Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Penulis: Sabar P Siregar (Praktisi Psikiater dan Dokdiknis di RSJ Prof dr Soeroyo Magelang)

Batasan usia seseorang masuk kelompok Lanjut Usia (Lansia) telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia membuat batasan lansia mulai usia 60 tahun. Sementara WHO (2013) mengatakan lansia adalah seseorang yang memiliki usia sejak 55 tahun dan lebih. Di sisi lain ada literatur yang menyampaikan bahwa otak manusia mulai mengalami pengecilan sejak seseorang berusia 50 tahun karena mengalami proses kemunduran (degenerasi).

Saat proses awal degenerasi ini tidak menunjukkan dampak yang bermakna dalam fungsi keseharian, karena sel-sel otak yang masih ada mampu mengambil alih fungsi dari sel-sel otak yang mengalamai degenerasi. Kalaupun ada dampak, keadaan itu sering dimaknai sebagai hal yang wajar bagi seseorang seiring dengan bertambah lanjutnya usia, misalnya bertambah lambat dalam melakukan beberapa fungsi sehari-hari namun secara umum masih dapat diterima lingkungan.

Tetapi proses degenerasi terus berlanjut, sehingga pada suatu fase tertentu, sel-sel otak yang tersisa tidak mampu lagi menjalankan fungsi sel-sel yang sudah mengalami degenerasi maka tampaklah manifestasi akibat terjadinya degenerasi sel-sel otak yaitu berupa terganggunya kemampuan melaksanakan fungsi untuk kehidupan sehari-hari. Tidak mampu lagi melakukan dengan leluasa beberapa kegiatan sehari-hari yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah.

Secara umum terjadi proses degenerasi sel-sel otak pada setiap lansia dan proses degenerasi ini tentunya mempengaruhi kapasitas fisiologis dan psikologis seorang lansia. Penanda sudah terjadinya degenerasi bukan pada tampilan organ atau organisma saat istirahat akan tetapi bagaimana organ atau organisme tersebut dapat beradaptasi terhadap perubahan (stres) yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Kemampuan adaptasi pada masing-masing lansia berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan ini disebabkan salah satunya adalah bagaimana gaya hidup lansia dimasa lalunya.

Perubahan, baik dalam diri dan lingkungan lansia, senantiasa terjadi secara berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu perubahan yang terjadi secara masif adalah bidang digitalisasi yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Hal itu tidak dapat dihindari. Perubahan-perubahan ini sangat membutuhkan kondisi fisiologis dan psikologis yang harus selalu adaptif. Sementara itu secara alamiah pada lansia terjadinya proses degenerasi mendasari penurunan fungsi fisiologis dan psikologis dan tentunya mempengaruhi kemampuan adaptasi seorang lansia baik secara kapasitas dan kecepatan.

Saat pelayanan di poliklinik, penulis mendengarkan keadaan kondisi seorang guru. Usia yang bersangkutan masuk kategori lansia menurut WHO (2013), menghendaki pensiun dini. Dari pemeriksaan dengan wawancara klinis, penulis mendapatkan informasi bahwa alasan utama untuk minta pensiun dini adalah tuntutan kerja di kantor saat ini yang mengharuskan memakai komputer. Guru tersebut mengalami beberapa hambatan, terutama sistem penglihatannya, saat menggunakan komputer. Sering merasa silau dengan monitor komputer dan hurufnya terlalu kecil, apalagi menggunakannya terus menerus setiap hari dan hampir sepanjang jam kerja. Selain masalah penglihatan, masalah lainnya adalah seringnya ada perubahan-perubahan program komputer dikantor yang menuntut kecepatan dan ketepatan. Perubahan begitu cepat terjadi.

Masalah bertambah berat saat era new normal ini, karena pandemi maka pembelajaran banyak menggunakan media digitalisasi. Sesungguhnya beberapa lansia menyadari perubahan memang harus terjadi dan tidak menolak perubahan akan tetapi kapasitas fisiologis dan psikologis yang dimiliki beberapa orang lansia tidak cukup untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan saat ini.

Adanya perbedaan kemampuan adaptasi pada masing-masing lansia, akan mempengaruhi bagaimana seorang lansia menghadapi perubahan-perubahan lingkungan yang selalu dan pasti akan terjadi. Respon adaptasi yang sering ditemukan pada masa lalu adalah bertarung atau menyerah. Sistem organ pendukung dan pengendali untuk respon adaptif bertarung atau menyerah tersebut masih tetap sama. Namun perilaku adaptasi bertarung atau menyerah ini, berubah total sesuai dengan tuntutan lingkungan modern yang memaksa manusia harus berperilaku berlawanan dengan respon biologis yang sudah diturunkan dari masa lalu.

Bentuk respon bertarung modern dapat dalam bentuk: marah, argumentatif, agresif. Sementara respon menyerah modern adalah: penarikan sosial, penyalahgunaan zat, promiskuitas dan menonton bola terus menerus.

Selain respon adaptif bertarung atau menyerah, kemampuan adaptasi lansia juga dipengaruhi bagaimana karakter (pribadi). Tipe karakter sangat dipengaruhi nature dan nuture karena ke-dua faktor tersebut saling berinteraksi selama kehidupan. Hasil interaksi faktor bawaan dan pengalaman membentuk karakter (pribadi) seseorang. Faktor bawaan dan pengalaman setiap orang berbeda sehingga karakter masing-masing orang juga berbeda walaupun ada kemiripan. Jadi karakter tidak terbentuk dalam waktu singkat tapi prosesnya sepanjang kehidupan. Misal ada yang tinggal di lingkungan atau situasi yang sama, namun ada yang terpengaruh oleh lingkungannya ada yang tidak.

Secara kultur gambaran karakter seorang lansia adalah seseorang yang bijak, tenang dan dapat mengendalikan emosi secara penuh dalam kesehariannya dan gambaran ini menjadi teladan bagi yang berusia lebih muda. Tentu tidak semua lansia memiliki karakter seperti gambaran kultur tersebut.

Beberapa tipe karakter pada lansia:

  1. Tipe konstruktif: seseorang dengan tipe ini memiliki integritas baik, dapat menikmati hidup, toleransi tinggi, humoris, fleksibel, tahu diri, dapat menerima fakta proses menua dan dimasa pensiunnya dapat hidup dengan tenang.
  2. Tipe ketergantungan: tipe ini secara umum masih dapat diterima ditengah masyarakat, walau tipe ini pasif, tidak berambisi tapi tipe ini masih tahu diri walau tidak praktis. Biasanya dikuasai istri, senang pensiun, banyak makan dan minum, tidak suka bekerja dan senang berlibur.
  3. Tipe defensif: ciri tipe ini adalah adanya riwayat pekerjaan/jabatan tidak stabil, selalu menolak bantuan. Sisi emosi sering tidak dapat dikontrol, memegang teguh kebiasaan, kompulsif aktif, takut menghadapi “menjadi tua”, tidak menyenangi masa pensiun.
  4. Tipe bermusuhan: karakter tipe ini sering menganggap orang lain sebagai peyebab kegagalan, selalu mengeluh, agresif, curiga, riwayat pekerjaan tidak stabil, menganggap tidak ada hal baik jika menjadi tua, takut mati, juga iri hati sama yang muda dan senang mengadu untung.
  5. Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri: bersifat kritis dan sering menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai ambisi, sehingga kondisi sosio-ekonomi menurun. Biasanya mempunyai pernikahan tidak bahagia, mempunyai sedikit “hobby”, merasa menjadi korban dari keadaan tapi tidak iri hati pada yang muda, merasa sudah cukup dengan apa yang ada, menganggap kematian merupakan kejadian yang membebaskan diri dari penderitaan sehingga tipe ini memiliki risiko bunuh diri tinggi dibanding tipe lainnya.

Penulis belum menemukan sumber yang menunjukkan secara pasti distribusi pola sebaran tipe-tipe karakter tersebut di populasi umum. Tapi dengan memahami tipe-tipe karakter tersebut maka ketika ada keadaan yang mengharuskan berinteraksi dengan tipe karakter tertentu seperti di atas, dapat menghadapi lansia dengan lebih tepat. Pada era new normal ini, banyak terjadi perubahan-perubahan lingkungan. Kebijakan-kebijakan baru dibuat untuk menghindari dampak pandemi yang menyerang hampir semua negara yang ada di dunia ini. Dapat dipastikan kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak akan dapat diterima semua pihak walau sesungguhnya kebijakan itu dibuat untuk kepentingan semua pihak.

Untuk lansia dengan tipe konstruktif tentu dapat menerima era nature dan nuture ini dan mau bekerjasama untuk mencegah dampak pandemi bahkan mau terlibat mensosialisasikan kebijakan-kebijakan.

Tipe ketergantungan mungkin dapat menikmati supaya tinggal di rumah saja. Berbeda dengan tipe konstruktif walau tinggal di rumah tetap dapat membuat kegiatan berguna. Era new normal ini bagi tipe ketergantungan seakan-akan membenarkan karakter mereka selama ini. Hidup datar-datar saja, tidak menolak kebijakan tapi tidak mendukung seperti tipe konstruktif.

Tipe defensif adalah tipe yang sisi emosionalnya dominan dan sulit untuk menerima perubahan-perubahan (kebijakan) apapun alasannya. Apalagi kalau ada informasi, walau tidak ada bukti yang dapat dipertanggung jawabkan tentang informasi yang didapat, yang mendukung pendapatnya maka tipe ini akan makin yakin dengan pendapatnya. Tentu tipe ini sangat membutuhkan pendekatan dan usaha ekstra keras untuk mau menerima program vaksinasi untuk lansia.

Tipe bermusuhan dapat membingungkan pihak yang mau menolong, karena niat mau menolong dari pihak yang menolong disalah artikan dari tipe bernusuhan ini. Sering mengeluh takut mati tapi ketika diberi pertolongan menolak. Saat pandemi seperti sekarang ini mungkin bagi tipe ini sulit untuk menerima kebenaran informasi apalagi jika yang menyampaikan informasi tersebut berusia lebih muda dari dirinya.

Tipe membenci/menyalahkan diri sendiri, merupakan tipe yang sering salah menilai dirinya sendiri sehingga cenderung bersikap apatis. Sudah merasa cukup dengan keadaannya sekarang. Tipe ini dapat menganggap dirinya adalah korban dari keadaan. Jadi disaat pandemi ini tipe ini menganggap diri mereka tidak ada guna bahkan tidak memperdulikan dirinya jika meninggal. Sehingga ketika ada kebijakan-kebijakan yang terkait pandemi tipe ini cenderung tidak mau tau.

Tipe karakter bukan sesuatu yang setiap waktu dalam kehidupannya akan seperti itu terus menerus, tapi tipe-tipe ini merupakan gambaran dominan seseorang dalam berinteraksi menjalani kehidupannya sehari-hari, termasuk lansia.

Dapatkah tipe karakter berubah? Jawabnya: dapat. Berubah bukan berarti mengganti tipe karakternya tapi mengubah tipe yang dominan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu semua ini sangat membutuhkan waktu dan usaha yang keras secara terus menerus serta dukungan dari orang-orang terdekat. Perlu menjadi perhatian, seperti diawal tulisan ini, bahwa diawal usia 50 tahun sudah mulai terjadi proses degenerasi sel-sel di otak. Tentu hal ini mempengaruhi kemampuan sistem elastisitas koneksi di otak. Elastisitas koneksi ini mendasari kemampuan sel-sel otak untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan.

Perubahan tipe karakter memerlukan elastisitas koneksi di otak. Dasar dari perubahan tipe karakter adalah tumbuhnya koneksi-koneksi yang baru di otak. Pada lansia yang secara alamiah telah terjadi proses degenerasi tentu keadaan ini akan membuat sulit terbentuknya koneksi-koneksi yang baru di otak dan proses pembentukan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga dapat ditarik kesimpulan proses perubahan tipe karakter pada lansia sangat sulit walaupun ada perubahan mungkin hanya sedikit.

Setiap manusia semakin tambah umur pasti akan mengalami degenerasi semua organ-organ ditubuh termasuk otak. Jadi cara hidup dimasa muda adalah salah satu faktor penentu bagaimana saat lansia. Menjadi lansia bijak yang berkualitas.

Selamat memperingati hari lansia.

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan The Silent Killer sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan global. Hipertensi merupakan penyebab utama kematian di dunia, meskipun pengobatan untuk hipertensi aman, efektif, dan berbiaya rendah, kebanyakan penderita hipertensi di seluruh dunia tidak dapat mengendalikannya.

Berikut ini artikel yang merangkum pelajaran penanganan hipertensi dalam 2 tahun pertama program manajemen hipertensi Resolve to Save Lives (RTSL), yang dijalankan dalam koordinasi bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan mitra lainnya. Diperlukan diagnosis, pengobatan, dan kesinambungan perawatan yang lebih baik untuk mengendalikan hipertensi, dan terdapat lima komponen yang telah direkomendasikan oleh RTSL, WHO dan mitra lainnya sebagai hal yang penting untuk keberhasilan program pengendalian hipertensi.

Program manajemen hipertensi RTLS juga merangkum beberapa tantangan dalam pengendalian hipertensi yang telah diidentifikasi, yang sebagian besar terkait dengan keterbatasan dalam sistem pelayanan kesehatan yang terkait dengan perilaku pasien. Pelayanan yang sesuai dengan protokol standar yang harus segera dimulai setelah didiagnosis sebagai pasien hipertensi, serta praktik medis dan sistem kesehatan harus memantau kemajuan pasien dan kinerja sistem Kesehatan dengan cermat.

Perbaikan dalam manajemen dan pengendalian hipertensi, bersama dengan mengurangi lemak trans buatan dan mengurangi konsumsi makanan yang mengandung natrium yang akan meningkatkan banyak aspek di pelayanan primer, yang dapat berkontribusi pada tujuan untuk menuju cakupan kesehatan semesta. Implementasi program ini di klaim dapat menyelamatkan 100 juta nyawa di seluruh dunia selama 30 tahun ke depan.

Berikut lima komponen yang diperlukan untuk keberhasilan program pengendalian hipertensi seperti yang telah direkomendasikan oleh WHO, CDC UG, RTSL, dan mitra dalam paket teknis HEARTS untuk pengobatan hipertensi dalam pelayanan primer adalah 1) Protokol khusus obat dan dosis; 2) Obat-obatan yang terjamin kualitasnya dan kontrol tekanan darah; 3) Perawatan berbasis tim; 4) Perawatan yang berpusat pada pasien; dan 5) Sistem informasi untuk memungkinkan peningkatan kualitas.

Baca dokumen lengkap: https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/jch.13655 

Sumber: Frieden, T, R., et al. 2019. Scaling up effective treatment of hypertension—A pathfinder for universal health coverage. The jurnal of clinical hypertension.21:1442 1449. https://doi.org/10.1111/jch.13655.

 

 

Disarikan oleh: Andriani Yulianti
(Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Angka kematian ibu dan bayi saat ini menjadi masalah prioritas, yang terus di upayakan intervensi terbaik dalam menurunkan jumlah kasusnya. Terlebih saat ini, AKI di Indonesia merupakan yang tertinggi ke-2 di ASEAN dan AKB menduduki peringkat ke-5 di antara negara di ASEAN. Pemerintah Indonesia melalui Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2020-2024 telah menargetkan AKI 183 per 100.000 kelahiran hidup dan AKN 10 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan AKI-AKB melalui pelaksanaan Antenatal Care (ANC) terpadu.

Pelayanan ANC terpadu merupakan suatu program yang menjembatani pertemuan antara ibu hamil dengan petugas kesehatan, sehingga pelayanan ini seharusnya dapat dilaksanakan secara berkualitas dan sesuai dengan standar. Berdasarkan data riskesdas 2018 bahwa tempat pelaksanaan ANC sebesar 45,3% dilaksanakan di praktek dokter/bidan, 14,6% di Puskesmas, 12,5% di Pustu/Polindes, 11,3% di Posyandu, 10,1% di RS, serta 3,1% tidak ANC, 2,9% dilaksanakan di klinik swasta, dan 0,3 di tempat lainnya. Sedangkan tenaga yang memberi layanan ANC sebagian besar dilakukan oleh bidan sebesar 82,4%, disusul dokter SPOG 13,4%, kemudian dr umum 0,5% dan perawat 0,5%.

Sedangkan tempat persalinan untuk perempuan dengan usia 10-54 tahun sebagian besar dilaksanakan di Praktek bidan, kemudian disusul di RS Swasta, Rumah, RS Pemerintah, Puskesmas, Klinik, Polindes dan Praktek dokter. Data-data di atas merupakan gambaran pelaksanaan ANC, sehingga diharapkan dengan adanya pedoman ANC terpadu versi revisi maka dapat memperkuat pelaksanaannya.

Buku pedoman ANC versi revisi merupakan buku pedoman pelayanan ANC terpadu tahun 2021 edisi ke-3, disampaikan bahwa ANC dilaksanakan minimal 6 kali, dimana pada ANC kunjungan pertama di dokter akan melakukan skrining dan menangani faktor risiko kehamilan. Sedangkan pada kunjungan kelima di trimester 3 kehamilan, dokter melaksanakan skrining faktor risiko persalinan.

Lebih lengkapnya, berikut ini perbedaan pedoman ANC versi tahun 2015 dan versi tahun 2020 edisi ketiga, meliputi:

  1. Terdapat tabel pengawasan Ibu hamil meminum tablet tambah darah (TTD) dengan memberi tanda V pada setiap kotak bila sudah meminum tablet TTD. Tabel ini tidak ada pada versi sebelumnya.

    28me1

  2. Terdapat catatan tambahan untuk menyambut persalinan, yang sebelumnya sudah ada pada versi sebelumnya, hanya ditambahkan calon pendonor darah, dari sebelumnya 2 orang menjadi 4 orang yang harus dicantumkan, serta adanya perubahan posisi penanda tangan.

    28me2

  3. Terdapat catatan yang menginformasikan bahwa ibu hamil pada TM1 dengan usia kehamilan <12 minggu harus kontak dengan dokter. Merupakan evaluasi kesehatan ibu hamil, bertujuan untuk melihat riwayat kesehatan ibu selama menjalani kehamilannya, baik riwayat kesehatan sebelumnya maupun riwayat kesehatan saat ini. Halaman ini tidak ada pada versi sebelumnya.

    28me2

  4. Terdapat catatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter pada saat memeriksa ibu hamil pada trimester pertama dengan usia kehamilan <12 minggu. Halaman ini juga mencantumkan hasil USG pada ibu hamil (hasil USG dapat ditempel dikotak kosong tersebut). Informasi ini tidak tercantum pada pedoman ANC versi sebelumnya.

    28me4

  5. Terdapat skrining preeklampsia dikerjakan pada semua ibu hamil saat kunjungan/kontak pertama. Sebaiknya dilakukan pada usia kehamilan<20mg, akan tetapi apabila ibu datang pada kehamilan >20 mg, skrining tetap dilakukan. (Jika didapatkan tanda centang di dua kotak kuning dan atau 1 kotak merah maka ibu berisiko mengalami preeklamsia dan lakukan segera lakukan rujukan ke dokter spesialis obsgyn). Halaman ini tidak tercantum pada pedoman ANC versi sebelumnya.

    28me4

  6. Terdapat pelayanan bidan dengan grafik evaluasi kehamilan yang sebelumnya tidak ada pada Pedoman ANC versi sebelumnya.

    28me6

  7. Terdapat pelayanan bidan berupa grafik peningkatan berat badan, yang tidak ada pada versi tahun 2015

    28me6

  8. Terdapat pelayanan dokter trimester 3 (usia kehamilan 32-36 minggu) yang tidak ada pada pedoman sebelumnya. Halaman ini bertujuan untuk mengetahui kondisi kehamilan ibu dan merencanakan tempat persalinan.

    28me8

 

Sumber:

  • Kementerian Kesehatan RI, 2020. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu tahun 2020 edisi ketiga. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Jakarta.
  • 2021. Indikator dan Kegiatan Program Kesehatan Ibu Hamil di FKTP. Materi dipresentasikan pada kegiatan penyusunan IQ-Care pada 10 Mei 2021.

 

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu PKMK FK KMK UGM)

Gangguan pendengaran atau tuli merupakan salah satu masalah yang cukup serius dan banyak terjadi di seluruh negara di dunia. Gangguan pendengaran yang tidak diobati dapat berdampak buruk pada kemampuan orang untuk berkomunikasi, belajar bahkan mencari nafkah, serta dapat berdampak pada kesehatan mental masyarakat dan kemampuan untuk mempertahankan hubungan. Menurut WHO, hampir 2,5 miliar orang di seluruh dunia, atau 1 dari 4 orang akan hidup dengan beberapa derajat gangguan telinga dan pendengaran pada tahun 2050, setidaknya 700 juta dari orang-orang ini akan membutuhkan akses ke pelayanan yang tersedia (WHO, 2021).

WHO telah menggarisbawahi perlunya upaya yang cepat untuk mencegah dan mengatasi gangguan pendengaran dengan berinvestasi dan memperluas akses ke layanan pelayanan telinga dan pendengaran. Investasi ini terbukti hemat biaya. WHO bahkan telah menghitung bahwa pemerintah dapat mengharapkan pengembalian hampir US $16 untuk setiap US $1 yang diinvestasikan. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh WHO, tidak hanya menguraikan skala masalah, tetapi juga menawarkan solusi dalam bentuk intervensi berbasis bukti yang mendorong semua negara untuk mengintegrasikan perawatan telinga dan pendengaran ke dalam sistem Kesehatan, sebagai bagian dari perjalanan menuju cakupan kesehatan universal.

Beberapa temuan WHO yakni kurangnya informasi yang akurat dan sikap stigmatisasi terhadap penyakit telinga dan gangguan pendengaran yang seringkali membatasi orang untuk mengakses pelayanan untuk kondisi ini. Bahkan di antara penyedia layanan kesehatan, sering kali terdapat minimnya pengetahuan dalam pencegahan dan mengelola gangguan pendengaran dan penyakit telinga serta deteksi dini, sehingga menghambat kemampuan penderitanya untuk mendapatkan pelayanan yang diperlukan.

Di sebagian besar negara, dalam melakukan perawatan telinga dan pendengaran masih belum terintegrasi ke dalam sistem kesehatan nasional sehingga akses terhadap layanan perawatan merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh pasien. Kesenjangan yang paling mencolok dalam kapasitas sistem kesehatan yakni sumber daya manusia. Pada negara-negara berpenghasilan rendah, sekitar 78% memiliki kurang dari satu spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) per satu juta penduduk; 93% memiliki kurang dari satu audiolog per satu juta; hanya 17% yang memiliki satu atau lebih ahli terapi wicara per satu juta; dan 50% memiliki satu atau lebih guru untuk tuna rungu per satu juta penduduk.

Dalam laporannya, WHO juga menekan bahwa kesenjangan ini dapat ditutup melalui integrasi pelayanan telinga dan pendengaran ke dalam perawatan kesehatan primer melalui strategi seperti pembagian tugas dan pelatihan. Bahkan di negara-negara dengan proporsi profesional perawatan telinga dan pendengaran yang relatif tinggi, terdapat distribusi spesialis yang tidak merata. Hal ini tidak hanya menjadi tantangan bagi masyarakat yang membutuhkan perawatan, tetapi juga menimbulkan tuntutan yang tidak wajar pada kader yang memberikan layanan tersebut.

Identifikasi merupakan langkah awal dalam mengatasi gangguan pendengaran dan penyakit telinga terkait. Skrining klinis pada titik-titik strategis dapat memastikan bahwa setiap gangguan pendengaran dan telinga dapat diidentifikasi sedini mungkin. Termasuk kemajuan teknologi terkini yakni alat yang akurat dan mudah digunakan dapat mengidentifikasi penyakit telinga dan gangguan pendengaran pada usia berapa pun, dalam pelayanan klinis atau komunitas, dan dengan pelatihan dan sumber daya yang terbatas. Skrining bahkan dapat dilakukan dalam situasi yang menantang seperti saat ini, yakni selama pandemi COVID-19 maupun yang tinggal di daerah tertinggal dan terpencil.

Peningkatan akses dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Setelah didiagnosis, maka intervensi dini adalah kuncinya. Perawatan medis dan bedah dapat menyembuhkan sebagian besar penyakit telinga, yang berpotensi membalikkan gangguan pendengaran yang terkait. Namun, jika gangguan pendengaran tidak dapat dipulihkan, rehabilitasi dapat memastikan bahwa mereka yang terpengaruh terhindar dari konsekuensi merugikan dari gangguan pendengaran.

Berbagai pilihan efektif tersedia, misalnya teknologi pendengaran, seperti alat bantu dengar dan implan koklea, jika disertai dengan layanan dukungan yang tepat dan terapi rehabilitasi akan efektif dan hemat biaya serta dapat bermanfaat bagi anak-anak dan orang dewasa, serta penggunaan bahasa isyarat dan alat substitusi sensorik lainnya seperti membaca pidato adalah pilihan penting bagi banyak orang tunarungu; Teknologi dan layanan bantuan pendengaran seperti teks dan interpretasi bahasa isyarat dapat lebih meningkatkan akses komunikasi dan pendidikan bagi mereka yang mengalami gangguan pendengaran. Untuk memastikan bahwa manfaat dari kemajuan dan solusi teknologi ini dapat diakses secara adil oleh semua maka negara harus hadir dan mengadopsi pendekatan yang berpusat pada manusia yakni keterlibatan pasien selama perawatan merupakan bagian dari integrated people-centered approach.

Di Indonesia, untuk menanggulangi gangguan pendengaran dan ketulian, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Strategi pertama adalah membentuk Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) melalui SK Menkes Nomor 768 tahun 2007. Tujuan pembentukan Komnas ini adalah sebagai mitra pemerintah untuk menurunkan angka gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia.

Salah satu strategi dalam Renstranas PGPKT adalah penguatan advokasi, komunikasi dan sosialisasi dengan semua sektor dalam upaya penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian. Upaya advokasi dilaksanakan untuk mendapatkan dukungan dari semua sektor dalam upaya penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian di masyarakat. Sementara upaya sosialisasi dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan telinga dan pendengaran.

Sumber:

"Kemampuan kita untuk mendengar sangat berharga. Gangguan pendengaran yang tidak diobati dapat berdampak buruk pada kemampuan orang untuk berkomunikasi, belajar dan mencari nafkah. Itu juga dapat berdampak pada kesehatan mental masyarakat dan kemampuan mereka untuk mempertahankan hubungan," kata Dr Tedros Adhanom. Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO. "Laporan baru ini."

Temuan utama dari laporan tersebut