dan secara hati-hati di monitor dan dievaluasi oleh WHO di beberapa tempat.

23m 1

Kontroversi Isu-isu Terkait Penggunaan Hand Rub Berbahan Dasar Alkohol dan Penyebaran Clostridium Difficile

Meluasnya penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol sebagai standar ‘emas’ pada penerapan hand hygiene di fasilitas kesehatan diikuti dengan perhatian terhadap kurangnya efikasi terhadap patogen pembentuk spora. Namun demikian, terlepas dari iodofor, meskipun pada tingkat konsentrasi yang lebih tinggi daripada penggunaan antiseptik, tidak ada agen hand hygiene (termasuk alkohol, chlorhexidine, hexachlorophene, chloroxynol, dan tricolsan) sporicidal andal melawan clostridium atau bacillus spp.

Beberapa penelitian dilakukan terkait isu tersebut. Dan baru-baru ini beberapa penelitian menunjukkan kurangnya hubungan antara penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol dan kejadian isolat klinis dari C. difficile. Sehingga kesimpulan yang dapat ditarik kurangnya dukungan terhadap penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol untuk perawatan pasien dibandingkan keterkaitan C. difficile dengan penyakit hanya akan membahayakan keselamatan pasien secara keseluruhan dalam jangka panjang.

Berdasarkan bukti-bukti yang tersedia dapat dirangkum bahwa intervensi multimodal menjadi strategi yang paling sesuai untuk menentukan perubahan perilaku peningkatan kepatuhan praktik hand hygiene dan mengurangi tingkat Healthcare Associated Infection (HCAI). Pengenalan penggunaan hand rub berbahan dasar alkohol dan program edukasi berkelanjutan menjadi kunci faktor untuk mengatasi kendala infrastruktur dan membangun peningkatan pengetahuan, yang didukung oleh administrator fasilitas kesehatan dan komitmen dari pemerintah nasional dan lokal.

Dirangkum Oleh : Lucia Evi Indriarini, MPH.
Referensi : B. Allegranzi , D. Pittet. 2009. Role of hand hygiene in healthcare-associated infection prevention. Journal of Hospital Infection (2009) 73, 305e315

 

Penyakit asma adalah penyakit pernapasan kronis yang sangat umum. Di Kanada, sekitar 80% dari penyakit distres respiratori merupakan penyakit asma dan mempengaruhi 8,4% populasi. Terdapat kesepakatan umum bahwa asma adalah sebuah 'kondisi layanan rawat jalan yang sensitif’ (ambulatory care sensitive condition) dengan artian apabila manajemen rawat jalan pasien baik, maka akan menurunan angka rawat inap. Meskipun panduan manajemen sudah jelas, tetapi masih ada variasi mutu dalam pelayanan asma di tingkat primer sehingga muncul kebutuhan untuk mengidentifikasi strategi peningkatan mutu yang efektif untuk memastikan pelayanan yang diberikan bermutu tinggi dan aman. Di Kanada, sampai dengan penelitian yang dilakukan oleh To et al. (2010), belum ada indikator kinerja yang spesifik untuk manajemen penyakit pernapasan kronis. Indikator kinerja berbasis komunitas atau indikator mutu pelayanan dapat membantu mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dari pengembangan, diseminasi serta penggunaan pedoman klinis untuk manajemen asma. Tujuan dari penelitian To et al. (2010) adalah untuk mengembangkan indikator kinerja berbasis bukti yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas layanan komunitas dan layanan primer untuk penyakit asma, dengan mempertimbangkan karakteristik pasien.

Penelitian dilakukan di Kanada pada tahun 2008 menggunakan Metode RAND Appropriateness termodifikasi yang memiliki karakteristik teknik Delphi dan Nominal Group Techniques dan dideskripsikan sebagai satu-satunya metode sistematik yang mengkombinasikan antara opini para ahli dan bukti. Metode ini terdiri dari tinjauan literatur, penilaian awal indikator oleh panelis menggunakan survei yang dikirim melalui email, diikuti dengan pertemuan konsensus panel ahli secara langsung.

Lima ahli klinis melakukan tinjauan literatur sistematis dengan mengambil artikel peer-reviewed yang terbit pada tahun 19998-2008 pada Cochrane Database of Systematic Reviews, MEDLINE, EMBASE and CINAHL serta 5 pedoman manajemen asma nasional maupun global. Strategi pencarian artikel adalah dengan fokus pada pertanyaan “Apakah indikator kinerja asma yang saat ini diakui atau digunakan dalam pelayanan komunitas dan pelayanan primer?”. Terdapat lima domain kata kunci yang digunakan untuk mencerminkan mutu pelayanan primer penyakit asma yaitu akses terhadap pelayanan, efektivitas klinis, fokus kepada pasien, integrasi sistem dan koordinasi serta keselamatan pasien. Indikator kinerja spesifik untuk asma dikembangkan dan dibuat sebuah survei yang dikirimkan kepada 17 panel ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk meminta mereka menilai setiap indikator menggunakan 9 poin skala Likert. Distribusi persentase skor Likert dihasilkan dan diberikan kepada panelis sebelum pertemuan konsensus tatap muka. Pada pertemuan tersebut, mereka memberi peringkat terhadap semua indikator berdasarkan keandalan, validitas, ketersediaan, dan kelayakannya.

Dari hasil tinjauan literatur, terdapat 135 artikel teks lengkap dan lima pedoman yang memberikan bukti pendukung untuk indikator kinerja spesifik untuk asma dan digunakan untuk menghasilkan 45 indikator awal. Pada konferensi konsensus Delphi, berlangsung putaran kedua penetapan indikator oleh panel ahli. Hasil peringkat mengidentifikasi 15 indikator yang dipilih oleh setidaknya oleh 50% panelis. Berikut ini adalah 15 indikator yang terpilih sebagai indikator kinerja pelayanan primer penyakit asma:

tb2

Indikator-indikator diatas secara umum mengukur berbagai aspek pelayanan primer untuk asma yaitu pencegahan, promosi, chronic care, interaksi dengan pasien dan kolaborasi dengan berbagai sektor kesehatan. Terdapat dua kelebihan dalam studi ini yaitu: 1)Spesifik untuk asma dan dilakukannya analisis yang teliti terhadap literatur yang mendukung setiap indikator; dan 2)Panel ahli yang terdiri dari penyedia layanan kesehatan di berbagai setting yang melayani pasien dengan latar belakang sosiodemografi beragam. Meskipun beberapa indikator mutu asma telah diidentifikasi sebelumnya, hanya beberapa yang telah diuji kelayakannya pada situasi nyata. Para ahli dalam penelitian ini menyetujui bahwa banyak tantangan dalam implementasi indikator kinerja dalam layanan primer, terutama pada ketersediaan data dan kualitas data. Menangani masalah semacam itu tidak sederhana, karena kenyataannya bahwa di pelayanan primer seringkali sibuk, penuh sesak dengan pasien, dan dijalankan oleh staf yang prioritas bekerja untuk memenuhi kebutuhan pelayanan medis. Selain itu, ada tantangan potensi konfidensialitas dan biaya. Tetapi, lima belas indikator kunci yang direkomendasikan ini dapat digunakan menjadi dasar atau model metodologi untuk menentukan situasi terkini dari status kesehatan dan pelayanan asma saat ini. Indikator kinerja berfungsi dalam memberi informasi yang terstandar atas outcomes kesehatan penyakit asma dari waktu ke waktu dan untuk seluruh populasi. Indikator dapat dimasukkan ke dalam sistem surveilans longitudinal berbasis populasi untuk mendukung otoritas kesehatan regional dalam memonitor efektivitas dan dampak dari kebijakan dan program kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan pernapasan. Sebagai tambahan, indikator tersebut juga diharapkan berfungsi sebagai parameter standar dalam mengevaluasi program.

Di Indonesia sendiri belum ada indikator berbasis kinerja atau indikator mutu untuk pelayanan suatu penyakit spesifik yang diimplementasikan secara nasional walaupun sudah ada studi yang akan mengembangkan hal ini. Indikator mutu untuk pelayanan suatu penyakit, khususnya terhadap penyakit kronis, dapat menjadi salah satu alat untuk kendali mutu dan kendali biaya bagi penyedia layanan kesehatan khususnya di era JKN seperti saat ini. Selain itu, dengan adanya indikator mutu pelayanan yang spesifik terhadap suatu penyakit akan semakin meningkatkan outcome kesehatan bagi penderitanya.

Oleh : dr.Novika Handayani
Sumber : Teresa TO, et al. Evidence-based performance indicators of primary care for asthma: a modified RAND Appropriateness Method. International Journal for Quality in Health Care 2010; Volume 22, Number 6: pp. 476–485.

 

Yale New Haven Hospital, rumah sakit pendidikan utama bagi Fakultas Kedokteran Universitas Yale pada tahun 2012 menghadapi situasi angka infeksi daerah operasi histerektomi yang lebih tinggi daripada standar nasional. Penyimpangan yang menggelisahkan ini menimbulkan gerakan untuk secara sistematis mengurangi angka tersebut. Dibentuklah suatu komite dengan tujuan mengurangi infeksi daerah operasi (IDO) histerektomi.

Komite ini menghasilkan sebuah bundle yang elemennya meliputi preoperatif, intraoperatif, dan postoperatif yang disebut Surgical Site Infection Prevention Bundle. Secara bertahap diimplementasikan sejak 2012, bundle ini mencapai bentuk akhir pada 2014 dan sejak itu dievaluasi tahunan. Andiman et al. (2018) menerbitkan hasil analisis retrospektif penelitian peningkatan mutu dalam jurnal Obstetrics & Gynecology.

Penelitian ini melibatkan 2099 operasi histerektomi selama 33 bulan dengan 61 IDO (4,51%) sebelum implementasi bundle secara lengkap dan 14 IDO (1,87%) setelah implementasi bundle secara lengkap. Pasien yang menjalani operasi histerektomi setelah implementasi lengkap seluruh bundle lebih kecil risikonya mengalami IDO (OR 0,46, p=0,01). Penelitian ini menyimpulkan bahwa implementasi bundle multidisiplin dapat secara signifikan menurunkan risiko IDO pada pasien yang menjalani operasi histerektomi.

Tabel 1 Surgical Site Infection Prevention Bundle: Gynecologic-Specific Bundle

Elemen Keterangan
Klorheksidin glukonat

Klorheksidin glukonat diusapkan saat visite preoperasi dan saat pasien berada di ruang persiapan

Pasien diberikan edukasi mengenai penggunaan klorheksidin glukonat

Penghangatan terkendali oleh pasien Keadaan normothemia dipertahankan dengan blower udara hangat
Preparasi aseptik kulit secara ginekologis

Preparasi kulit abdomen tunggal dengan klorheksidin glukonat 2% dan isopropil alkohol 70%

Preparasi vaginal tunggal dengan klorheksidin glukonat 4% dan isopropil alkohol 4%

Balutan steril

Minimal balutan steril dipertahankan 24 jam dan dibuka 48 jam pascaoperasi

Topical skin adhesive dibuka sesuai pilihan ahli bedah dan tidak termasuk balutan steril

Pasien yang dipulangkan sebelum 24 jam diminta membuka balutan sendiri di rumah setelah 48 jam

Menjaga kehangatan selama operasi Suhu selama pembedahan diawasi dokter anestesi, digunakan blower udara hangat, dan suhu inti dipertahankan di atas 360 C
Standarisasi dan pengulangan dosis antibiotik

Cefazolin 2 gram (3 gram bila berat badan > 120 kg) maksimal satu jam sebelum insisi

Klindamicin 900 miligram dan gentamisin 2 mg/kg berat badan untuk menggantikan cafazolin bagi pasien alergi sefalosporin

Ditambahkan 500 miligram metronidazole preoperatif untuk kasus dengan antisipasi keterlibatan usus atau diantisipasi untuk risiko infeksi lebih tinggi

Dosis diulang 3 jam waktu operasi atau pada kehilangan darah 1,5 liter atau lebih

Umpan balik yang tepat waktu dan terstruktur

Komite yang dibentuk bertemu setiap bulan untuk mengkaji ulang perkembangan, menjaga komplians terhadap suhu inti intraoperatif, ketaatan pada antibiotik profilaksi, pemberian ulangan dosis, dan persiapan pembedahan.

Ketika terjadi penyimpangan, tim perioperatif dihubungi oleh komite.

Pembicaraan dirancang sebagai pembicaraan antar ahli bedah, antara anestesiologis, dan antar perawat untuk memastikan kegagalan protokol, dan memastikan ulang kebutuhan intervensi.

Pembicaraan ini menekankan pada dukungan tim, pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman terhadap bundle.

Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat dipelajari dari publikasi ini. Pertama adalah bagaimana sebuah rumah sakit besar di negara maju merasa perlu untuk menciptakan protokol baru untuk meningkatkan mutu. Kedua, hasil penerapan bundle ini sendiri. Ketiga, adalah keunikan elemen ketujuh bundle.

Kesadaran bahwa terjadi penyimpangan dari standar nasional mendorong rumah sakit ini membuat terobosan dalam bentuk serangkaian prosedur operasi. Komite khusus dibuat untuk menangani protokol baru ini dipimpin oleh ahli ginekologi, anestesiologis, epidemiolog rumah sakit, pengendalian infeksi, dan perawat perioperatif. Protokol yang dibuat mempertimbangkan referensi-referensi yang berbasis bukti berkualitas tinggi dan menghindari harm bagi pasien.

Pengalaman ini sangat melegakan, karena dengan berbagai proses akreditasi dan peningkatan mutu dan keselamatan pasien, segenap pelayan kesehatan rumah sakit di Indonesia telah terbiasa untuk membaca standar, melaksanakan protokol, mengawasi mutu, dan mencari referensi berbasis bukti. Tidak perlu usaha yang ekstra untuk mendorong para staf di rumah sakit kita untuk melompat dari zona nyaman dan menyusun sendiri berbagai protokol di rumah sakit.

Penelitian ini sendiri membuktikan bahwa protokol tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi rumah sakit, berbasis pada bukti terkini, dan mempertimbangkan harm bukanlah hal yang mustahil. Para pemimpin dan manajer di rumah sakit Indonesia harus berani mendorong stafnya untuk melakukan hal-hal serupa untuk peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Elemen-elemen dalam bundle ini sendiri juga disusun khas untuk rumah sakit tersebut dengan kemungkinan dibagikan ke rumah sakit lain sebagai pembelajaran dan telah terbukti dapat mengurangi insidens infeksi daerah operasi.
Penelitian ini membuktikan bahwa penyusunan protokol berdasarkan kondisi khas di rumah sakit ditambah dengan dasar publikasi berbasis bukti dapat mencapai tujuan peningkatan mutu di rumah sakit.

Terakhir adalah mengenai elemen terakhir bundle. Elemen berbeda dari keenam elemen lainnya dan oleh penulis dianggap krusial dalam perubahan layanan. Umpan balik langsung bersandar pada interaksi interpersonal. Ini penting karena pada pelayanan kesehatan sering ditemukan para pelayan kesehatan resisten terhadap perubahan terutama bila data dan tujuan perubahan tersebut tidak jelas. Elemen ini juga sangat menarik karena secara tegas menyebutkan strategi intervensi dengan mempertimbangkan profesi.

Di Indonesia, kerap dijumpai penyimpangan terhadap prosedur tidak secara terbuka dibicarakan, dan bila dibicarakan biasanya bukan oleh sesama profesi. Misalnya saat ahli bedah melakukan penyimpangan terhadap prosedur di kamar operasi. Koreksi atas penyimpangan cenderung dilakukan oleh kepala perawat kamar operasi misalnya. Pendekatan pada bundle ini mengatur sampai detil materi, tujuan, dan oleh siapa pembicaraan ini dilakukan. Seorang ahli bedah tentu akan lebih mendengarkan ahli bedah lain, demikian pula perawat kamar bedah pasti akan lebih mempertimbangkan masukan dari sejawatnya daripada oleh profesi lain.

Kesimpulannya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi para manajer dan pemimpin di rumah sakit untuk serius mempertimbangkan pembuatan protokol tailor-made di rumah sakit masing-masing dengan dasar publikasi berbasis bukti untuk meningkatan mutu dan luaran pelayanan.

Penyusun
dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., dokter alumni Universitas Gadjah Mada, saat ini sedang menempuh pendidikan dokter spesialis di Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Referensi
Andiman, S.E. et al., 2018. Decreased Surgical Site Infection Rate in Hysterectomy: Effect of a Gynecology-Specific Bundle. Obstetrics & Gynecology, 131(6), pp.991–999.

 

Dengan semakin bergesernya pola penyebaran penyakit dari penyakit menular ke penyakit kronis, penanganan penyakit kronis di Indonesia patut mendapatkan perhatian khusus. Apalagi di era JKN saat ini dimana kendali mutu kendali biaya di fasilitas kesehatan sangat gencar dipromosikan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Salah satu penyakit kronis yang sering disepelekan adalah asma dimana penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan tingkat keparahan dan penggunaan layanan kesehatan yang sebenarnya tidak perlu.

Salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Boulet et al. (2015) melalui riset yang dilakukan di Quebec, Kanada adalah dengan mengoptimalkan layanan self-management di pelayanan kesehatan primer melalui edukasi terhadap pasien. Boulet et al. (2015) membandingkan pengetahuan, utilisasi layanan astma, ketaatan pengobatan, dan penggunaan inhaler diantara 124 pasien di 6 Klinik Keluarga pada tahun 2013 sebelum dan sesudah intervensi.

Selama kurang lebih 8 bulan intervensi, Boulet et al. (2015) menemukan adanya penurunan utilisasi layanan asma dikarenakan pasien mampu untuk memanage keadaan penyakitnya sendiri. Penurunan utilisasi ini telihat lebih signifikan pada angka kunjungan yang tidak direncanakan. Penggunaan antibiotik juga menurun drastis setelah intervensi, lebih dari 50%. Disisi lain, dengan meningkatnya pengetahuan akan manajemen asma ketaatan mengkonsumsi obat juga ikut meningkat. Di akhir follow-up, lebih dari setengah responden memiliki action plan untuk penanganan penyakit mereka (Boulet et al., 2015).

Dalam studi mereka, Boulet et al. (2015) juga mengidentifikasi mengapa pengunaan layanan edukasi pasien tersebut jarang digunakan sebelumnya oleh dokter di layanan kesehatan primer. Salah satu penyebab utama adalah karena layanan edukasi yang disediakan tidak terintegrasi dengan layanan pelayanan kesehatan primer sehingga pasien harus pergi ke institusi lain dan membuat appointment. Penyebab lain adalah klinisi di layanan kesehatan primer jarang menyarankan pasien untuk mengakses layanan edukasi tersebut. Oleh karena itu menurut Boulet et al. (2015) diperlukan sinergitas yang kuat antara klinisi di layanan primer dan educator di layanan edukasi pasien. Masukan dari educator bisa menjadi pertimbangan klinisi dalam menentukan perawatan yang tepat dan efektif bagi pasien. Sebaliknya, masukan dari klinisi kepada pasien untuk memanfaatkan layanan edukasi pasien bisa lebih memotivasi pasien untuk meningkatkan self-management-nya dengan pengetahuan yang diperoleh dari layanan edukasi.

Beberapa penelitian lain juga sejalan dengan Boulet et al. (2015), self-management melalui pemanfaatan layanan edukasi pasien, untuk penyakit kronis seperti asma, dapat meningkatkan outcome perawatan sekaligus menekan biaya. Intervensi ini sejalan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia, di era JKN ini, dengan kendali mutu kendali biaya yang menjadi prioritas utama dari layanan kesehatan. Self-management harusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan, dengan memanfaatkan keberadaan layanan edukasi pasien dan promosi kesehatan, di Puskesmas dan layanan primer lainnya.

Oleh: Stevie A. Nappoe-MPH Graduate from University of Alabama at Birmingham, 2016 Fulbright Scholar.

Sumber:

Boulet, L. P., Boulay, M. E., Gauthier, G., Battisti, L., Chabot, V., Beauchesne, M. F., . . . Cote, P. (2015). Benefits of An Asthma Education Program Provided at Primary Care Sites on Asthma Outcomes. Respir Med, 109(8), 991-1000. doi:10.1016/j.rmed.2015.05.004