Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak pada upaya penanganan kesehatan esensial termasuk upaya pengendalian pencegahan penyakit hepatitis, diketahui bahwa penyakit hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia. Bahkan secara Global Khusus di Indonesia, jumlah penderita penyakit hepatitis sebanyak 18 juta orang dan penderita hepatitis C sebanyak 2,5 juta orang, sedangkan perkembangan program penanganan hepatitis pada 2020 telah dilakukan di 470 kabupaten/kota dan telah melaksanakan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil.

Pada peringatan Hari Hepatitis Sedunia tahun 2021, merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian dan tindakan nyata secara global, regional, maupun nasional dalam mengurangi beban hepatitis di masyarakat, salah satunya melalui upaya untuk menjamin kehidupan sehat ibu dan anak melalui ANC sesuai standar, termasuk deteksi dini hepatitis B yang diderita ibu, karena Hepatitis B berisiko menular secara horizontal maupun vertikal dari ibu ke anak. Hal ini sejalan dengan tema hari hepatitis di Global, dan Indonesia mengusung tema “Segera Tangani Hepatitis”

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati, dkk (2019) mengenai Faktor Risiko Hepatitis B Pada Ibu Hamil di Kota Makassar Tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besar faktor risiko terjadinya Hepatitis B pada ibu hamil. Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, menggunakan studi kasus kontrol dengan besar sampel sebanyak 148 orang terdiri atas 74 orang untuk kelompok kasus dan 74 orang untuk kelompok kontrol dengan perbandingan kasus kontrol 1:1. Sampel yang diambil adalah ibu yang telah melakukan pemeriksaan kesehatan di wilayah kerja puskesmas Kota Makassar tahun 2019 secara purposive sampling.

Kesimpulan dari penelitian ini menemukan bahwa riwayat transfusi darah dan riwayat tinggal serumah dengan penderita hepatitis B merupakan faktor yang paling signifikan berisiko terhadap kejadian kepatitis B pada ibu hamil, serta menyarankan kepada puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas kesehatan untuk meningkatkan screening Deteksi Dini Hepatitis B (DDHB) agar mata rantai penyebaran virus hepatitis B dapat diputus, dan mencapai target program Nasional zero Hepatitis B tahun 2030.

sekengkapnya pada jurnal berikut

 

 

Di era pandemi Covid-19, telemedicine mulai dikenal oleh masyarakat sebagai akibat dari pembatasan kunjungan pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari penyebaran virus Covid-19 yang kian meluas. Dalam pelaksanaannya, dokter dan tenaga kesehatan lain pada fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya tetap memperhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan cara memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi berupa telemedicine dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan melalui telemedicine pada masa pandemi COVID-19 merupakan pelayanan kesehatan jarak jauh dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pemberian informasi kesehatan, diagnosis, pengobatan, pencegahan perburukan, evaluasi kondisi kesehatan pasien, dan/atau pelayanan kefarmasian, termasuk untuk pemantauan terhadap pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri. Agar pelayanan kesehatan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi berupa telemedicine dan pemantauan pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri secara daring dapat dilaksanakan secara terstandar berdasarkan tata kelola klinis yang optimal dan efektif, diperlukan suatu pedoman yang secara khusus mengatur terkait pelayanan telemedicine pada masa pandemi COVID-19 dan pemantauan pasien COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri.

Berikut ini pedoman pelayanan Telemedicine terbaru yang menggantikan pedoman sebelumnya mengenai Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19. Pedoman ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dokter dan tenaga kesehatan lain, fasilitas pelayanan kesehatan, penanggung jawab aplikasi telemedicine, dan pemangku kepentingan terkait dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui telemedicine pada masa pandemi COVID-19. Serta, Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah provinsi, dan dinas kesehatan daerah kabupaten/kota dapat melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan telemedicine pada masa pandemi COVID-19 sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

selengkapnya

 

 

Disarikan Oleh: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama hampir dua tahun, juga membawa dampak besar, baik secara langsung maupun tidak untuk kesehatan anak. Data dari tim Gugus Tugas Covid-19, menyatakan hingga 13 Juli 2021 sekitar 328 ribu anak berusia 0-18 tahun terkonfirmasi Covid-19. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga mencatat setidaknya satu dari delapan kasus Covid-19 terjadi pada anak. Pada pelayanan keperawatan neonatus di masa pandemi Covid-19, setidaknya terdapat 3 hal kedaruratan akibat pandemi Covid-19 berdampak pada pelayanan kesehatan, seperti yang dikemukakan oleh Montes MT dalam sebuah penelitian mengenai Neonatal nursing in the Covid-19 pandemic: can we improve the future yakni: 1) Organisasi dan alur kerja unit neonatal, 2) Perawatan perinatal dan neonatal, termasuk menyusui, dan 3) Komunikasi-kerjasama dengan orang tua.

Pengorganisasian dan alur kerja di unit neonatal, selama krisis ini beberapa perubahan besar dalam alur kerja harian memerlukan transformasi besar dalam model pelayanan dan budaya kerja. Ruang dan alur kerja telah di reorganisasi untuk pasien, apakah mereka terkena Covid-19 atau tidak. Selain itu, pengalaman dalam mengalami kesulitan dengan kekurangan staf pekerja pelayanan kesehatan karena staf terinfeksi atau dipindahkan ke posisi lain untuk memperkuat area rumah sakit yang terkena dampak parah Covid-19 Ini telah memaksa shift panjang untuk menjamin kualitas pelayanan, yang membuat banyak hal sulit dan tidak terduga pada awalnya. Selain itu, akses terhadap kedua orang tua telah terbatas, bahkan dihilangkan untuk anggota keluarga lainnya, sehingga mengubah landasan dari model kelurga sebagai pusat layanan, di mana orang tua tidak dianggap sebagai pengunjung, melainkan sebagai kolaborator dan pengasuh utama dalam pengasuhan anak mereka.

Pada pelayanan perinatal dan neonatal, termasuk menyusui pada rekomendasi awal mengenai manajemen mengenai ibu nifas dengan SARSCoV-2-positif mendukung perubahan pada rencana persalinan dengan memperkenalkan pembatasan kehadiran orang tua lain di unit persalinan dan nifas, baik dalam persalinan pervaginam dan operasi caesar. Selain itu, bayi yang lahir direkomendasikan dari ibu yang terinfeksi serta bayi baru lahir dengan infeksi yang dikonfirmasi menjadi dipisahkan dan diisolasi dalam ruangan tersendiri. Kemudian rekomendasi tersebut dimodifikasi berdasarkan kasus per kasus dasar. Pemisahan tidak dianjurkan jika ibu dalam keadaan baik kondisi klinis, dengan ketentuan bahwa tindakan pencegahan dapat dilakukan guna menjamin bayi terhindar dari penularan termasuk menggunakan masker wajah dan berlatih kebersihan sebelum menyusui. Meskipun kepatuhan terhadap rencana darurat itu penting, rekomendasi harus didasarkan pada pengambilan keputusan berbasis bukti daripada ketakutan/kepanikan.

Keputusan yang diambil selama wabah pandemi harus memiliki dampak sesedikit mungkin pada model pelayanan yang berfokus pada keluarga. Bahkan, meneruskan keunggulan pelayanan yang tidak bertentangan dengan tindakan pencegahan penularan virus. Selain sering cuci tangan, bersihkan payudara sebelum menyusui dan kontak kulit-ke-kulit, dan memakai masker wajah, risiko bagi orang lain dapat dikurangi, misalnya, dengan menguji SARS-CoV-2 untuk orang tua dan tenaga kesehatan dan membatasi akses mereka ke mana anak mereka ditempatkan.

Terkait dengan menyusui, terlepas dari manfaat fisiologis bagi bayi dan ibu, menyusui juga membantu ibu untuk menghadapi stress rawat inap dengan lebih baik, terhubung secara emosional dan berpartisipasi dalam perawatan bayi, dan memfasilitasi dan membangun peran ibu. Pedoman internasional juga menyarankan bahwa menyusui harus dilanjutkan, apakah menyusui atau tidak pada orang tua memiliki infeksi SARS-CoV-2, dengan tindakan pencegahan yang tepat, Selain itu, ada banyak cara untuk pemberian ASI jika mereka tidak mau mengambil risiko, seperti mempasteurisasi susu mereka sendiri, atau membuang susunya sambil tetap menyusui (dengan ekstraksi) selama 14 hari. ASI donor yang dipasteurisasi (bank susu) adalah sumber penting untuk bayi dengan perawatan intensif yang ibunya sementara tidak dapat memberikan susu secara langsung.

Selanjutnya mengenai komunikasi-kerjasama dengan orang tua, perawat merupakan kunci dalam komunikasi dan proses kolaborasi dengan orang tua dan mereka berada dalam posisi yang ideal untuk mengeksplorasi kecemasan, ketakutan, dan kesulitan pasien agar dapat mencapai pemberdayaan dan kompetensi dalam perawatan bayi mereka. Orang tua dari bayi yang dirawat akan sangat khawatir tentang pemisahan, pengasuhan anak mereka, dan kesulitan dalam berbagi emosi dengan anggota keluarga yang lain. Dalam hal Interaksi dengan bayi dan orang tua telah dibatasi untuk mengurangi penularan, mengakibatkan terdapat jarak fisik dan emosional. Selain itu, dampak langsungnya terhadap kualitas perawatan bayi, hal itu juga menghambat komunikasi dan kolaborasi yang efektif dengan keluarga, yang berkontribusi pada perasaan kualitas pengasuhan yang rendah dan peningkatan kesulitan moral.

Selain itu, Pandemi ini juga telah mengunggkap bahwa pelatihan komunikasi perawat dan keterampilan relasional harus ditingkatkan untuk menanggapi perasaan orang tua dengan empati dan budaya kompetensi. Meskipun tidak ada teknologi yang dapat menggantikan komunikasi tatap muka, telehealth bisa menjadi pelengkap yang baik, perawat diharapkan memahami penggunaan sistem webcam untuk memfasilitasi komunikasi dan interaksi dengan orang tua secara positif. Telemedicine memberikan kesempatan kepada orang tua yang terisolasi untuk mengunjungi anak mereka dari jarak jauh dan mengurangi kecemasan mereka dan stress. Perawat perlu bekerja sama dengan profesi yang dapat memberikan bantual sosial dan psikolog, karena mereka dapat memainkan peran peran penting dalam mengidentifikasi dan mendukung keluarga yang berisiko sosial dan dengan sumber keuangan yang terbatas.

Terkait dengan tekanan moral dan konsekuensinya pada profesional Kesehatan tidak dapat dihindari, saat ini perawat adalah pemain penting dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Di masa pandemi ini, faktor-faktor seperti kekurangan sumber daya medis, terlalu banyak pekerjaan dengan shift panjang, pembatasan sosial dan rasa sakit dari kehilangan rekan yang terinfeksi serta ketakutan untuk menginfeksi anggota keluarga mereka telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan stres pada perawat. Selain mengatasi rasa takut tertular, mereka juga harus mengambil tanggung jawab yangs selalu berubah. Dalam situasi ini, untuk mengenali dan mengurangi tekanan moral diperlukan perlu dirancang dengan baik tindakan yang mendorong pengurangan stres, memberikan dukungan psikologis dan mempromosikan ketahanan akan membantu mengurangi stres pada aktivitas sehari-hari di unit neonatus. Strategi seperti mengidentifikasi profesional dan ahli senior yangr paling rentan, melakukan pembekalan bersama tentang etika dalam kasus klinis, komunikasi yang efektif dalam tim, pedoman yang akurat untuk diikuti, dan fleksibilitas dalam kepemimpinan perawat untuk mengatasi kesulitan tersebut dan memberikan kenyamanan moral agar perawat dapat melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif.

Pada penelitian ini juga mengidentifikasi adanya peluang dalam pembelajaran perawatan bayi baru lahir selama pandemi covid-19, bahwa pelayanan keperawatan anak telah mengalami kemunduran beberapa beberapa dekade waktu ini dan unit neonatal telah melihat banyak pilar yang mulai goyah. Namun, akan selalu ada bayi atau orang tuanya akan terus terinfeksi di masa Pandemi COVID-19 ini. Untuk itu, perawat perlu menghadapi kesulitan dalam mempertahankan model pendekatan keluarga sebagai fokus layanan. Terdapat peluang besar untuk memanfaatkan situasi yang menantang dan mendorong penyedia layanan kesehatan untuk merenungkan kembali strategi yang berharga dalam mengembangkan keputusan yang seimbang untuk mengatasi risiko dan ketakutan terhadap penularan, serta menerapkan kerangka perawatan neonatal berdasarkan promosi perkembangan neurologis melalui pendekatan keluarga, yang pada akhirnya dapat peningkatan pengetahuan agar perawat mampu bersaing dengan adanya wabah di masa depan.

Sumber:
Montes MT, Rubia NH, Ferrero A, dkk. Neonatal nursing in the COVID-19 pandemic: can we improve the future?. Journal of Neonatal Nursing 26 (2020) 247–251

 

 

Pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran bagi Indonesia untuk terus meningkatkan kewaspadaan atas kondisi kegawatdaruratan Kesehatan. Pandemi ini juga sekaligus menyebabkan tekanan yang cukup berat bagi sistem kesehatan terutama bagi upaya pencegahan penularan, pelayanan kesehatan dasar dan rujukan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan terutama untuk deteksi dan surveillance, uji laboratorium dan penyediaan obat dan perbekalan kesehatan. Oleh karena itu, reformasi sistem kesehatan menjadi sangat penting dalam menghadapi pandemi.

Tujuan dari Reformasi Sistem Kesehatan Nasional adalah memperkuat sistem kesehatan di berbagai aspek dan memastikan target RPJMN 2020-2024 dan target global tepat waktu. Pada dasarnya reformasi sistem kesehatan bukanlah mengubah sistem yang sudah ditetapkan namun penekanan pada reformasi di masing-masing sub sistem kesehatan, yang dijabarkan dalam 8 area reformasi yaitu pendidikan dan penempatan tenaga kesehatan, penguatan fasilitas kesehatan tingkat pertama, peningkatan RS dan pelayanan kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan Terluar (DTPK), kemandirian farmasi dan alat kesehatan, penguatan keamanan dan ketahanan kesehatan, pengendalian penyakit dan imunisasi, inovasi pembiayaan kesehatan, dan optimalisasi teknologi informasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati T (2020) mengenai Pengarusutamaan Konsep Reformasi Sistem Kesehatan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Riau Tahun 2021, didapatkan hasil bahwa RKPD Provinsi Riau Tahun 2021 telah mengadopsi 8 area reformasi sistem dalam 7 program pada Dinas Kesehatan Provinsi Riau. Penentuan target, sasaran dan lokasi prioritas masing-masing kegiatan dapat dipertajam dalam penyusunan rencana kerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD) baik Dinas Kesehatan Provinsi maupun Rumah Sakit Daerah milik Provinsi Riau, yang sesuai dengan strategi kunci reformasi sistem kesehatan. Urgensi terhadap penyusunan sistem kesehatan daerah yang sesuai dengan kondisi dan capaian indikator kesehatan menjadi agenda besar dalam pembangunan kesehatan di Provinsi Riau. Baca lebih lanjut di link berikut:

klik disini