Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Memberikan peningkatan kualitas dan keamanan kesehatan selalu menjadi tantangan dunia internasional. Dunia internasional telah menggunakan metode PDSA sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas mutu kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya artikel yang telah dipublikasikan beberapa negara maju dan berkembang yang menggunakan PDSA untuk menyelesaikan masalah kesehatan.

Metode PDSA ini dikembangkan oleh Deming dan Shewart tahun 1986 dari industri manufaktur yang dikenal dengan metode plan-do-check-action (PDCA). Pada 1996, Langley mengembangkan metode PDCA sebagai metode yang bisa digunakan dalam konteks kesehatan. Sekarang PDCA telah menjadi metodologi ilmiah yang diperkenalkan oleh Speroff dan O'Connor tahun 2004 dengan nama metode plan-do-study-action (PDSA). PDCA dan PDSA memiliki siklus yang berbeda, seperti pada tabel dibawah ini:

gb-13-1

Siklus PDSA menggunakan empat tahap pendekatan. 1). Plan adalah mengidentifikasi tahap perubahan untuk perbaikan; 2). Do adalah tahap menguji perubahan yang telah dilakukan; 3). Study adalah tahap meneliti keberhasilan perubahan; 4). Act adalah tahap mengidentifikasi adaptasi dan menginformasikan siklus baru.

Perlu dipahami bahwa penggunaan Siklus PDSA mempunyai intervensi yang kompleks dan dipengaruhi oleh konteks lokal. Intervensi yang kompleks menyebabkan pelaporan atau dokumentasi yang dilakukan tidak lengkap. Hasil sistematika review jurnal menunjukkan bahwa dari 73 artikel yang masuk kriteria inklusi sebanyak 47 artikel yang melaporkan siklus PDSAnya secara rinci, kurang dari 20% artikel yang melaporkan penggunaan siklus berulang, dan 15% yang melaporkan perkembangan penggunaan siklus PDSA. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kerangka teoritis yang dikembangkan oleh Michael dan tim untuk menilai penerapan siklus PDSA seperti pada tabel dibawah ini:

gb-13-1

Saat ini belum ada kriteria formal untuk mengevaluai aplikasi atau pelaporan siklus PDSA yang ada. Oleh karena itu, pedoman pelaporan perlu dibuat untuk mendukung pelaporan yang sistematis dan penggunaan PDSA yang tepat. Pedoman pelaporan PDSA dapat meningkatkan legitimasi ilmiah.

Pedoman pelaporan memungkinkan transparansi mengenai isu-isu kesehatan sehingga dapat membangun pengetahuan tentang bagaimana menggunakan metode PDSA efektif dan prinsip-prinsip untuk meningkatkan peluang keberhasilan. Metode PDSA diharapkan dapat diterapkan sesuai dengan pedoman siklus yang disusun oleh pendiri, metode PDSA harus diterapkan dengan konsistensi yang lebih besar dan lebih besar.

Sumber : Michael J.Taylor, dkk. 2013. Systematic review of the application of the plan-do-study-act method to improve quality in healthcare. BMJ Quality and Safety Online.

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri S.Kep.,MPH (Peneliti Divisi Mutu PKMK FK UGM)

Upaya menurunkan AKI masih harus melalui jalan yang terjal. Terlebih bila dikaitkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 karena waktu yang tersisa hanya tinggal satu tahun ini. Sehingga diperlukan upaya-upaya yang luar biasa dan perbaikan kualitas layanan agar dapat menekan tingginya AKI. Kualitas pelayanan bayi baru lahir tidak terlepas dari dukungan dan ketersediaan peralatan esensial neonatal care, kelengkapan obat-obatan, ketersediaan staf, pelatihan dan keterampilan staf. Sama seperti yang terjadi di negara yang berpenghasilan rendah seperti Ghana. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia terutama di wilayah sulit seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di prediksikan bahwa hanya sekitar 33,2%1 bayi yang lahir dengan akses fasilitas yang baik. Demikian pula dengan pelatihan penggunaan fasiltas pelayanan dasar yang diprediksikan hanya berdampak kecil terhadap penyediaan kualitas layanan. Artikel yang disajikan oleh Linda Vesel dkk lebih cenderung melihat bagaimana kualitas pelayanan bayi baru lahir dilihat dari pemberi layanan yang dibagi menjadi tujuh tipe yakni: Regional Hospital, RSUD, RS lainnya, RS Swasta, Puskesmas, Klinik dan rumah bersalin.

Dalam penelitiannya, tim peneliti ingin melihat apakah aspek-aspek dibawah ini tersedia pada tujuh level pelayanan yang ada di Ghana, seperti:

  1. Aspek infrastrukutur
    Pelayanan ini lebih fokus untuk melihat (1) ketersediaan air bersih, (2) Ketersediaan listrik, (3) Tempat untuk menyimpan alat kesehatan (kulkas), (4) Bak cuci dan sabun pencuci tangan. Semua indikator di atas sudah tersedia pada level Region hospital, RSUD dan RS Swasta.
    Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia khususnya di wilayah NTT. Di level RSUD masih sering ditemukan permasalahan terkait dengan ketersediaan air bersih maupun kecukupan listrik yang masih menjadi kendala. listrik yang digunakan oleh RSUD bukanlah dari gardu tersendiri sehingga ketika lampu mati pada wilayah tersebut akan langsung berpengaruh ke rumah sakit, sedangkan respon time untuk menyalakan getset terbilang masih cukup lama. hal ini akan langsung berpengaruh terhadap keawetan alat-alat kesehatan yang dimiliki. Demikian pula halnya dengan kulkas yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan alat kesehatan juga masih sering disalahgunakan oleh beberapa RSUD sebagai tempat untuk menyimpan makanan dll. Wastafel sudah mulai di modifikasi oleh pihak RSUD untuk menggunakan wastafel dari ember namun masih terkendala pada kesadaran petugas kesehatan untuk mencuci tangan untuk mencegah infeksi, hal ini terbukti dari tingginya angka sepsis di beberapa RSUD di NTT 2.

  2. Aspek kemampuan pelayanan dasar untuk bayi baru lahir untuk semua level pelayanan dibagi menjadi 3 bagian yakni:
    1. Ketersediaan pelayanan resusitasi yakni tersedianya tas dan masker, oksigen silinder dan aspirator.
    2. Pelayanan bayi BBLR dan masalah pemberian makanan yakni tersedianya inkubator, timbangan bayi dan gelas untuk mengukur air susu.
    3. Umum yakni ketersediaan cairan intravena dan setelan infus. 

      Hasil yang didapatkan dalam penelitian1 menyatakan bahwa kecuali RSUD dan RS swasta selain itu tidak memiliki tas dan penutup wajah untuk resusitasi. Berbeda halnya dengan rumah bersalin yang memiliki peralatan resusitasi yang lebih spesifik dibandingkan dengan klinik meskipun terlepas dari itu mereka sama-sama memiliki timbangan bayi BBLR. Meskipun demikian 1 dari 4 RSUD di sana tidak memiliki inkubator yang dapat berfungsi dan 2 RSUD tidak memiliki cups untuk mengukur air susu. Dan untuk ketersediaan cairan intravena dan setelan infus tersedia pada semua jenis fasilitas pelayanan yang ada.

      Hampir sama dengan ketersediaan alat esensial seperti Inkubator, di wilayah NTT terutama di kabupaten masih kekurangan bahkan lebih ekstrim karena ada RSUD yang menaruh 2 bayi kedalam 1 inkubator, hal ini pernah terjadi karena minimnya peralatan kesehatan. Dalam penelitian lain2 juga dikemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk menunjang pelayanan dasar ponek di RSUD yakni penyediaan alat emergency yang memadai, penyediaan CPAP/ ventilator, penyediaan inkubator, penyediaan oksigen sentral, penyediaan injeksi phenobarbital.

  3. Aspek ketersediaan obat dasar untuk bayi baru lahir yang sakit dibagi menjadi 3 bagian yakni:
    1. Manajemen sepsis yakni dengan penyediaan intramuscular ampicillin dan intramuscular gentacimicin
    2. Manajemen convulsion yakni dengan penyediaan intravenous diazepam
    3. Pencegahan permasalahan pernafasan yakni dengan penyediaan intramuscular dexametazon.

      Pada pelayanan regional hospital dan RSUD sudah menyiapkan semua jenis obat yang dibutuhkan untuk pelayanan anak namun hanya 1 RSUD saja yang tidak memiliki dexametazon. Untuk ketersediaan diazepam juga sudah di stok bahkan oleh rumah bersalin maupun klinik. Bahkan untuk pelayanan dengan fasilitas yang rendah sudah memiliki kecukupan ampicillin sebagai antibiotika namun berbeda halnya dengan di Indonesia dimana kecukupan obat masih menjadi kendala baik dari ketersediaan obat maupun cara pemeliharaan obat. Pentingnya melakukan pengawalan dalam pengadaan obat di RSUD perlu diperhatikan agar obat-obat yang sudah dipesan benar-benar digunakan dan bermanfaat bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Referensi:

  1. Linda vessel, Alexander Manu, Terhi J Lahela etc, Quality Of Newborn Care: A health facility assessment in rural Ghana using survey, vignette and surveillance data.
  2. Laksono Trisnantoro, Hanevi Djasri, Puti A Rahma, Muhammad Hardhantyo, Evaluasi Mendalam Hasil Audit Maternal Perinatal di 3 RSUD Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Penulis : Andriani Yulianti SE.,MPH

Seiring perkembangan dunia kesehatan yang semakin pesat dan kebutuhan akan pelayanan yang aman serta bermutu, banyak pemerintah di dunia mulai menempatkan mutu pelayanan kesehatan sebagai hal yang vital. Dua isu utama yang sering menjadi fokus ialah keselamatan pasien dan efektivitas pelayanan. Maka, diperlukan dewan/board khusus di sektor kesehatan sebagai penentu atau pencetus peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Banyak hasil penelitian menunjukan bahwa RS dengan dewan kesehatan yang aktif dalam mengagendakan program-program peningkatan mutu memiliki quality improvement yang tepat sasaran dengan hasil yang baik di banyak indikator. Sebaliknya, dewan yang tidak aktif, diidentifikasikan menjadi salah satu penyebab kegagalan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Seperti penelitian di Inggris dan Australia yang menunjukan bahwa dewan kesehatan memiliki peranan penting dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Saat ini, penelitian maupun project peningkatan mutu lebih banyak menitikberatkan pada klinisi dan staf management sedangkan dewan kesehatan diabaikan. Kemudian, dewan kesehatan di beberapa negara merasa kurang diberi pengetahuan mengenai quality improvement dalam pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, beberapa negara sudah membuat dokumen guideline khusus untuk mengatasi masalah tersebut.

Sebuah studi kualitatif di Victoria, Australia bisa menjadi contoh bagi kita. Di Victoria, Australia terdapat 85 unit pelayanan kesehatan masyarakat yang semuanya memiliki dewan kesehatan. Para dewan kesehatan ini bertugas untuk memastikan efektifitas dan akuntabilitas sistem pelayanan dan mengidentifikasi berbagai masalah dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Setiap dewan memiliki 6-12 anggota yang bersifat independen, ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan dengan kontrak 3 tahun kerja dan kemungkinan untuk diperpanjang pada periode selanjutnya. Anggota dewan yang bertugas di daerah metropolitan dan regional yang luas mendapatkan gaji sedangkan di daerah subregional dan rural bekerja sebagai volunteer. Masing-masing dewan diharuskan untuk membentuk komite mutu, seperti komite penanganan resiko dan komite audit.

Selama 10 tahun terakhir banyak perubahan pada dewan kesehatan ini. Pada awalnya mereka tidak begitu peduli dengan isu peningkatan mutu namun seiring dengan berjalannya waktu kini mereka lebih memperhatikan tentang peningkatan mutu. Mereka berpendapat bahwa mutu pelayanan merupakan suatu proses yang terus berkembang. Menetapkan prioritas menjadi hal yang harus dilakukan untuk memastikan arah dari peningkatan mutu pelayanan. Selain itu, pengukuran dan monitoring yang efektif juga menjadi critical factor disamping memastikan akuntabilitas dari para pelaku pelayanan kesehatan serta budaya kerja yang terbuka dan transparan.

Dalam perjalanannya, ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh para dewan kesehatan. Beberapa diantaranya adalah sumber daya yang dirasa kurang dan kebutuhan akan networking antara sesama anggota dewan untuk berdiskusi dan berbagi masih minim. Beberapa anggota dewan kesehatan merasa topik tentang mutu jarang diangkat pada pertemuan antara sesama anggota. Selain itu, masalah skill dan pengalaman juga menjadi perhatian utama. Banyak anggota dewan kesehatan yang kurang mendapat pelatihan mengenai mutu yang bisa diakses oleh semua anggota. Serta masalah akses informasi dan beberapa regulasi eksternal yang dinilai membebani dan tidak sejalan dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

Dewan kesehatan memegang peranan penting dalam membentuk kepemimpinan, akuntabilitas, dan budaya organisasi agar staf atau pelaku pelayanan dapat menyediakan pelayanan yang efektif dan efisien serta bermutu. Oleh karenanya perhatian untuk dewan kesehatan perlu ditingkatkan. Pelatihan mengenai isu-isu mutu terkini harus diberikan dan bisa diakses oleh semua anggota dewan kesehatan. Selain itu, untuk menemukan masalah dan menjamin terselenggaranya pelayanan yang bermutu perlu monitoring dan evaluasi dengan pengukuran yang continue, akurat, dan relevan. Kemudian perlu juga koordinasi yang baik antara pusat dan daerah baik itu akses data, regulasi, dan lain sebagainya.

Dewan kesehatan mempunyai tugas untuk memastikan penyelenggaraan sistem pelayanan kesehatan yang efektif demi terselenggaranya pelayanan yang bermutu. Sehingga sangat penting untuk mendukung tugas dari para dewan ini untuk terwujudnya pelayanan kesehatan yang bermutu.

Sumber : Bismark, M and Studdert, D. 2013. Governance of Quality of Care : A Qualitative Study of Health Service Boards in Victoria, Australia. BMJ Quality and Safety Online.

Oleh : Stevie Ardianto Nappoe., SKM (Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Kesehatan dan Kedokteran Undana)

Telah terbit Keputusan Menteri Kesehatan No 455 Tahun 2013 tentang Asosiasi Fasilitas Kesehatan. Dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES), Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI) merupakan Forum asosiasi fasilitas kesehatan yang akan melakukan negosisasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.

Keputusan ini menjadi pembahasan seluruh organisasi profesi di Indonesi karena di dalam proses tersebut, hampir tidak melibatkan organisasi profesi dalam menyusunnya. Sehingga Organisasi profesi mempertanyakan mengapa tidak organisasi profesi yang betul-betul sudah jelas, jelas organisasinya, legalitasnya, alamatnya dari pusat sampai cabang dibandingkan organisasi tersebut yang baru di awal," Ujar Drs. Saleh Rustandi selaku wakil IAI Pusat.

Forum asosiasi fasilitas kesehatan bertugas (1) melakukan negosiasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengenai besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan penyelenggara jaminan kesehatan nasional dan (2) mensosialisasikan hasil kesepakatan besaran pembayaran kepada anggota masing-masing.

Dan Forum ini mempunyai fungsi (1) memberikan masukan dan pertimbangan kepada Menteri Kesehatan tentang besaran pembayaran pelayanan kesehatan kepada fasilitas kesehatan dan (2) menyelenggarakan rapat forum sesuai kebutuhan.

Dalam acara Seminar peran sektor farmasi dalam jaminan kesehatan nasional yang diadakan pada 21 Desember 2013, Drs. Bayu Tedja Muliawan, M.Farm, MM, Apt selaku Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mengatakan "permenkes 455 itu menjadi usulan juga dari Prof budi yaitu asosiasi fasilitas kesehatan dalam berdiskusi yang diajak berdiskusi adalah faskes. itu mengajak organisasi profesi. Jadi sudah agak diubah yaitu mengajak organisasi profesi dalam membuat kebijakannya". (NAS)

Keputusan Menteri Kesehatan No 455 Tahun 2013 bisa di Download disini