Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Kesehatan mental telah menjadi perhatian sejak akhir 1990, perubahan iklim, COVID-19 perang, krisis energi, hingga tekanan sosioekonomi dapat mengeksaserbasi situasi ini. Agar dapat mencapai target preventif dan intervensi, identifikasi dan mendefinisikan setiap faktor-faktor yang dapat berpengaruh , seperti perubahan iklim, perang, dan pandemi penting untuk dilakukan untuk memahami pengaruh masing-masing faktor terhadap kesehatan mental individu maupun komunitas.

Sekolah memiliki peran krusial dalam memberikan keamanan dan asesmen kesehatan mental, serta intervensi untuk anak, khususnya dalam kondisi bencana atau krisis, yang membuatnya menjadi tempat yang penting dalam memberikan layanan kesehatan mental. Intervensi berbasis sekolah telah terbukti efektif dalam menyediakan dukungan edukasi dan psikososial bagi anak muda yang terpengaruh konflik, sehingga kegiatan akademik dan kesehatan mentalnya terganggu.

Pendekatan holistik terhadap kesehatan mental di sekolah perlu mempertimbangkan perkembangan kognitif, hingga perkembangan emosi, sosial , dan kesejahteraan psikologis. Penting untuk membangun infrastruktur edukasi yang baik dalam mendukung kesuksesan akademik lewat intervensi dini, pengembangan individu, inklusivitas, resiliensi, destigmatisasi, kesejahteraan staf, dan penguatan komunitas. Lingkungan belajar inklusif yang dapat mengakui dan mengakomodasi kebutuhan yang beragam akan bermanfaat untuk menciptakan lingkungan yang terbuka dan dapat menyambut setiap orang, termasuk orang dengan masalah kesehatan mentah, agar mereka dapat merasa diterima dan didukung untuk sukses. Pendekatan seperti ini akan mempersiapkan anak dan remaja dengan kemampuan untuk mengatasi stres, beradaptasi terhadap perubahan, dan bangkit dari keterpurukan, yang merupakan keterampilan hidup penting yang akan berkontribusi untuk sukses dalam jangka panjang.

Kesehatan mental yang baik adalah pondasi kesuksesan dalam pendidikan dan akademik. Menyuarakan isu kesehatan mental secara proaktif dapat membantu mengidentifikasi dan mengetahui masalah potensial sebelum menjadi besar. Intervensi dini dapat mencegah masalah kesehatan mental yang lebih berat, dan meningkatkan capaian seseorang, hingga mengurangi beban sistem pendidikan. Dengan mempromosikan kesehatan mental dan kesejahteraan, pendekatan yang holistik dan proaktif akan membantu siswa untuk membentuk resiliensi.

Sikap proaktif dalam menyuarakan kesehatan mental di lingkungan pendidikan akan mengurangi stigma terkait kesehatan mental. Hal ini akan membentuk kultur yang terbuka dan suportif untuk mendorong siswa mencari bantuan ketika memang memerlukan. Fokus kesehatan mental juga perlu melibatkan pengajar dan staf pendukung. Dengan membentuk lingkungan dengan kesejahteraan mental yang baik, infrastruktur pendidikan akan menjadi lebih kuat dan lebih siap untuk mendukung siswa-siswinya secara efektif.

Ketika sekolah memprioritaskan kesehatan mental, mereka telah berkontribusi untuk membuat masyarakat yang lebih sehat. Sekolah merupakan lingkungan primer untuk interaksi sosial dan pembentukan hubungan antar sebaya. Sekolah memiliki peran penting dalam membentuk keterampilan sosial yang sehat, empati, dan kecerdasan emosional, yang akan mendukung terbentuknya kesejahteraan mental. Siswa siswi dan pengajar yang sehat secara mental akan lebih mungkin untuk terlibat dalam hubungan yang positif, berpartisipasi dalam aktivitas komunitas, dan berkontribusi dalam kesejahteraan sosial.

Integrasi Pendidikan Kesehatan Mental dalam Kurikulum

Integrasi pendidikan kesehatan mental ke dalam kurikulum sekolah dapat meningkatkan literasi kesehatan mental bagi pengajar dan siswa siswi. Literasi kesehatan mental akan mempersiapkan anak dan remaja dengan kemampuan mengatasi stress, membentuk kecerdasan emosional, dan mendukung kesejahteraan mereka secara menyeluruh, hingga mendukung masa depan yang lebih sehat dan lebih sukses.

Alasan mengapa integrasi pendidikan kesehatan mental dengan kurikulum sekolah menjadi penting, yakni:

  • Mengurangi stigma dan membantu normalisasi percakapan mengenai kesehatan mental dan mendorong dialog terbuka antar murid, pengajar, dan orangtua.
  • Membantu siswa siswi untuk memahami emosi, pikiran, dan perilakunya. Kesadaran diri penting untuk mengetahui dan mengelola kebutuhan kesehatan mental.
  • Kurikulum dapat mendukung pembentukan kemampuan mengatasi stres lewat strategi untuk mengelola stres dan kecemasan hingga emosi lainnya. Keterampilan ini penting untuk membentuk hubungan yang sehat dalam situasi sosial.
  • Pendidikan kesehatan mental dini dapat mencegah atau memitigasi masalah kesehatan mental dengan cara mengajari murid untuk mengenali tanda bahaya dan mencari bantuan ketika dibutuhkan,

Beberapa langkah yang direkomendasikan untuk dapat mengintegrasikan pendidikan kesehatan mental yakni:

  • Membentuk kurikulum sesuai usia anak
  • Melatih pengajar agar mampu memberikan pendidikan kesehatan mental dan menyediakan dukungan atau rujukan ketika perlu
  • Membentuk lingkungan yang suportif dalam mendorong dialog terbuka mengenai kesehatan mental, menawarkan bantuan, dan mendukung siswa siswi terkait kesehatan mentalnya masing-masing
  • Mendorong keterlibatan orangtua dengan menyediakan workshop atau berkomunikasi mengenai keadaan anak-anak mereka
  • Fokus pada pembelajaran sosial-emosional untuk membantu siswa-siswi membentuk kesadaran diri, mengelola diri, kesadaran sosial, keterampilan hubungan, dan bertanggungjawab terhadap pilihannya.
  • Evaluasi dan memperbarui kurikulum secara berkala agar tetap relevan dan responsif terhadap kebutuhan siswa-siswi

Intervensi yang disesuaikan dengan usia bagi anak akan bermanfaat dalam membangun literasi emosional, membangun kesadaran diri, dan strategi mengatasi stres dari dasar. Sedangkan bagi remaja, intervensi akan lebih berfokus pada manajemen stres, memahami emosi yang kompleks, dan mengendalikan tekanan sosial serta akademik. Intervensi yang diberikan harus dapat memberikan ruang untuk bertumbuh dan mengembangkan kapasitas kognitif dan emosional mereka.

Jenis stressor yang dihadapi siswa siswi juga dapat mempengaruhi desain intervensi yang akan diberikan. Sebagai contoh, anak dan remaja yang menghadapi stres akun, seperti krisis keluarga atau peristiwa traumatis, mungkin akan membutuhkan dukungan yang lebih personal dan intensif, hingga melibatkan intervensi terapi. Sebaliknya, bagi anak dan remaja yang menghadapi stres kronis seperti tekanan akademik atau kecemasan akibat media sosial akan lebih mendapat manfaat dari program berbasis kelompok yang melatih strategi mengatasi stres dan keterampilan resiliensi.

Dalam konteks geografis, intervensi akan dibentuk tergantung dari kondisi geografis. Sekolah di perkotaan akan membutuhkan intervensi berdasarkan isu yang sesuai dengan daerahnya, seperti kekerasan atau penyalahgunaan obat. Sedangkan daerah pedesaan akan berfokus pada isolasi sosial atau bencana alam yang membutuhkan penanganan trauma dan kolaborasi dengan komunitas lokal hingga pembuat kebijakan agar dapat memberikan dukungan yang komprehensif.

Selengkapnya dapat dibaca di link berikut:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10217808/

 

 

 

Hari Anak Nasional ke-40 pada tanggal 23 Juli 2024 bertema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”menjadi momentum yang mengingatkan kita terhadap pentingnya anak-anak yang sehat dan cerdas untuk memajukan suatu negara. Anak merupakan merupakan cerminan masa depan suatu negara, sehingga memastikan kesehatan, kesejahteraan, dan terpenuhinya hak mereka sebagai seorang anak dan warga negara merupakan suatu kewajiban yang harus diamalkan. Dalam ranah pertumbuhan dan perkembangan yang sehat, tentu bukan hanya negara yang ikut andil di dalamnya, namun seluruh lapisan masyarakat juga berperan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan seorang anak.

Menurut Kemenkes tahun 2024, Kemenkes selaku leading sektor kesehatan akan berusaha untuk mewujudkan dua upaya strategis, yakni memastikan setiap anak tumbuh berkembang melalui intervensi pencegahan stunting yang telah berlangsung dan memberikan perlindungan dari penyakit berbahaya, salah satunya polio. Menurut World Health Organization (2019), tercatat sebanyak 5,2 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal. Penyebab terbanyak dari kematian anak yakni infeksi saluran nafas, diare, campak, malaria, malnutrisi, dan penyakit bawaan lahir. Terdapat banyak penyakit anak yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin, perawatan di rumah yang adekuat, layanan kesehatan, hingga peningkatan konsumsi ASI, dan perbaikan nutrisi.

Strategi yang dapat dilakukan untuk memperkuat dan mengidentifikasi intervensi yang dapat dilakukan pada bayi dan anak di fasilitas kesehatan primer. Fokus dari intervensi ini adalah bayi baru lahir hingga usia 3 tahun yang memiliki risiko morbiditas dan mortalitas paling tinggi. Intervensi yang dapat dilakukan yakni:

  1. Asupan bayi dan anak
    • Menyusui eksklusif 6 bulan
    • MPASI mulai 6 bulan
    • Melanjutkan ASI hingga minimal 2 tahun
  2. Nutrisi
    • Memantau pertumbuhan
    • Manajemen malnutrisi akut derajat sedang dan berat tanpa komplikasi
    • Manajemen defisiensi mikronutrien
    • Suplementasi vitamin A pada populasi defisiensi vitamin A
    • Mengobati cacingan dan suplementasi besi untuk mencegah dan mengobati anemia anak
    • Prevensi dan manajemen berat badan rendah dan stunting
    • Prevensi dan manajemen berat badan berlebih dan obesitas
  3. Vaksinasi
    • Imunisasi rutin termasuk Haemophilus influenza tipe b, meningococcal, pneumococcal, dan rotavirus
  4. Pencegahan dan manajemen penyakit pada anak-anak
    • Menggunakan kelambu anti serangga
    • Manajemen malaria dan demam
    • Manajemen pneumonia tanpa komplikasi dan wheezing
    • Manajemen diare dan disentri
    • Mengenali memberikan, perawatan awal, dan merujuk kasus berat atau kasus komplikasi
    • Skrining riwayat keluarga
  5. HIV dan tuberkulosis
    • Skrining anak dengan atau yang terpapar HIV atau tuberkulosis atau anak dengan malnutrisi akut berat
    • Memberikan perawatan yang sesuai dan rujukan
    • Konseling, rawat jalan, serta memberikan dukungan nutrisi dan psikososial
  6. Cedera
    • Manajemen dan merujuk cedera akut yang umum (jatuh, fraktur, tenggelam, cedera kepala)
    • Memberikan saran untuk mencegah cedera
  7. Perkembangan di masa anak-anak
    • Screening, manajemen dan merujuk keterlambatan perkembangan, disabilitas, dan tanda-tanda kekerasan
    • Mempromosikan aktivitas rumah untuk mendukung pembelajaran kesiapan sekolah, dan edukasi di masa anak-anak awal

Selain hal-hal tersebut yang dapat kita lakukan bagi bayi baru lahir hingga anak, kapasitas kesehatan primer dapat meningkatkan mutu pelayanan bagi kesehatan anak. Strategi peningkatan mutu di tingkat layanan primer bagi anak adalah:

A. Monitoring Berkelanjutan

Tim staf fasilitas akan dilatih oleh fasilitator eksternal untuk memulai review dan perencanaan terhadap kesehatan anak. Tim akan dilatih berdasarkan metodologi. Tim bersama dengan fasilitator akan membentuk asesmen, mendukung, serta membentuk rencana peningkatan mutu per 3 bulan. Proses ini kemudian akan diulang oleh staf internal sebagai asesmen mandiri untuk memantau proses peningkatan mutunya.

B. Evaluasi Eksternal secara Periodik untuk Mendukung Perencanaan di Tingkat Distrik, Provinsi, dan Nasional

Tim evaluator fasilitas akan dilatih di pusat pelatihan. Setelah itu, tim akan mengunjungi fasilitas kesehatan primer sebagai percontohan dan menggunakan tool/checklists yang akan dilakukan kepada pengasuh anak mengenai tanda bahaya, vaksinasi dan vitamin A, diare, batuk dan kesulitan bernafas, demam, HIV, cedera, kekerasan, dan penelantaran, perkembangan anak, kepada anak dalam bentuk skrining kesehatan, kebersihan lingkungan, ketersediaan obat-obatan, kebijakan, tatalaksana dan standar pelayanan kesehatan, validasi data anak-anak sakit, serta jumlah pelatihan tenaga kesehatan dalam 5 tahun terakhir untuk memantau kesiapan fasilitas kesehatan dalam memberikan manajemen kesehatan anak. Ketika data dari fasilitas kesehatan primer telah siap, selanjutnya tim akan kembali ke pusat pelatihan dan me-review data yang diperoleh.

Saat kedua tahapan tersebut telah dilaksanakan, setiap checklist perlu diidentifikasi kekuatan dan letak area yang perlu dikembangkan. Setelah didiskusikan lebih lanjut, maka dapat ditentukan area prioritas yang akan menjadi target peningkatan mutu selanjutnya. Diskusi checklist perlu memetakan alasan dasar terjadinya masalah, waktu dan penanggung jawab saat masalah tersebut muncul, dan identifikasi langkah yang harus diambil untuk mengatasi masalah tersebut.

Selengkapnya dapat diakses melalui:
https://iris.who.int/bitstream/handle/10665/376464/9789290620426-eng.pdf?sequence=1

 

 

Pekan ASI Sedunia pada tanggal 1 hingga 7 Agustus 2024 bertema “Close the Gap: Breastfeeding Support for All ” yang ditetapkan World Health Organization merupakan salah satu bentuk kampanye dalam menyuarakan pentingnya air susu ibu (ASI) bagi tumbuh kembang bayi. Harapannya, bayi mendapatkan haknya atas nutrisi yang terpenuhi dengan baik hingga usia 24 bulan atau lebih. Momen ini juga merupakan pengakuan yang diberikan kepada ibu menyusui di seluruh dunia untuk memastikan bahwa mereka diperhatikan, didengar, dan dapat berbagi pengalamannya dalam menyusui.

ASI eksklusif bermanfaat dalam memberikan nutrisi bagi bayi agar perkembangan otak dapat berlangsung dengan sehat, mencegah malnutrisi, penyakit infeksi, dan mortalitas, mengurangi risiko obesitas dan penyakit kronis di kemudian hari pada anak, memberikan jarak pada kehamilan karena dapat mengeluarkan hormon yang mencegah ovulasi, mencegah penyakit kronis pada ibu, seperti kanker payudara dan ovarium, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. Dengan kata lain, menyusui dapat memberikan efek positif di awal kehidupan, bagi bayi, ibu, keluarga, dan masyarakat dalam jangka panjang. Manfaat nutrisional, mikrobial, dan komponen bioaktif yang didapatkan oleh ibu dan bayi melalui proses menyusui tidak dapat digantikan oleh pemberian susu formula.

Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2021, terdapat kurang dari separuh bayi di Indonesia (48,6 persen) disusui dalam satu jam pertama kehidupan, angka ini turun dari 58,2 persen pada tahun 2018. Hanya 52,5 persen yang disusui secara eksklusif dalam enam bulan pertama, yang merupakan penurunan tajam dari 64,5 persen pada 2018. Sedangkan, menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebanyak 73,97% anak usia 0-5 bulan Indonesia mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif pada 2023. Pemberian ASI eksklusif lebih banyak diberikan dari ibu yang tak bekerja dengan proporsi 75,92%. Sementara anak yang mendapat ASI eksklusif dari ibu bekerja lebih rendah, yakni 69,48%.

Jumlah pemberian ASI eksklusif dan menyusui yang belum maksimal dapat disebabkan oleh berbagai hambatan. Hambatan dalam proses menyusui didukung oleh beberapa hal, termasuk ketidaksetaraan gender, norma sosiokultural, pertumbuhan pendapatan dan urbanisasi, praktik pemasaran perusahaan, aktivitas politik yang melemahkan proteksi aturan menyusui, sistem kerja yang tidak mengakomodasi hak reproduksi wanita, serta perawatan kesehatan yang buruk khususnya dalam kelahiran dan perawatan bayi. Dukungan sistem yang tidak memadai menurunkan kemungkinan pemberian ASI.

Kebijakan perlindungan maternitas yang tidak ada atau tidak memadai juga melemahkan pemberian ASI bagi perempuan pekerja melalui buruknya akses terhadap cuti melahirkan dan cuti ayah yang dibayar, penjadwalan yang mengakomodasi pemberian ASI, atau istirahat dan mendapat fasilitas yang sesuai untuk menyusui atau memerah ASI. Kondisi ini seringkali dimanfaatkan produsen susu formula komersial untuk dapat memasarkan dan mendistribusikan sampel produknya yang tidak sesuai dengan kode etik.

Menurut tinjauan sistematik oleh Vilar-Compte et al (2022), perilaku bayi yang tidak menentu di awal kehidupan, khususnya menangis persisten, menjadi alasan bagi orangtua bahwa pemberian susu formula diperlukan. Bayi menangis dapat disebabkan karena berbagai hal, termasuk lapar, perubahan suhu, dan ketidaknyamanan lain. Respon orangtua dapat menyebabkan berkurangnya tangisan, seperti melakukan tindakan segera dalam mengganti popok, menenangkan bayi, juga memberi makan, yakni dengan menyusui. Namun, kurangnya keahlian dan dukungan tanpa dasar pengetahuan, menjadikan orangtua mengganti menyusui eksklusif dengan susu formula yang banyak mengklaim dapat mengurangi alergi, membantu kolik pencernaan, dan membuat tidur lebih baik. Pesan pemasaran susu formula memanfaatkan kekhawatiran ibu terhadap ASi-nya sendiri dan kemampuannya untuk dapat memberikan nutrisi yang adekuat untuk bayinya dengan membuat narasi bahwa perilaku bayi termasuk patologis dan susu formula yang menjadi solusinya. Maka dari itu, tidaklah sulit untuk menemukan ASI yang tidak cukup sebagai alasan untuk memberikan susu formula sebelum bayi berusia 6 bulan dan memberhentikan pemberian ASI.

Rekomendasi yang dapat dilakukan untuk membentuk program dan kebijakan yang dapat mendukung pemberian ASI yakni:

  1. Investasi dalam edukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar pembuat kebijakan dapat memahami bahwa sistem pemberian nutrisi dapat bermanfaat bagi ibu dan bayi dalam kesejahteraan dan kesehatan keduanya. Miskonsepsi susu formula yang dianggap sepadan dengan ASi harus dikoreksi melalui program kesehatan.
  2. Konseling dan dukungan harus disediakan di masa prenatal dan post-partum bagi setiap ibu untuk mencegah laporan kurangnya ASI berdasarkan klaim mandiri, dan menghindari pemberian makan prelaktasi atau susu formula sejak dini, karena hal tersebut merupakan faktor risiko utama dari terminasi prematur ASI eksklusif dan proses menyusui lainnya.
  3. Tenaga kesehatan, ibu, keluarga, dan masyarakat harus diberikan dukungan edukasi dan pengembangan kemampuan yang lebih baik, dibebaskan dari pengaruh iklan, dan memahami bahwa perilaku bayi yang tidak tenang merupakan fase dari perkembangan manusia. Tenaga kesehatan dapat memberikan pemahaman selama kehamilan hingga periode post-natal cara memberikan respon terhadap perilaku bayi yang tidak tenang dan industri susu formula yang salah dalam menafsirkan perilaku ini serta pelanggaran kode etik yang ditentukan WHO.
  4. Kebijakan lintas sektoral (seperti kesehatan, sosial, pendidikan, ketenagakerjaan, dan pembuat kebijakan) harus dapat mengatasi hambatan menyusui agar ibu dapat memberikan nutrisi yang optimal. Kebijakan ini harus berdasarkan prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan kesehatan masyarakat yang membutuhkan komitmen politik dan masyarakat.

Selengkapnya dapat diakses melalui: https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(22)01932-8/fulltext

 

 

Universal health coverage (UHC) adalah komponen utama yang berkontribusi dalam pencapaian kesehatan terkait target Sustainable Development Goals (SDG) secara sinergis memberikan peran dalam maternal, newborn, and child health (MNCH) dan kesejahteraan.. Kelangsungan hidup, kesehatan, dan kesejahteraan perempuan, anak, dan remaja merupakan hal penting untuk mengakhiri kemiskinan ekstrim, mempromosikan perkembangan, dan ketangguhan, serta mencapai SDG. Salah satu investasi terbaik dalam mempercepat UHC adalah, kontribusi terhadap kesehatan anak dan perempuan.

Implementasi Global Strategy for Women’s, Children’s, and Adolescents’ Health (2016-20130) dengan meningkatkan dan mempertahankan pembiayaan akan membuahkan hasil yang besar di tahun 2030, seperti mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada ibu hamil, bayi baru lahir, anak, dan remaja serta bayi lahir mati. Studi menunjukkan adanya minimal 10 kali lipat perbaikan ketika investasi terhadap kesehatan dan nutrisi perempuan, anak dan remaja. Pemeliharaan di periode prenatal dan masa kanak-kanak awal dapat berkontribusi terhadap kapabilitas seorang manusia, dimana pemerintah dapat memberikan dukungan terhadap pengasuh.

Negara di Asia Tenggara yang dipilih untuk masuk ke dalam penelitian ini harus memiliki 4 kriteria, yakni (1) Memiliki statistik MNCH terbaru dan dapat dibandingkan berdasarkan data rumah tangga nasional, (2) Memiliki latar belakang sosio kultural yang mirip, (3) Termasuk ke dalam negara dengan pendapatan rendah dan menengah atas, dan (4) Negara dengan UHC dengan tingkatan yang berbeda satu sama lain yang memungkinkan untuk dilakukan analisis irisan per negara dalam bagaimana UHS dapat meningkatkan akses ke layanan MNCH. negara-negara yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Filipina, Thailand, Timor-Leste, danVietnam.

Perlindungan terhadap Anak dan Perempuan: Pencapaian dan Gap

a. Status Kesehatan: Mortalitas Anak, Bayi, dan Bayi Baru Lahir

f1jul

Negara-negara Asia Tenggara berkomitmen sesuai dengan SDG 3.2, dimana pada tahun 2030, mereka menargetkan untuk menghentikan kematian bayi baru lahir dan anak di bawah 5 tahun yang dapat dicegah, semua negara menargetkan untuk menurunkan neonatal

mortality (NMR) hingga 12 per 1000 bayi lahir hidup dan under-5 mortality (U5MR) hingga 25 per 1000 bayi lahir hidup. Di 8 negara, Laos, Myanmar, dan Timor-Leste memiliki U5MR lebih dari 40 dan NMR lebih dari 20, sehingga diperlukan percepatan dalam mencapai U5MR 25 per 1000 bayi lahir hidup di 2030. U5MR pada tahun 1990 dan 2016 pada masa Millenium Development Goals (MDGs), menunjukkan adanya peningkatan yang sangat besar dalam survival anak, khususnya pada negara Timor-Leste, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Pencapaian ini menunjukkan program survival pada anak lewat SDG dapat terjadi bila pemerintah mempertahankan dan berkomitmen dalam mempercepat proses UHC.

b. Cakupan Layanan Kesehatan Ibu, Bayi baru Lahir, dan Anak: Pencapaian Terbaru dan Tantangan

Status cakupan layanan MNCH di 8 negara dianalisis berdasarkan data dari masing-masing negara. Terdapat 9 dimensi intervensi MNCH: (a) perencanaan keluarga (metode modern); (b) 4 kualitas antenatal care (ANC); (c)Tingkat bidan terampil; (d) Inisiasi menyusui dini; (e) Cakupan imunisasi difteri-tetanus-pertusis (DTP3) 3 dosis; (Mencari layanan perawatan bagi anak dengan pneumonia; (g) penggunaan sumber air minum yang telah ditingkatkan; (h) penggunaan sanitasi yang telah ditingkatkan; dan cakupan pendaftaran persalinan.

Indonesia pada gambar 3c. telah menunjukkan hasil yang baik hampir di semua 9 dimensi, kecuali akses perencanaan keluarga dengan metode modern dan inisiasi menyusui dini. Studi menunjukkan sebanyak 20% perempuan Indonesia telah mendapat saran dan informasi terkait penggunaan produk breast milk substitutes (BMS), sebanyak 72% perempuan telah melihat promosi BMS, d15% menerima sampel dan 16% menerima hadiah. Selain itu, hampir seperempat tenaga kesehatan telah menerima kunjungan dari perusahaan BMS dan menerima hadiah dari perusahaan tersebut.Promosi yang tidak etis dilaporkan terjadi di Indonesia, contohnya yang telah membeli produk susu di suatu website dapat bergabung untuk undian mendapat hadiah berupa iPhone.

hampir semua negara membutuhkan peningkatan kualitas dari inisiasi menyusui dini. kamboja merupakan salah satu negara di Asia tenggara yang menjadi target marketing agresif dari promosi industri BMS. Meski pemerintah telah melarang promosi tanpa persetujuan pemerintah, perusahaan BMS tetap mempromosikan produknya lewat televisi atau at points of sale.

c. Analisis Inekuitas: The National Average Conceals the Inequity Gap

Analisis ketimpangan dapat memberikan keputusan bahwa investasi pemerintah di bidang kesehatan perlu mempertimbangkan apakah masyarakat miskin dapat mengakses layanan kesehatan secara memadai. Dengan kata lain, rancangan UHC yang berpihak pada masyarakat miskin merupakan aspek yang penting untuk memastikan bahwa penduduk pedesaan, kelompok minoritas, dan masyarakat yang hidup dalam kondisi rentan memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan.

Analisis ini menunjukkan kelompok terkaya di pedesaan mendapat cakupan layanan MNCH yang lebih baik dibandingkan kelompok yang termiskin di pedesaan. Demikian pula, masyarakat terkaya di perkotaan juga jauh lebih baik dibandingkan kelompok termiskin di perkotaan. Meski tidak ada hambatan dalam hal pasokan di daerah perkotaan, kelompok masyarakat terkaya memiliki akses keuangan yang jauh lebih besar terhadap layanan kesehatan dibandingkan kelompok masyarakat termiskin. Dan juga, terdapat keterbatasan dalam sisi pasokan di daerah pedesaan, kelompok masyarakat terkaya di pedesaan mempunyai kemampuan finansial dan kemampuan transportasi untuk melakukan perjalanan dan mencari perawatan di daerah perkotaan.

d. Status UHC

Penelitian menunjukkan bahwa pembayaran out-of-pocket dalam % dari pengeluaran kesehatan akan menurun ketika porsi belanja kesehatan pemerintah terhadap PPDB meningkat. Meski terdapat variasi antar negara yang cukup besar, belanja emerintah yang lebih tinggi untuk kesehatan masyarakat dapat meningkatkan perlindungan risiko keuangan dan mengurangi proporsi out-of-pocket yang dilakukan rumah tangga. Terdapat penurunan tajam dari pembayaran out-of-pocket ketika pemerintah membelanjakan 2-3% PDB-nya untuk kesehatan.

Lebih lanjut dapat dilihat pada link berikut:

https://www.researchgate.net/