Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan oleh: Armiatin SE.,MPH

Komite/lembaga penelitian kedokteran di Amerika, baru saja merilis laporan tentang strategi penjaminan mutu untuk program Medicare. Laporan ini difokuskan kepada pelayanan kesehatan yang diterima oleh para peserta Medicare dari kalangan lanjut usia (lansia). Adanya Kenaikan jumlah lansia dengan penyakit kronis dan kondisi disabilitas dianggap perlu untuk meningkatkan perawatan yang dikelola dengan baik, bermutu tinggi secara teknis dan mendukung pada dekade mendatang.

Program penjaminan mutu medicare yang sukses seharusnya mampu merespon faktor-faktor tersebut secara fleksibel. Kegiatan yang sudah dilakukan oleh medicare untuk menjamin mutu pelayanan bagi lansia adalah dengan mengadakan Program PRO (peer-review organization). Konsep dan perangkat praktis yang digunakan untuk penjaminan mutu medicare yaitu dengan menggunakan pengukuran model Donabedian.

Model Donabedian dalam Program PRO digunakan dengan menitik beratkan upaya-upaya internal yang berbasis organisasi, dipimpin secara profesional untuk memperbaiki banyak proses-proses perawatan kecil dalam siklus penelitian dan perubahan tanpa henti.

Namun demikian analisa menunjukan bahwa program tersebut tidak berjalan dengan baik. Beberapa area tantangan dalam memperbaiki program tersebut adalah: 1) metode dasar peninjauan dan penjaminan mutu, 2) aplikasi teknik-teknik penjaminan mutu dan peningkatan mutu berkelanjutan, 3) penyebaran informasi untuk meningkatkan kinerja petugas pelayanan kesehatan, 4) melatih para petugas dalam hal kompetensi melakukan riset dan dalam teknik penjaminan mutu dan peningkatan berkelanjutan.

Rekomendasi yang diberikan oleh komite penelitian untuk menghadapi persolan program peer review organization ini adalah : 1) Kongres merestrukturisasi program PRO yang sudah ada, 2) memperbaiki fungsi-fungsinya, dan 3) menjalankan program-program baru (medicare program to assure quality, atau MPAQ).

Menghadapi rendahnya akuntabilitas dan perhatian publik, lembaga/komite kedokteran juga menganjurkan kepada kongres program PRO untuk membuat dua kelompok penasehat yaitu 1). Komisi penasehat program kualitas yang mirip dengan komisi kongres pembayaran prospektif Medicare untuk pembayaran rumah sakit dan dokter, 2) Dewan nasional pada penjaminan mutu Medicare, 3) Kongres mengelola dana secara tepat untuk pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi yang telah disebutkan sebelumnya.

Referensi :

Special Report : A Strategy For Quality Assurance in Medicare. The New England Journal of Medicine.

 

Oleh: Eva Titabayu Hasri S.kep.,MPH

Setiap negara mempunyai berbagai macam asuransi kesehatan, hal ini dilakukan untuk menjaga dan memberi pelayanan kesehatan bagi masyarakat sehingga layanan kesehatan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Di amerika serikat terdapat program jaminan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah yang berdiri pada tahun 1965. Program jaminan kesehatan ini merupakan asuransi kesehatan wajib bagi penduduk lanjut usia atau lansia, penderita cacat dan penderita gagal ginjal yang dikenal dengan Medicare dan Medicaid yaitu program bantuan pemerintah pusat dan daerah dalam jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.

Tahun 2000, pengelola pembiayaan layanan kesehatan (pusat layanan untuk Medicare & Medicaid) melaporkan 24 indikator kualitas perawatan yang diterima oleh para peserta. Laporan ini menyediakan data mutu perawatan yang diberikan pada tahun 2000-2001 dan perbandingan dengan data dasar tahun 1998-1999. Indikator-indikator dipilih secara khusus untuk mengukur pemberian layanan dalam mencegah atau mengobati kanker payudara, diabetes, infark miokard, gagal jantung, pneumonia dan stroke.

Hasil analisa menunjukkan bahwa sebesar 21% pasien AMI tidak diberikan betabloker meski tidak ada kontraindikasi. 13 % pasien dengan Pneumonia masih menunggu lebih dari 8 jam untuk mendapat antibiotik. Sebaliknya pasien yang mendapat Nifedipen sublingual turun dari 77% menjadi 1%. Hal ini mengharuskan perlunya dilakukan perbaikan system.

Medicare dan medicaid bersama join komisi akreditasi telah memodifikasi indikator kinerja mereka agar rumah sakit yang ada di Amerika serika serikat tidak kalah bersaing dengan perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat sehingga tercapai kesehatan yang berkualitas ke arah yang lebih cepat dan tepat.

Referensi:
Jenckes. Sf et al. 2003. Change in the Quality of care Delivered to Medicare Beneficiaries, 1998-1999 to 2000-2001. Volume 289 No 3.

Oleh: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Pemerintah Amerika sejak tahun 1981 menerapkan The DRG-Based Prospective Payment System (PPS) dan tahun 1986 telah dilakukan evaluasi efek diagnosis sehubungan The DRG-Based Prospective Payment System (PPS) terhadap kualitas perawatan untuk pasien-pasien rawat inap Medicare. Prospective Payment System (PPS) yaitu cara pembayaran kepada rumah sakit berdasarkan jumlah yang sama rata untuk per pasien masuk (dirawat) yang dihitung masing-masing sekitar 470 grup berdasarkan diagnosis. Hasil setelah diterapkanya Prospective Payment System adalah (1) lama dirawat berkurang; (2) proses pelayanan perawatan yang lebih baik (misalnya perubahan dalam dokumentasi rekam medis, kemungkinan kecil mengalami bias untuk diagnosis dan terapi); (3) para profesional dapat meningkatkan perawatan yang diberikan; (4) mutu pelayanan medis meningkat baik dari rumah sakit, dokter, dan para petugas kesehatan lainnya; (5) meningkatnya ketidakstabilan pasien saat dipulangkan yang mana berisiko kematian lebih besar dan memerlukan lebih banyak dukungan keluarga; (6) berakibat negatif pada penurunan hasil keseluruhan perawatan pasien Medicare yang dirawat di rumah sakit.

Rekomendasi yang disarankan dalam penelitian Katherine et al (1990) adalah (1) Mengintensifkan upaya perbaikan dan pemantauan klinis untuk memastikan bahwa perubahan Prospective Payment System tidak berakibat negatif terhadap hasil perkembangan pasien; (2) Melakukan peninjauan implisit terstruktur (proses penanganan oleh dokter & asuhan keperawatan, kesesuaian penggunaan layanan rumah sakit, prognosis pasien, treatment dari kondisi pasien pencegahan kematian ketika terjadi, mutu hasil dan penilauan secara keseluruhan terhadap mutu pelayanan yang diberikan selama rawat inap) sebagai metode pengukuran mutu pelayanan medis yang dinilai baik untuk diberikan kepada pasien Medicare; (3) harus ada penilaian yang lebih sistematis mengenai kondisi pasien saat meninggalkan rumah sakit dan saat mendapatkan perawatan baik rawat jalan atau rawat inap di pelayanan kesehatan

Referensi :
Katherine L (1990). A Summary of the Effects of DRG-Based Prospective Payment System on Quality of Care for Hospitalized Medicare Patients.

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-20mei-3Infeksi luka operasi merupakan urutan ketiga terbesar yang menyebabkan infeksi nosokomial. Lebih dari 15 juta prosedur pembedahan yang diselenggarakan di AS setiap tahunnya, sekitar 750.000 di antaranya muncul SSI sehingga menjadi kerugian langsung dan tak langsung bagi pasien maupun sistem pelayanan kesehatan. Selain itu infeksi luka operasi memperpanjang masa perawatan di rumah sakit (7-10 hari pasca operasi) sehingga meningkatkan biaya perawatan antara 10-20 %.

Cause

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Infeksi Luka Operasi

Patient characteristic

 

 

 

 

  • Diabetes
  • Perokok
  • Konsumsi steroid
  • Malnutrisi
  • Lamanya tinggal di RS sebelum operasi
  • Preoperative nares colonization
  • Transfusi sebelum operasi

Operative characteristic

(Intra operative issue)

  • Preoperative antiseptic showering
  • Preoperative hair removal
  • Patien skin preparation in the operatinroom
  • Preoperative hand/ foreams antisepsis
  • Management of infected or colonized surgical personal
  • Antibiotic prophylaxis

Operative characteristic

(Intra operative issue)

  • Operating room environment
  • Surgical attire and drapes
  • Asepsis and surgical tecnique

Operative characteristic

(Post operative issue)

  • Incision care
  • Discharge planning
sumber Mangram et al (1999)

World Aliance for patient safety (2005) menyatakan bahwa waktu terjadinya infeksi luka operasi sebagian besar ditemukan setelah hari ke tujuh pada saat pasien kontrol ke poliklinik atau kunjungan kerumah pasien dan hari ke tiga saat pasien rawat inap. Dan penelitian Johnson et al. (2006) menjelaskan tipe infeksi luka operasi yang biasa terjadi adalah infeksi luka operasi superficial (ciri-ciri nyeri dan sakit pada daerah pembedahan, luka kemerahan dan bengkak) dan Infeksi luka operasi deep incisional (ciri-ciri kemerahan, sakit pada daerah pembedahan, jahitan terbuka dan adanya pus).

Tabel. Pencegahan Infeksi Luka Operasi

NICE

SHEA/IDSA

Preoperative phase

  • Patient showering and hair removal
  • Patient and staff theatre wear
  • Movement to and from theatre area
  • Nasal decontamination (do not use mupirocin routinely)
  • Mechanical bowel preparation (not routine)
  • Patient and staff jewellery
  • Antibiotic prophylaxis (which patients, when and number of doses)

Intraoperative phase

  • Hand decontamination
  • Incise drapes
  • Gowns and gloves
  • Antiseptic skin preparation and diathermy
  • Patient homeostasis (oxygenation, normothermia, etc.)
  • Wound irrigation and dressings
  • Antiseptics before closure

Postoperative phase

  • Dressings
  • Postoperative cleansing of surgical site
  • Topical agents (not indicated)
  • Antibiotic treatment and debridement for SSI
  • Specialist wound care services

Surgical Care Improvement Project

  • Proper hair removal
  • Controlling blood glucose
  • Maintain norm othermia

Infrastructure

  • Trained personnel
  • Education

Computer-assisted decision support and automated reminders

Antimicrobial prophylaxis

Measure and provide feedback on process measures,e.g. hair removal

Accountability

  • Chief executive responsible for support
  • Senior management ensures adequate
  • personnel and perform job responsibilities
  • Healthcare workers responsible for their practices

Non-routine approaches

Vancomycin not routine for antimicrobial prophylaxis

  • Don’t delay surgery for parenteral nutrition

Unresolved issues

Preoperative bathing with chlorhexidine

  • Positive screening for, and decolonisation of, MRSA
  • Supplemental oxygenation for colorectal

Procedures

Maintaining normothermia after colorectal surgery

Sumber : (Humphreys, 2009)

Surgical Safety Checklist (SSC) milik WHO telah memperlihatkan penurunan tingkat SSI, komplikasi dan mortalitas. Haynes et al (2009) menunjukkan bahwa penerapan checklist dengan 19 item dalam periode perioperatif telah meningkatkan pengaturan waktu yang tepat untuk infusi antibiotik dari 56% menjadi 83% dengan pengurangan SSI secara signifikan dari 6,2% ke 3,4%.

Centers for Medicare and Medicaid Services mengembangkan Surgical Care Improvement Project (SCIP) dengan tujuan untuk mengurangi tingkat SSI hingga 10 %. Penilaian ukuran SCIP menggunakan pendekatan yang melibatkan multibidang seperti pengaturan waktu yang tepat untuk infusi antibiotik (SCIP Inf1), antibiotic selection (SCIP Inf2), penghentian secara tepat untuk antibiotik prophylactic (SCIP Inf3), appropriate hair removal method (SCIP Inf6), dan maintenance of perioperative normothermia (SCIP Inf10) dan euglycemia (SCIP Inf4).

Tabel. SCIP Inf performance measures verbally addressed in the Scott and White Surgical Safety Checklist

SSC Section

SCIP Inf performance measures

Verbal verification by surgical team

Check in

Inf-10 perioperative temperature management

Estimated time for procedure

Sign in

Inf-10 perioperative temperature managemen

Risk of hypothermia (operation > 1 h)

Time Out

Inf-2 antibiotic selection

Appropriate antibiotic ordered

Time Out

Inf-1 antibiotic timing

Antibiotic given within 60 min of incision (except vancomycin 120 min)

Matthew et al (2013) menemukan bahwa SSC dengan ukuran kinerja mutu SCIP Inf meningkatkan persepsi komunikasi dan tindakan tim bedah dalam hal menghasilkan penurunan jumlah pasien hipotermia pada saat tiba di PACU (Post-anesthesia Care Unit). Penurunan SSI yang signifikan terlihat pada kelompok subspesialis bedah kolorektal dibanding bedah yang lain (cardiac, general, gynecologic, thoracic, vascular, orthopedic).

Kesimpulannya, penelitian Matthew et al (2013) menyatakan bahwa menggabungkan strategi SSI tertentu dengan standar SSC efektif untuk meningkatkan kinerja mutu. Selain itu seiring dengan perkembangan pelayanan kesehatan menuju program-program (pay-for-performance, for-value type programs), checklist yang menggabungkan ukuran kinerja dengan mutu proses perawatan akan menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan reimbursement.

Referensi :

Merina, CH. (2011). Penggunaan Surgical Safety Checklist WHO pada Prosedur Penatalaksanaan Pembedahan di Kamar Operasi BLUD Meuraxa Kota Banda Aceh. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Matthew Tillman, et al (2013). Surgical Care Improvement Project and Surgical Site Infection : Can Integration in The Surgical Safety Checklist Improve Quality Performance and Clinical Outcomes. Journal of surgical research.