Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) sebagai momentum penting untuk meningkatkan kepedulian terhadap hak-hak anak serta memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar anak-anak Indonesia secara optimal. "Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045" Tema ini menegaskan bahwa anak-anak hari ini adalah pondasi utama dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045, yakni visi Indonesia maju di usia ke-100 tahun kemerdekaannya. Perwujudan tagline tersebut bukan hanya dalam tulisan, namun juga dalam mempersiapkan anak agar menjadi anak yang sehat. Obesitas pada anak dan remaja telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang semakin mengkhawatirkan dalam beberapa dekade terakhir.

Data tahun 2018 di negara Meksiko menunjukkan bahwa sekitar 8% anak usia 0–4 tahun, 35% anak usia 5–11 tahun, dan hampir 40% remaja usia 12–19 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. Sayangnya, sebagian besar upaya pencegahan dan intervensi masih berfokus pada perilaku individu dan belum cukup mempertimbangkan faktor budaya yang turut membentuk pola makan, gaya hidup, serta persepsi masyarakat terhadap kesehatan dan tubuh.

Penelitian yang dilakukan oleh Dutch et. al (2024) mengidentifikasi faktor-faktor sosio-budaya yang memengaruhi obesitas pada anak dan remaja di wilayah Meksiko. Dengan menggunakan kerangka kerja Sunrise Enabler Model dari teori Cultural Care, peneliti melakukan tinjauan sistematis terhadap 24 studi kualitatif yang melibatkan berbagai kelompok responden, termasuk anak-anak, remaja, orang tua, guru, staf sekolah, pedagang makanan, dan pembuat kebijakan. Studi-studi ini dianalisis untuk menggali nilai, kepercayaan, norma sosial, dan praktik sehari-hari yang berkaitan dengan obesitas anak.

Hasil kajian menunjukkan bahwa obesitas anak di Meksiko sangat dipengaruhi oleh tiga dimensi budaya utama. Pertama, nilai dan kepercayaan sosial seperti persepsi bahwa tubuh gemuk menandakan anak sehat masih banyak dianut oleh keluarga. Kedua, kebiasaan makan keluarga—termasuk konsumsi makanan cepat saji, porsi besar, dan penggunaan makanan sebagai simbol kasih sayang—mendorong pola konsumsi berisiko. Ketiga, pengaruh sosial seperti tekanan teman sebaya, ekspektasi masyarakat, dan kebijakan sekolah memengaruhi keputusan makan dan aktivitas fisik anak.

Penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan yang sensitif terhadap budaya dalam mengatasi obesitas anak dan remaja. Alih-alih hanya menyasar perubahan perilaku individu, strategi pencegahan perlu memperhatikan struktur sosial dan nilai budaya yang sudah mengakar. Misalnya, pelibatan keluarga dalam edukasi gizi, pelatihan pedagang makanan di sekitar sekolah, serta kampanye kesehatan yang tidak bertentangan dengan identitas budaya lokal akan lebih efektif dalam menciptakan perubahan berkelanjutan.

Sebagai kesimpulan, studi ini memberikan wawasan mendalam bahwa budaya bukan sekadar latar belakang, melainkan bagian integral dari masalah obesitas anak di Meksiko. Intervensi yang memperhitungkan konteks sosial dan budaya tidak hanya akan lebih diterima oleh masyarakat, tetapi juga berpotensi memberikan dampak yang lebih besar dalam jangka panjang. Oleh karena itu, upaya pencegahan obesitas perlu dirancang secara holistik, dengan memadukan pendekatan medis, edukatif, dan budaya secara seimbang.

Selengkapnya dapat diakses mengakses:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/38192203/ 

 

Hari Palang Merah Indonesia (PMI) yang diperingati setiap 17 September merupakan peringatan untuk menghargai dedikasi para relawan dalam terbentuknya organisasi PMI. Palang Merah Indonesia (PMI) adalah organisasi kemanusiaan nasional yang berdiri pada 17 September 1945 di bawah kepemimpinan Drs. Mohammad Hatta. PMI bekerja dengan prinsip kemanusiaan, kesetaraan, netralitas, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan. PMI juga menjadi bagian dari Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Sejak awal berdiri, PMI memiliki peran aktif dalam memberikan bantuan bagi korban pasca perang di Indonesia. Saat ini, PMI terus hadir dalam layanan kemanusiaan mulai dari penanggulangan bencana, layanan kesehatan, dan transfusi darah. Melalui jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia, PMI juga mendorong partisipasi masyarakat melalui kegiatan donor darah dan pelatihan relawan kesehatan. Kegiatan ini tidak hanya berperan untuk menyelamatkan nyawa tetapi juga menumbuhkan solidaritas kemanusiaan.

Hari PMI sejatinya juga dapat menjadi pengingat bahwa setiap orang dapat berkontribusi dalam aksi kemanusiaan. Misalnya bagi tenaga kesehatan, Hari PMI dapat menjadi pengingat untuk terus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang manfaat donor darah serta membangun kepercayaan melalui pelayanan yang ramah dan profesional. Sementara itu bagi masyarakat umum, peringatan ini adalah ajakan untuk terus berpartisipasi aktif dalam aksi kemanusiaan sederhana yang berdampak besar bagi sesama. Mari, rayakan Hari PMI dengan ikut terlibat, mendukung, dan menyebarkan semangat kemanusiaan!

Selengkapnya: https://www.pmi.or.id/ 

 

Setiap tanggal 17 September diperingati sebagai Hari Keselamatan Pasien Sedunia atau World Patient Safety Day. Tahun ini, peringatan difokuskan pada upaya memastikan perawatan yang aman bagi bayi baru lahir dan anak-anak, kelompok yang paling rentan terhadap risiko kesehatan. Tema yang diangkat WHO pada 2025 adalah "Safe care for every newborn and every child" atau "Perawatan aman bagi setiap bayi baru lahir dan setiap anak". Slogannya, "Patient safety from the start!", menekankan pentingnya mencegah risiko sejak anak dilahirkan hingga usia 9 tahun.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Chang (2025) meneliti faktor-faktor yang memengaruhi kesediaan orang tua anak yang pernah dirawat di rumah sakit untuk berpartisipasi dalam keselamatan pasien. Dengan studi cross-sectional di Korea, melibatkan 210 orang tua yang anaknya berusia 3-18 tahun dan dirawat di rumah sakit dalam satu tahun terakhir. Responden disurvei menggunakan kuesioner tertutup yang mengukur beberapa variabel: pengetahuan keselamatan pasien (patient safety knowledge), literasi keselamatan pasien (patient safety literacy), pengalaman rawat inap anak (children’s hospitalization experience), serta keinginan orang tua untuk ikut andil dalam keselamatan pasien. Analisis data mencakup statistik deskriptif, korelasi, hingga regresi hierarkis.

Hasil menunjukkan bahwa rata-rata skor keinginan untuk terlibat dalam keselamatan pasien adalah 62,96 dari skala 19-76, menandakan tingkat yang relatif moderat. Rata-rata skor pengetahuan keselamatan pasien adalah sekitar 34,89 dari 50 sedangkan literasi keselamatan pasien sekitar 3,01 dari 4. Variabel pengalaman rawat inap anak, khususnya komunikasi antara petugas dengan orang tua & anak, perhatian terhadap keselamatan dan kenyamanan selama rawat inap, dan lingkungan rumah sakit juga diukur.

Analisis korelasi memperlihatkan bahwa ada korelasi positif kuat antara keinginan orang tua untuk berpartisipasi dengan pengetahuan keselamatan pasien (r = 0,36, p < 0,001), literasi keselamatan pasien (r = 0,24, p < 0,001), komunikasi dengan orang tua (r = 0,27, p < 0,001), komunikasi dengan anak (r = 0,14, p = 0,035), serta perhatian terhadap keselamatan dan kenyamanan anak ketika dirawat (r = 0,25, p < 0,001). Namun korelasi tidak signifikan ditemukan antara keinginan partisipasi dan variabel seperti penilaian keseluruhan rumah sakit (global rating) serta lingkungan rumah sakit dalam beberapa aspek.

Dalam analisis regresi hierarkis, beberapa faktor muncul sebagai prediktor yang signifikan terhadap keinginan orang tua untuk ikut memastikan keselamatan pasien anaknya. Faktor-faktor tersebut antara lain: kelahiran anak yang dirawat (anak sulung lebih cenderung membuat orang tua berpartisipasi dibanding anak ketiga), pengetahuan keselamatan pasien yang lebih tinggi, komunikasi dengan anak selama rawat inap (uniknya, semakin besar komunikasi dengan anak justru berkorelasi negatif terhadap keinginan orang tua), dan perhatian terhadap keselamatan & kenyamanan selama rawat inap.

Penelitian juga menemukan bahwa beberapa karakteristik demografis seperti usia orang tua, jenis kelamin, dan usia anak secara keseluruhan kurang berpengaruh setelah variabel-variabel lain diperhitungkan, meskipun pada analisis awal terlihat bahwa orang tua yang berusia muda (19-39 tahun) dan laki-laki memiliki skor keinginan yang lebih tinggi dibanding kelompok lainnya. Tetapi setelah memasukkan faktor-pengetahuan dan pengalaman rawat inap, pengaruh usia dan jenis kelamin menjadi tidak signifikan.

Dalam diskusi, para penulis menyoroti bahwa keinginan partisipasi orang tua dalam keselamatan pasien anak tidak hanya dipengaruhi oleh atribut demografis, tetapi lebih oleh pengalaman konkret selama rawat inap dan pemahaman mereka terhadap keselamatan pasien. Mereka mencatat bahwa perhatian terhadap detail-detail seperti verifikasi identitas pasien, penanganan nyeri, kenyamanan, serta interaksi komunikasi yang baik antara staf medis dengan pasien anak dan orang tua dapat meningkatkan kesediaan orang tua untuk aktif.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini menegaskan perlunya pengembangan program edukasi keselamatan pasien yang ditujukan kepada orang tua anak-anak yang dirawat di rumah sakit, dengan memperhatikan faktor-faktor seperti siapa anak yang dirawat (apakah anak sulung atau bukan), bagaimana rumah sakit memastikan kenyamanan & keamanan, serta bagaimana komunikasi dijalankan — termasuk komunikasi dengan anak. Institusi kesehatan dan pembuat kebijakan disarankan untuk merancang intervensi dan kampanye agar partisipasi orang tua dalam keselamatan pasien anak menjadi lebih aktif dan efektif.

Lebih lanjut dapat dilihat pada link berikut: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/39802345/ 

 

Pekan Peduli Hepatitis B berlangsung mulai tanggal 4 hingga 12 September 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan Hepatitis B, yang menjadi salah satu penyakit menular serius di Indonesia. Tema tahun 2025 “Hepatitis: Let's Break It Down" mengajak tindakan segera untuk menghilangkan hambatan finansial, sosial, dan sistemik guna memberantas hepatitis. Dalam praktiknya, masyarakat miskin dan marjinal menghadapi tantangan besar dalam mengakses layanan kesehatan hepatitis B, mulai dari skrining, vaksinasi, pengobatan hingga tindak lanjut klinis, yang menyebabkan kesenjangan sehat yang signifikan di banyak negara.

Penelitian yang dilakukan oleh LI et al. (2024) membahas kesenjangan akses layanan hepatitis B di kalangan masyarakat miskin dan marjinal, seperti migran tidak resmi, tunawisma, pekerja seks, serta kelompok dengan status sosial ekonomi rendah. Studi ini merupakan tinjauan sistematis metode campuran (mixed-method) dari 21 penelitian yang melibatkan lebih dari 13 ribu orang. Hasilnya menunjukkan cakupan vaksinasi hepatitis B minimal satu dosis hanya sekitar 37%, sedangkan angka skrining, pengobatan, dan keterhubungan dengan layanan perawatan (linkage-to-care) bahkan lebih rendah, yakni di bawah 30%. Hal ini menegaskan bahwa kelompok paling rentan justru masih jauh tertinggal dalam upaya pencegahan dan penanganan hepatitis B.

Analisis mendalam mengidentifikasi 51 faktor yang memengaruhi akses layanan, yang dikategorikan dalam beberapa domain: biologis, lingkungan fisik, perilaku, sosial-budaya, dan sistem layanan kesehatan. Faktor biologis mencakup riwayat penyakit menular lain seperti HIV atau sifilis yang mendorong individu untuk lebih waspada sehingga cenderung mencari vaksinasi atau pengobatan. Sementara itu, faktor lingkungan fisik antara lain mobilitas kerja musiman, kondisi tempat tinggal yang tidak menetap, serta keterbatasan fasilitas kesehatan di daerah terpencil yang menghambat kesinambungan layanan.

Dalam domain perilaku, pengalaman pribadi dengan skrining penyakit menular sebelumnya serta keyakinan akan risiko terinfeksi terbukti meningkatkan motivasi untuk mengakses layanan hepatitis B. Sebaliknya, strategi koping negatif seperti sikap tidak percaya pada sistem kesehatan atau keyakinan bahwa kondisi tanpa gejala tidak memerlukan perawatan justru menghambat penyelesaian vaksinasi maupun pengobatan. Persepsi yang keliru, seperti anggapan penggunaan kondom sudah cukup melindungi, juga memperlemah partisipasi dalam layanan.

Faktor sosial-budaya memainkan peran besar dalam memperparah hambatan. Status imigrasi, riwayat pemenjaraan, stigma terhadap hepatitis B, diskriminasi, dan rendahnya tingkat pendidikan menjadi kendala utama. Populasi dengan status hukum tidak jelas sering takut mengakses layanan karena khawatir dilaporkan ke otoritas, sementara stigma dari masyarakat bahkan tenaga kesehatan membuat penderita enggan menjalani skrining atau terapi. Ketidaksetaraan gender pun berperan, misalnya perempuan pekerja seks dengan pengalaman kerja singkat cenderung menyelesaikan vaksinasi lebih rendah dibandingkan yang lebih lama bekerja.

Pada level sistem kesehatan, tantangan yang ditemukan antara lain rendahnya literasi tentang hepatitis B, biaya langsung maupun tidak langsung, kurangnya layanan yang ramah bagi kelompok marjinal, jadwal layanan yang kaku, serta minimnya rekomendasi aktif dari tenaga medis. Hambatan biaya seringkali membuat pasien tidak mampu melanjutkan pengobatan, sementara keterbatasan pengetahuan menyebabkan banyak orang tidak menyadari pentingnya vaksinasi atau lokasi layanan yang tersedia.

Sebagai kesimpulan, studi ini menekankan bahwa kesenjangan layanan hepatitis B bagi populasi miskin dan marjinal masih sangat besar, padahal mereka merupakan kelompok berisiko tinggi. Untuk menutup jurang ini, diperlukan intervensi terintegrasi seperti penyediaan layanan mobile di komunitas, penyuluhan yang sesuai konteks budaya, penghapusan hambatan biaya, serta kebijakan berbasis hak asasi agar status hukum maupun kondisi sosial tidak menjadi penghalang. Upaya semacam ini tidak hanya akan meningkatkan cakupan skrining dan vaksinasi, tetapi juga memperkuat retensi dalam pengobatan hepatitis B di kelompok yang paling membutuhkan.

sumber: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/40709345/