Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

COP Fraud

Saluran komunikasi yang dimiliki rumah sakit merupakan salah satu jalur untuk menampung informasi potensi fraud. Saluran komunikasi seperti hotline akan membantu Anda menangkap sebanyak mungkin informasi potensi-potensi fraud yang mungkin terjadi di RS.

Pada artikel sebelumnya Anda telah membaca tentang alasan penting memiliki sistem pelaporan untuk mendeteksi potensi fraud. Artikel tersebut juga menjelaskan berbagai alasan hambatan yang mungkin timbul dalam optimalisasi saluran pelaporan tersebut. Nah, sesuai janji saya, pada artikel kali ini saya akan memaparkan bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Bila Anda belum membaca artikel sebelumnya, silakan klik di sini.

Hambatan dalam penyelenggaraan sistem pelaporan akan sangat menyulitkan faskes untuk mengumpulkan data-data potensi fraud. Agar sistem pelaporan fraud dapat berjalan baik, faskes harus mempersiapkan dengan detil hal-hal teknis yang dibutuhkan. Persiapan teknis tersebut diantaranya:

 

  1. Menyiapkan informasi mengenai bentuk-bentuk potensi fraud layanan kesehatan yang mungkin terjadi di sekitar kita.
    Informasi bentuk-bentuk fraud di faskes serta penjelasannya dapat diambil dari Permenkes No. 36/ 2015 yang dapat Anda akses di link ini.
  2. Memilih media-media informasi di faskes yang akan digunakan sebagai media pelaporan potensi fraud.
    Faskes dapat menggunakan saluran-saluran informasi yang sudah umum digunakan. Saluran komunikasi ini dapat berupa hotline, website, kotak saran, email faskes, ataupun SMS center. Faskes juga dapat memutuskan untuk membuat saluran komunikasi baru yang dikhususkan untuk menggali informasi fraud.
  3. Mempersiapkan sistem respon pasca pelaporan.
    Laporan potensi fraud yang diterima dari staf internal maupun pelanggan faskes harus direspon baik. Faskes harus menentukan orang yang akan menerima laporan, membuat rekap laporan, meneruskan laporannya ke tim anti fraud, hingga menetapkan tindak lanjutnya. Alur pengelolaan laporan mulai dari penerimaan hingga tindak lanjutnya juga harus ditetapkan dan diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat.
  4. Mempersiapan sistem pengelolaan dan pendokumentasian laporan.
    Laporan potensi fraud yang masuk harus dibuat dokumentasi yang aman dan diteruskan ke pihak yang seharusnya. Dokumen laporan dapat diberi kode agar tidak bocor ke pihak yang tidak bertanggung jawab.
  5. Membuat kebijakan keadilan dan perlindungan pelapor.
    Pelapor harus mendapat rasa aman saat mengungkapkan detil laporannya. Informasi perlindungan data pelapor dicantumkan dalam media komunikasi yang digunakan untuk mengumpulkan informasi potensi fraud.

Agar sistem pelaporan yang sudah ada di faskes dapat berjalan efektif, beberapa tips berikut dapat Anda terapkan:

  1. Membuat kebijakan yang menjadikan sistem pelaporan fraud sebagai bagian dari program kepatuhan dan etik rumah sakit.
    Kebijakan ini harus disepakati dan dipahami bersama oleh seluruh staf faskes. Perlu sosialisasi kebijakan agar diketahui dan dipatuhi oleh seluruh staf faskes.
  2. Memastikan berbagai saluran pelaporan yang disediakan berfungsi baik.
    Lakukan cek secara berkala untuk mengetahui keaktifan media pelaporan fraud yang ada di faskes. Pastikan sarana untuk melaporkan potensi fraud tersedia. Misal, alat tulis, bila media pelaporan yang digunakan berupa kotak saran.
  3. Siapkan sistem pelaporan yang tidak perlu mencantumkan nama pelapor.
    Pastikan dalam form isian laporan ada keterangan bahwa pelapor dapat menggunakan kode saat menyebutkan identitasnya. Pastikan juga pelapor mengetahui bahwa identitas dan isi laporan yang mereka buat terjamin kerahasiaannya.
  4. Menyiapkan insentif bagi pelapor.
    Insenstif tidak melulu harus berupa uang. Pemberian pelayanan gratis di faskes dapat menjadi reward yang representatif bagi pelapor.
  5. Pimpinan menunjukan komitmen untuk menindaklanjuti pelaporan fraud.
    Percuma dibangun sistem pengaduan fraud bila tidak ada dukungan dan ketegasan pimpinan untuk menindaklanjuti hasil pelaporannya. Pimpinan harus menunjukkan komitmen untuk ikut serta mencegah fraud dengan menindaklanjuti hasil laporan potensi fraud yang disampaikan padanya.
  6. Analisa laporan secara berkala dan didokumentasikan.
    Hal penting dalam pengelolaan laporan potensi fraud adalah keberkalaan. Laporan lebih baik dianalisis secara rutin, misal 3 bulan sekali. Potensi-potensi fraud yang ditemukan dari sarana pengaduan dapat segera ditindaklanjuti agar tidak berkembang lebih lanjut.
  7. Lakukan edukasi dan publikasi terkait keberadaan dan cara menggunakan sistem pelaporan fraud.
    Sarana pengaduan potensi fraud harus disosialisasikan kepada staf faskes dan pasien agar dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Informasikan kepada mereka cara menggunakan sarana pengaduan tersebut, apa saja potensi fraud yang dapat dilaporkan, serta jaminan kerahasiaan identitas dan laporan yang mereka sampaikan.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)

*Bila Anda merasa artikel ini bermanfaat, silakan share artikel ini. Sehingga manfaat ini juga dapat dirasakan orang sekitar Anda.
*Anda kami persilakan untuk menggunakan artikel ini untuk berbagai keperluan. Namun, jangan lupa mencantumkan nama penulis dan referensi terkait lainnya untuk menghindari plagiarisme.

 

Saluran komunikasi yang dimiliki rumah sakit merupakan salah satu jalur untuk menampung informasi potensi fraud. Saluran komunikasi seperti hotline akan membantu Anda menangkap sebanyak mungkin informasi potensi-potensi fraud yang mungkin terjadi di RS.

ACFE (2012) menyebutkan 2 bukti dampak manfaat sistem pelaporan terhadap upaya deteksi potensi fraud:

  1. Sistem pelaporan yang baik dan melindungi informan, mendorong terjadinya pelaporan fraud dari staf internal (50,9%).
  2. Organisasi yang memiliki sistem pelaporan fraud (hotline) menerima lebih banyak laporan fraud (50,9%) dibandingkan dengan organisasi yang tidak memiliki hotline (35%).

pelajariBukti lainnya dilaporkan oleh US Securities and Exchange Comission (2011) bahwa 7 minggu pasca diluncurkan Dodd-Frank Whistleblower Program di Amerika Serikat, diterima 334 laporan fraud dari berbagai pihak.

Namun sayangnya, tidak mudah untuk mengoptimalkan sistem pelaporan dan respon fraud di rumah sakit. Berikut hambatan-hambatan yang mungkin timbul dalam proses optimalisasi saluran pelaporan di RS Anda:

  1. Kurang bukti kuat
    Seringkali saksi yang menemukan potensi fraud enggan melapor karena kurangnya bukti. Saksi sering kali tidak serta merta memfoto, merekam, atau mengkopi dokumen-dokumen penting terkait kejadian potensial fraud yang dijumpainya. Tidak jarang tindakan pelayanan yang berpotensi fraud kadang ditemukan tidak sengaja oleh saksi. Atau bukan tidak mungkin, saksi malah tidak mengenali bahwa tindakan yang dialaminya merupakan tindakan potensial fraud sehingga merasa tidak perlu membuat dokumentasi bukti. Minimnya bukti membuat saksi enggan melaporkan potensi fraud yang dialaminya. Mereka khawatir akan dianggap mencemarkan nama baik bila salah melapor.
  2. Khawatir terhadap publikasi negatif
    Kekhawatiran ini sering dialami oleh saksi yang merupakan staf internal fasilitas kesehatan. Saksi khawatir pelaporan yang dilakukannya akan merusak nama baik rekan sejawatnya, atau lebih luas lagi, fasilitas kesehatan tempatnya bekerja.
  3. Pertimbangan sumber daya
    Terduga yang dilaporkan kepada pimpinan fasilitas kesehatan akan mendapat sanksi bila perbuatannya terbukti fraud. Dalam Permenkes No. 36 tahun 2015 sanksi yang diberikan kepada pelaku fraud memang “hanya” berupa teguran lisan, teguran tertulis, maupun pengembalian dana. Namun, sanksi seperti ini dapat membuat pelaku tersinggung dan melepaskan pekerjaannya. Bila pelaku merupakan klinisi senior yang sudah memiliki banyak pasien, keputusannya untuk meninggalkan faskes akan menjadi masalah baru. Pertimbangan lain terkait sumber daya adalah minimnya tenaga yang dapat diperbantukan untuk menangani laporan dugaan fraud.
  4. Kerugian material dan immaterial
    Banyak proses yang harus dilalui untuk merespon sebuah pelaporan. Mulai dari pengumpulan bukti-bukti yang lebih detil yang mungkin melibatkan saksi, melakukan investigasi, hingga memberi sanksi. Proses ini memakan waktu yang tidak sedikit dan memberi dampak psikologis bagi banyak pihak yang terlibat. Tentunya proses respon ini juga akan memakan biaya yang tidak sedikit.
  5. Kekhawatiran staf internal dianggap sebagai “pengkhianat” oleh rekan kerjanya sendiri
    Bila ketahuan melaporkan terduga fraud, saksi bisa saja dikucilkan oleh rekan kerjanya sendiri. Situasi terkucil, didiamkan, atau diperlakukan dingin oleh teman sekerja bukan merupakan situasi yang menyenangkan bagi seorang karyawan. Tuduhan sebagai “pengkhianat” maupun “penjilat atasan” juga dapat disematkan kepada pelapor ini. Rasa tidak nyaman ini tentu tidak menyenangkan bagi siapapun.
  6. Sistem pelaporan yang tidak dilengkapi dengan sistem respon
    Ketiadaan sistem respon, membuat saksi tidak percaya terhadap institusi. Laporan dugaan fraud yang pasti tidak ditindaklanjuti membuat saksi malas melapor.
  7. Staf tidak merasakan adanya komitmen pimpinan dalam upaya anti fraud layanan kesehatan
    Pengendalian fraud di sebuah institusi sangat tergantung dari komitmen pimpinan. Rekomendasi-rekomendasi yang diajukan staf sebagai tindak lanjut hasil pelaporan tidak akan berjalan bila pimpinan tidak bersikap tegas. Ketidakpastian penanganan potensi fraud, membuat staf enggan untuk melaporkan dugaan fraud yang ditemui secara berkala.
  8. Staf tidak tahu/ tidak sadar bahwa organisasi sudah memiliki sistem pelaporan fraud dan sistem perlindungan pelapor
    Bisa jadi saksi tidak melaporkan potensi fraud karena tidak tahu bahwa institusi memiliki saluran pelaporan potensi fraud. Pelanggan internal maupun eksternal ini mungkin khawatir menyampaikan informasi potensi fraud kepada pihak yang salah sehingga memilih diam.

Pengalaman saya ketika sharing dengan rumah-rumah sakit peserta pelatihan “Membangun Sistem Pencegahan Kecurangan JKN di Rumah Sakit”, hambatan paling banyak ditemui adalah nomer 7. Minimnya komitmen pimpinan untuk turut andil dalam mengendalikan fraud membuat tim anti fraud merasa “pupus” untuk menindaklanjuti laporan dugaan fraud yang masuk. “Percuma buat laporan fraud dan mengusulkan program anti fraud bila tidak didukung pimpinan”, kira-kira begitu keluh mereka saat sharing. Laporan yang sudah disusun dengan detil akhirnya menumpuk begitu saja tanpa tindak lanjut yang jelas. Dampaknya, program anti fraud yang sudah disusun seringkali batal dilaksanakan.

Nah, bagaimana dengan rumah sakit Anda? Apa hambatan terbesar dalam mengelola sarana informasi untuk menangkap potensi fraud?

Lalu bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi hambatan tersebut?

Temukan jawabannya pada artikel saya berikutnya.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH (This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.)

*Bila Anda merasa artikel ini bermanfaat, silakan share artikel ini. Sehingga manfaat ini juga dapat dirasakan orang sekitar Anda.
*Anda kami persilakan untuk menggunakan artikel ini untuk berbagai keperluan. Namun, jangan lupa mencantumkan nama penulis dan referensi terkait lainnya untuk menghindari plagiarisme.

Kerangka Acuan Webinar

Peran Dinas Kesehatan dalam Upaya Pencegahan Fraud
Di Fasilitas Kesehatan – Berbagi Best Practice dari Dinkes DI Yogyakarta

  Latar Belakang

Permenkes No. 36/ 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa Dinas Kesehatan memilki peran untuk membangun sistem pencegahan kecurangan baik di FKTP maupun FKRTL. Dinas Kesehatan harus membangun sistem pencegahan kecurangan JKN di FKTP melalui: (a) penyusunan kebijakan dan pedoman pencegahan Kecurangan JKN; (b) pengembangan pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada kendali mutu dan kendali biaya; dan (c) pengembangan budaya pencegahan Kecurangan JKN sebagai bagian dari tata kelola organisasi dan tata kelola klinis yang baik. Kegiatan ini semua harus dibawah koordinasi dan pembinaan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setempat.

Peran dinas dalam membangun sistem pencegahan kecurangan JKN di FKRTL sedikit berbeda dengan di FKTP. Permenkes No. 36/ 2015 mengamanatkan bahwa FKRTL harus membangun sistem pencegahan kecurangan sendiri di institusinya. Dinas Kesehatan dalam hal ini lebih banyak berperan sebagai pembina. Lebih lanjut Dinas Kesehatan memiliki peran lain yaitu dengan menerima pengaduan terkait fraud layanan kesehatan dan menyelesaikan perselisihan. Dinas Kesehatan juga memilki peran dalam pembinaan dan pengawasan. Peran ini dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan melalui: (a) advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; (b) pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan (c) monitoring dan evaluasi.

Saat ini belum banyak Dinas Kesehatan yang menjalankan perannya dengan optimal. Salah satu Dinas Kesehatan yang telah melakukan pembinaan terhadap fasilitas kesehatan adalah Dinas Kesehatan DI Yogyakarta. Dalam webinar kali ini, PKMK FKKMK UGM mengundang Dinas Kesehatan DI Yogyakarta untuk berbagi best practice dalam membangun sistem pencegahan kecurangan JKN di DI Yogyakarta.

  Tujuan

Tujuan webinar secara umum adalah untuk berbagi best practice yang telah dilakukan Dinkes DI Yogyakarta dalam membangun sistem pencegahan kecurangan JKN. Secara khusus kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan:

  1. Peran Dinas Kesehatan dalam membangun sistem pencegahan kecurangan JKN di DI Yogyakarta.
  2. Langkah persiapan dalam membangun sistem pencegahan kecurangan JKN di DI Yogyakarta.
  3. Program-program yang dilakukan Dinas Kesehatan DI Yogyakarta dalam membangun sistem pencegahan kecurangan JKN di DI Yogyakarta.
  4. Evaluasi program pencegahan kecurangan JKN di DI Yogyakarta.

  Lokasi dan Waktu

Lokasi : Lab. Leadership Gd. IKM Lt. 3 Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM
Waktu : Jumat, 23 Februari 2018 pukul 10.00 – 11.30 WIB


  Narasumber

Drg. Pembayun Setyaning Astutie, M.Kes


  Peserta

  1. Dinas Kesehatan seluruh Indonesia
  2. Peserta Community of Practice Anti Fraud Layanan Kesehatan – PKMK FKKMK UGM

  Jadwal Kegiatan

Waktu (WIB) Kegiatan Fasilitator
10.00 – 10.10 Pembukaan dan Paparan Rundown oleh Moderator drg. Puti Aulia Rahma, MPH
10.10 – 10.30 Paparan Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Drg. Pembayun Setyaning Astutie, M.Kes
10.30 – 10.45 Diskusi sesi I drg. Puti Aulia Rahma, MPH
10.45 – 11.05 Paparan Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Drg. Pembayun Setyaning Astutie, M.Kes
11.05 – 11.20 Diskusi sesi II drg. Puti Aulia Rahma, MPH
11.20 – 11.30 Penutup drg. Puti Aulia Rahma, MPH

*Rundown acara dapat dimodifikasi sesuai kondisi saat diskusi berlangsung.

Video rekaman webinar

Keterangannya:
Video rekaman webinar hanya dapat diakses oleh anggota Community of Practice (CoP) Anti Fraud Layanan Kesehatan. Bila Anda belum terdaftar sebagai anggota, silakan daftarkan diri Anda melalui link berikut JADI ANGGOTA KOMUNITAS

 


  Informasi dan Pendaftaran

Maria Lelyana (Lely)
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Telp/Fax. (0274) 549425 (hunting), 081329760006 (HP/WA)
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
Website: www.mutupelayanankesehatan.net 

 

Upaya pemberantasan fraud layanan kesehatan tidak hanya seputar menghentikan pelayanan buruk dan klaim tinggi yang telah dilakukan provider. Tidak hanya tentang menghukum pasien yang pernah berkolaborasi dengan dokter melakukan tindakan palsu untuk mendapatkan klaim asuransi. Tetapi, pemberantasan fraud harus dimulai juga dari akar masalahnya. Salah satunya adalah dalam proses pendaftaran peserta: individu yang tidak layak, coba bergabung dalam program asuransi nasional. Tiga kelompok individu yang dimaksud adalah provider, broker asuransi, dan peserta. Isu inilah yang dibahas dalam webinar “Fighting Fraud in the Exchanges” yang diselenggarakan NHCAA, 25 Oktober 2017.

Kesalahan dalam proses perekrutan provider medorong terjadinya fraud dalam proses reimbursement. Provider dapat menggunakan kapasitas dan kewenangan klinis yang dimilikinya untuk melakukan tindakan tertentu untuk mendapat reimburse. Skema fraud dalam bentuk reimburse dapat muncul bila provider yang sebenarnya tidak kompeten menangani kasus tertentu, mengajukan klaim semata hanya untuk mendapat penggantian. Bisa juga, provider melakukan tindakan-tindakan klinis yang tidak perlu hanya untuk mendapat penggantian yang lebih tinggi.

Skema triangle fraud umumnya muncul terkait dengan kesalahan seleksi broker. Broker dapat saja menggunakan cara-cara yang menguntungkan diri sendiri dalam mendapatkan peserta asuransi misalnya tetap membuka jasa broker asuransi padahal lisensinya sudah habis. Potensi fraud ketiga adalah dalam skema adverse selection yang dilakukan peserta asuransi. Peserta dapat memalsukan kondisi kesehatan untuk mendapat cakupan asuransi luas dengan biaya murah. Peserta juga mungkin memalsukan identitas diri agar dapat menjadi peserta asuransi.

Poin penting dalam mengatasi skema-skema fraud yang dilakukan konsumen adalah membatalkan cakupan bagi peserta yang terbukti melakukan misrepresentasi aturan terkait. Bentuk-bentuk misrepresentasi aturan adalah alamat yang didaftarkan tidak bisa dilacak atau pendaftar yang memiliki alamat tersebut ternyata sudah meninggal; mengklaim SEP yang hilang padahal sebelumya memang tidak memiliki SEP; mengklaim SEP untuk “permanent move” padahal hanya menerima perawatan temporer atau padahal tetap tinggal di wilayah cakupan.

Banyak situasi yang mendorong terjadinya misrepresentasi aturan. Salah satunya adalah tersedianya produk jaminan kesehatan Platinum/ Gold hanya pada daerah tertentu sedangkan di daerah lain bahkan tidak terdapat manfaat jaminan sama sekali. Ketidakpahaman peserta terhadap aturan yang berlaku juga dapat jadi sebab terjadinya pelanggaran. Penyebab lainnya adalah tiadanya regulasi pembiayaan di negara-negara yang memiliki provider baik.

Setidaknya ada 3 model strategi dapat dilakukan untuk menggali skema fraud yang dilakukan oleh konsumen. Pertama adalah model firewall. Model ini menggunakan metode melakukan verifikasi kelayakan seluruh peserta yang mendaftar program asuransi. Kedua adalah model tertarget. Model ini menggunakan analisis data untuk mendeteksi misrepresentasi. Ketiga adalah model pasca pendaftaran. Model ini menggunakan metode utilisasi untuk melihat pemanfaatan program asuransi oleh konsumen.

Untuk mengidentifikasi pola-pola pemalsuan identitas peserta, beberapa strategi berikut bisa dilakukan. Tujuan implementasi strategi-strategi ini adalah untuk menggali lebih dalam data-data kepesertaan. Pertama, adalah melakukan investigasi alamat-alamat menggunakan P.O. Box di area-area yang menjadi cakupan asuransi. Kedua, adalah dengan menggali dan menginvestigasi 3 atau lebih pendaftar yang memiliki nama belakang berbeda namun tinggal dalam satu alamat, 3 atau lebih pendaftar yang memiliki alamat email maupun nomer telpon sama. Ketiga, melakukan investigasi data pendaftar dengan data serta alamat provider di wilayah cakupan. Keempat, menginvestigasi pendaftar berusia kurang dari 17 tahun atau lebih dari 66 tahun yang memilih jenis asuransi tertentu. Kelima, menginvestigasi pendaftar yang pernah dibatalkan jaminannya sebelumnya atau memiliki riwayat alamat yang tidak bisa ditelusur.

Skema fraud yang dilakukan pendaftar dapat juga terjadi di marketplace. Marketplace merupakan wadah bagi peserta untuk membeli asuransi kesehatan yang dibutuhkan. Dalam proses pendaftaran asuransi melalui marketplace, beberapa skema fraud dapat terjadi. Identifikasi skema-skema fraud ini dapat dilakukan dengan mengivestigasi alamat lokal pendaftar. Investigasi lebih lanjut dilakukan juga terhadap pemilik rumah yang alamatnya digunakan oleh pendaftar termasuk juga kepada para tetangga pendaftar. Identifikasi skema fraud dilakukan juga dengan mengidentifikasi broker misalnya dengan menghubungi nomer telpon yang digunakan oleh broker.

Red flag fraud yang terjadi di marketplace diantaranya:

  1. Pendaftar dengan nomer telpon yang tidak dapat dihubungi
  2. Pendaftar dengan alamat lokal yang merupakan property yang direntalkan/ dijual, alamat bisnis, sekolah atau fasilitas medis, atau alamat yang dikarang-karang.
  3. Beberapa pendaftar yang memiliki alamat, email dan nomer telpon sama.
  4. Alamat surat menyurat yang berbeda dengan alamat rumah atau yang merupakan alamat orang lain.
  5. Telpon sebelum atau sesaat setelah pengesahan kepesertaan, misalnya:
    1. Provider yang menelpon pihak asuransi menanyakan penyetujuan untuk melakukan tindakan
    2. Provider yang menelepon untuk memferivikasi eligibilitas dan mendapatkan jaminan spesifik
    3. Pendaftar yang menanyakan cara membayar premi sekaligus menanyakan alamat mereka
  6. Dokumentasi berupa template atau dokumentasi SEP yang tidak terlihat konsisten dengan standar.
  7. Kunjungan ke fasilitas medis sesaat setelah pengesahan jaminan.
  8. Pola pendaftaran yang mengarah perbuatan fraud dan terkait dengan beberapa broker.
  9. Laporan dari pihak internal tentang broker atau pendaftar yang bermasalah. Untuk mendapat laporan dari pihak internal diperlukan kerjasama dengan departemen yang ada di institusi kita.

Red flags ini kemudian ditindaklanjuti dengan investigasi. Pada masa investigasi, biasanya dilakukan penangguhan pembayaran. Proses investigasi dilakukan dengan menganalisis data/ informasi pendaftar melalui lembaga analis data (di Amerika seperti Lexis Nexis dan Market Exchange Integrity), google, google maps, facebook, linked-in, dan kunjungan langsung untuk mengecek alamat tinggal peserta. Investigasi lebih luas juga mencakup pemilik rumah, perusahaan real estate, maupun fasilitas-fasilitas terkait.

Setelah investgasi selesai dan terbukti bahwa konsumen melakukan fraud maka konsumen tersebut ditolak atau dihentikan dari program jaminan. Prosedur penghentian konsumen mengikuti prosedur yang berlaku di masing-masing lembaga asuransi. Misalnya di UPMC, salah satu perusahaan asuransi di Amerika, memberlakukan prosedur penghentian jaminan sebagai berikut: penerbitan surat penghentian jaminan – membuka proses banding untuk memberi kesempatan bagi pendaftar mengajukan dokumen untuk membantah dugaan fraud – mengupdate informasi penghentian jaminan terkini pada sistem klaim – dan melakukan pengawasan berkala.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH