Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Setiap 4 September, kita memperingati Hari Leukemia Sedunia sebagai upaya kampanye global untuk meningkatkan kesadaran mengenai gejala, kondisi, dan pentingnya diagnosis leukemia. Saat ini, jumlah penderita yang terdiagnosis mencapai lebih dari 437.000 kasus baru setiap tahun. Leukemia sendiri merupakan kanker yang menyerang jaringan pembentuk darah, yaitu sumsum tulang yang ditandai dengan produksi sel darah putih abnormal secara berlebihan. Kondisi ini menyebabkan sumsum tulang dipenuhi sel-sel abnormal sehingga menghambat produksi sel darah normal yang sangat dibutuhkan tubuh.

Gejala leukemia seringkali tidak spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain. Gejalanya meliputi kelelahan, nyeri sendi, infeksi berulang, demam, sesak nafas, memar, hingga perdarahan. Oleh karena itu, kepastian diagnosis hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan jenis sel darah putih yang terlibat, leukemia dibedakan menjadi mieloid atau limfatik. Sementara itu, berdasarkan laju perkembangannya, leukemia dibedakan menjadi akut atau kronis. Penting dipahami bahwa istilah akut dan kronis tidak merujuk pada tingkat keparahan penyakit, melainkan pada kecepatan perkembangannya. Leukemia akut berkembang dengan cepat tetapi berpotensi disembuhkan dengan pengobatan standar atau transplantasi sumsum tulang. Sementara itu, leukemia kronis berkembang perlahan dalam jangka panjang dan umumnya lebih sulit disembuhkan.

Pada 2025, Hari Leukemia Sedunia mengangkat tema “What does Leukemia mean to you?” atau “Apa arti leukemia bagi Anda?”. Melalui tema ini, masyarakat diajak untuk berbagi cerita tentang bagaimana mereka memaknai leukemia, sekaligus menegaskan bahwa penyakit ini adalah kondisi serius yang penting untuk dikenali, dipahami, dan ditangani secara tepat.

Selengkapnya: https://www.worldleukemiaday.org/

 

Pendidikan tidak hanya berdampak pada peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga, tetapi juga berperan besar dalam menurunkan angka kematian anak. Sebuah penelitian besar yang dipublikasikan di The Lancet tahun 2021 menegaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin rendah risiko anak meninggal sebelum usia lima tahun. Penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu intervensi kesehatan masyarakat paling efektif.

Studi ini merupakan tinjauan sistematis dan meta-analisis terbesar yang pernah dilakukan terkait topik ini. Para peneliti menganalisis lebih dari 300 penelitian di 92 negara, mencakup data sekitar 3,1 juta kelahiran hidup. Mereka menilai bagaimana pendidikan orang tua memengaruhi angka kematian pada berbagai tahap usia anak, mulai dari periode neonatal (0–27 hari), masa bayi (1–11 bulan), hingga anak usia dini (1–4 tahun). Dengan metode meta-regresi, penelitian ini mengontrol faktor-faktor seperti tingkat ekonomi, pendidikan pasangan, dan variasi budaya untuk menghasilkan gambaran yang komprehensif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu memiliki dampak yang sangat signifikan. Anak yang lahir dari ibu dengan pendidikan menengah (setara 12 tahun sekolah) memiliki risiko meninggal 31% lebih rendah dibanding anak dari ibu tanpa pendidikan. Bahkan, setiap tambahan satu tahun pendidikan ibu dikaitkan dengan penurunan risiko kematian anak sebesar 3,04%. Temuan ini menggambarkan betapa pentingnya akses pendidikan bagi perempuan, karena mereka sering memiliki peran utama dalam pengasuhan dan kesehatan anak sehari-hari.

Meski pengaruh pendidikan ayah tidak sebesar ibu, perannya tetap signifikan. Anak dengan ayah berpendidikan menengah memiliki risiko kematian 17,3% lebih rendah, dan setiap tambahan satu tahun pendidikan ayah menurunkan risiko kematian anak sebesar 1,57%. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya urusan perempuan, melainkan faktor bersama yang memengaruhi kualitas kesehatan generasi berikutnya.

Efek perlindungan dari pendidikan orang tua juga terlihat konsisten di semua rentang usia anak. Dampaknya paling kuat setelah melewati bulan pertama kehidupan, masa kritis yang penuh risiko bagi bayi. Namun manfaatnya tetap terasa hingga usia prasekolah, menegaskan bahwa pendidikan orang tua bukan hanya memberi keuntungan jangka pendek, tetapi juga perlindungan kesehatan jangka panjang bagi anak-anak mereka.

Temuan ini membawa pesan penting bagi kebijakan publik. Pendidikan universal yang berkualitas, terutama bagi perempuan, adalah investasi kesehatan yang tidak bisa ditawar. Dengan meningkatkan akses pendidikan, negara bukan hanya membangun sumber daya manusia yang lebih produktif, tetapi juga secara langsung menyelamatkan nyawa anak-anak. Upaya mencapai target pembangunan berkelanjutan—baik dalam pendidikan (SDG 4) maupun kesehatan anak (SDG 3.2)—dapat dipercepat dengan menjadikan pendidikan sebagai strategi utama untuk menurunkan angka kematian anak secara global.

Lebih lanjut dapat dilihat pada link berikut:
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/piis0140-6736%2821%2900534-1/fulltext?utm_source=chatgpt.com 

 

 

Perkembangan teknologi kesehatan saat ini semakin erat dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan teknologi yang telah akrab dengan kita salah satunya adalah wearable devices seperti gelang kesehatan, smartwatch, dan pakaian pintar. Awalnya, wearable devices hanya populer di kalangan masyarakat umum untuk menghitung langkah atau memantau detak jantung. Namun, penggunaannya kini sudah meluas dalam penelitian biomedis, pelayanan klinis, dan pencegahan penyakit. Review Canali, Schiaffonati, dan Aliverti (2022) menunjukkan bahwa wearables memiliki empat fungsi utama, yaitu memantau kondisi tubuh, melakukan skrining awal penyakit, mendeteksi kondisi medis secara dini, dan memprediksi risiko kesehatan di masa depan. Contohnya, smartwatch dapat membantu mendeteksi detak jantung tidak normal, memantau gejala COVID-19, dan memperkirakan risiko rawat inap pada pasien penyakit paru.

Meskipun memiliki potensi besar, penggunaan wearable devices tidak lepas dari berbagai tantangan. Isu pertama berkaitan dengan kualitas data. Perbedaan sensor dan metode pengumpulan informasi membuat hasil pengukuran tidak selalu konsisten. Padahal, data yang kurang akurat dapat berakibat serius jika dijadikan dasar keputusan medis. Isu kedua berkaitan dengan masalah akurasi estimasi. Wearable devices terkadang mengalami overestimation, misalnya peningkatan detak jantung akibat flu dapat terbaca sebagai gejala COVID-19. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan pasien bahkan menambah beban bagi sistem kesehatan. Tantangan ketiga menyangkut kesenjangan akses yang ditunjukkan dengan tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan teknologi ini. Kelompok dengan kemampuan finansial dan literasi digital yang lebih baik cenderung lebih mudah memperoleh manfaat sedangkan masyarakat dengan keterbatasan akses dapat semakin tertinggal. Isu terakhir adalah keadilan dan representasi data. Saat ini, data dari wearable devices lebih banyak terkumpul dari kelompok tertentu seperti orang dewasa muda pengguna smartwatch. Sementara itu, kelompok lain seperti lansia atau anak-anak masih kurang terwakili. Akibatnya, basis data yang terbentuk dapat bias dan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi kesehatan populasi secara menyeluruh.

Temuan ini dapat menjadi pengingat bagi praktisi kesehatan bahwa wearable devices tidak hanya sekadar menjadi tren gaya hidup tetapi juga berfungsi sebagai alat medis potensial yang perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Penting untuk memastikan kualitas data terjaga, mengedukasi pasien tentang keterbatasan interpretasi data, serta mendorong kebijakan yang menjamin akses merata. Selain itu, penggunaan data juga harus diperhatikan agar informasi dapat terintegrasi dengan rekam medis elektronik sehingga memberikan manfaat maksimal dalam praktik klinis maupun kesehatan masyarakat.

Wearable devices memang membuka peluang besar menuju pelayanan kesehatan yang lebih personal, digital, dan preventif. Namun, manfaat tersebut hanya bisa tercapai jika tantangan terkait kualitas data, akurasi, kesetaraan akses, dan keadilan benar-benar diperhatikan. Praktisi kesehatan memiliki peran penting untuk menjembatani kemajuan teknologi ini agar dapat memberikan dampak positif, tidak hanya bagi kelompok tertentu tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dirangkum oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Sumber:
https://journals.plos.org/digitalhealth/article?id=10.1371/journal.pdig.0000104 

 

Dalam dunia kesehatan digital, data kesehatan adalah modal utama yang banyak digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan yang tepat. Namun, data kesehatan seringkali tersebar dalam berbagai sistem dan instansi sehingga sulit dimanfaatkan secara maksimal. Artikel terbaru oleh Mathason et al (2025) dalam jurnal Communications Medicine mengulas bagaimana data linkage—proses menghubungkan data dari berbagai sumber—dapat mengubah lanskap riset, kebijakan, dan layanan kesehatan. Rekam medis, klaim asuransi, hasil laboratorium, dan data genomik yang dapat terhubung secara aman dan lengkap dapat memudahkan peneliti memahami pola penyakit, membantu tenaga kesehatan membuat keputusan klinis yang lebih akurat, serta memungkinkan pemerintah merancang kebijakan kesehatan berbasis bukti.

Proses data linkage dilakukan dengan mengidentifikasi data yang merujuk pada orang yang sama dari berbagai sumber. Identifikasi data menggunakan beberapa metode seperti deterministic (ID unik), probabilistic (kemungkinan kecocokan), atau referential (data referensi tambahan). Data dapat berbentuk identified (dengan identitas asli) atau de-identified (dengan enkripsi untuk jaga privasi). Kunci keberhasilan data linkage terdapat pada kualitas dan standar data agar catatan bisa terhubung dengan akurat dan aman. Saat ini, data linkage salah satu contohnya telah dimanfaatkan dalam penelitian terkait virus Epstein-Barr dan risiko multiple sclerosis yang menghubungkan data medis jangka panjang dari jutaan individu.

Tantangan utama data linkage kesehatan adalah penjagaan kualitas data dan perlindungan privasi pasien. Upaya penjagaan kualitas data dan perlindungan privasi pasien dapat dilakukan dengan standarisasi format dan bantuan teknologi. Salah satu contoh standarisasi format, seperti yang dilakukan melalui inisiatif United States Core Data for Interoperability, menjadi kunci agar data dapat saling terhubung tanpa mengorbankan keamanan. Teknologi seperti Privacy Preserving Record Linkage (PPRL) memungkinkan penggabungan data tanpa membocorkan identitas pribadi sehingga riset tetap berjalan sambil menjaga kerahasiaan pasien.

Bagi praktisi kesehatan, implikasi data linkage tentunya sangat besar. Data linkage dapat membantu mengidentifikasi populasi dengan penyakit berisiko tinggi, memantau efektivitas terapi, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan memperkecil kesenjangan akses layanan di komunitas terpencil. Dalam era precision medicine, integrasi data juga dapat memandu terapi yang dipersonalisasi sesuai profil genetik dan kondisi sosial-ekonomi pasien. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan menjadi penentu keberhasilan pemanfaatan data linkage di masa depan. Tenaga kesehatan, peneliti, dan pembuat kebijakan perlu memaksimalkan kerja sama dan komunikasi yang baik untuk memastikan data terhubung dengan aman, akurat, dan bermanfaat bagi semua pihak. Hal ini dapat membuka jalan bagi layanan kesehatan yang lebih efisien, adil, dan berbasis bukti.

Dirangkum oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://www.nature.com/articles/s43856-025-00769-y