Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Berkembangnya pemberitaan di media elektronik dan media cetak mengenai kasus dr. Ayu dkk menggelitik Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D untuk menelusur kasus tersebut dari perspektif manajemen rumah sakit. Ketua Magister Manajemen Rumah Sakit FK UGM ini menjelaskan bahwa keputusan dari MA (Mahkamah Agung) tidak mencerminkan apa yang diajarkan di manajemen rumah sakit yaitu harus team work. Dan dalam kasus tersebut, yang terjadi adalah hanya tiga residen yang terkena hukum pidana.

Fakta yang terjadi pada kasus dr. Ayu dkk adalah adanya kegagalan operasi SC yaitu pasien tidak selamat. Dalam konteks manajemen rumah sakit, kegagalan bukan merupakan kesalahan per orang atau kelompok melainkan kesalahan kolektif (tim). Dan residen adalah pihak yang lemah bila dilihat dari sisi hukum yaitu sebagai siswa atau pekerja.

Profesor yang mengajar juga di S2 hukum kesehatan fakultas hukum UGM ini menjelaskan bahwa team work yang ideal dalam rumah sakit pendidikan adalah dokter penanggungjwab (DPJ) Obgyn, DPJ anestesi, residen obgyn, residen anestesi, direksi RS Pendidikan dan Dekanat Fakultas Kedokteran. Dalam kasus dr. Ayu dkk, yang berada di ruang operasi adalah tiga residen obgyn dan penata anestesi. Sedangkan DPJ Obgyn dan DPJ Anestesi tidak ada.

Bila dilihat dari rantai mutu rumah sakit menurut konsep Berwick, kegagalan tim terjadi pada :

  1. Pasien & Masyarakat
    Dari kejadian ini, terjadi adanya kegagalan dalam hubungan pasien dan dokter atau yang biasa disebut miscommunication (keluarga pasien marah yang berujung pada kasus hukum). Selain itu, tidak adanya sanksi administratif dari RS Pendidikan bagi dokter yang gagal membina hubungan (keberadaan DPJ yang tidak ada dalam pelaksanaan operasi melainkan adanya keberadaan penata anestesi)
  2. Sistem Mikro
    RS Dr. Kandou adalah RS Pendidikan yang logikanya selalu ada DPJ dan residen sehingga perlu dipertanyakan dimana tanggungjawab DPJ. Selain itu, dalam peraturan tidak diperbolehkan ada penata anestesi melainkan dokter anestesi.
  3. Konteks Organisasi (Rumah Sakit)
    Tidak jelas dan perlu dipertanyakan mengapa tidak ada SIP, mengapa RS gagal mengadakan dokter spesialis anestesi dalam operasi tersebut, mengapa tidak ada staf RS yang membantu tanda tangan informed consent
  4. Konteks Lingkungan
    Perlu dipertanyakan apakah dinas kesehatan setempat tidak mengawasi mutu pelayanan RS tersebut, dimana SIP Residen, tidak terlihat sistem pemantauan kerja residen oleh FK dan RS, Pihak FK tidak melindungi residen karena residen bagian dari FK (apakah tidak ada penugasan dari FK ke RS Pendidikan dengan rincian kompetensi tertentu)

Sehingga kesimpulannya bahwa pada saat pertanggungjawaban, team work yang ideal menurut teori tidak terpakai oleh hukum yaitu yang terkena pidana hanya tiga orang residen. Kedepannya jangan sampai menjadi pengalaman dimana hanya tiga residen yang dipersalahkan melainkan sistem di rumah sakit, sistem di dinas kesehatan, dan sistem di Fakultas kedokteran harus diperbaiki.

Langkah kedepannya adalah memberikan perlindungan hukum untuk residen dan seluruh tenaga kesehatan. Prof. Laksono menghimbau bagi kolegium dan profesi untuk tidak menarik diri dari kegiatan pelayanan namun bagaimana mencari strategi untuk perlindungan hukum.

Policy Brief Memperkuat perlindungan hukum di RS Jejaring Pendidikan: Sebagai Respon Keputusan MA Terhadap Kasus Dr.A , di Manado

Penulis: Nasiatul Aisyah Salim, SKM, MPH

Anuwat SupachutikulPKMK, Bangkok – Hari terakhir pelaksanaan Exchange and Study Program on "Universal Health Coverage and Hospital Accreditation Program Realization" diisi dengan paparan dan diskusi singkat kesimpulan-kesimpulan hasil workshop. Narasumber pada sesi ini adalah Dr. Suwit Wilbulpolprasert, Dr. Viroj Tangcharoensathien, serta Anuwat Supachutikul, MD. Materi paparan dan diskusi diringkas menjadi satu sesi, karena para narasumber memiliki jadwal kegiatan berbeda di tempat lain.

Dalam paparannya Dr. Suwit Wilbulpolprasert menekankan kembali bahwa pelaksanaan Universal Health Coverage (UHC) tidak semata-mata terkait biaya atau status kaya dan miskin suatu negara. "When we're poor it's time to move and when rich it's time to share. Justru saat terjadi krisis ekonomi di negara kita, kita dapat menghasilkan inovasi yang lebih baik," tegasnya. Dr. Suwit menghimbau kembali bagi negara-negara yang akan atau sedang melaksanakan UHC untuk memperhatikan aspek kesehatan dalam pelaksanaan UHC. "Lihat sistemnya untuk menyediakan layanan yang bermutu bagi masyarakat. Lalu, memikirkan kemudahan akses bagi masyarakat di daerah terpencil. Pikirkan tentang tenaga kesehatan. Uang bisa dicari dari mana saja," tutur penasehat senior Kementrian Kesehatan Masyarakat (MoPH) Thailand ini.

Dr. Suwit juga menekankan kembali mengenai mutu pelayanan kesehatan dalam skema UHC. "Quality is the spirit of health worker. It's the spirit to give good health care to people," tegasnya lagi. Jika hanya memikirkan uang, maka spiritual akan turun. Jika tingkat spiritual turun, maka mutu pelayanan kesehatan juga akan menurun. Jadi dalam UHC ini penting sekali untuk mengutamakan mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien. "Kita harus melakukan segala hal untuk meningkatkan motivasi, moral dan passion tenaga kesehatan dalam memberi layanan kesehatan," demikian Dr. Suwit.

Terkait dengan mutu layanan kesehatan, Anuwat Supachutikul, MD memberikan paparan tentang upaya mengaitkan konsep akreditasi dalam skema UHC. Anuwat menekankan perhatian pada tingkat nasional dan tingkat rumah sakit. "Di tingkat nasional, kita harus melihat standar umum apa yang paling berdampak pada pasien, misalnya patient safety, kemudian lakukan pengembangan standar," terang Anuwat. Dalam pengembangan standar ini, perlu juga diperhatikan mekanisme pemberian insentif bagi pihak-pihak yang sudah melaksanakan standar tersebut. Selain itu perlu juga ditetapkan sebuah sistem untuk menilai efektivitas penggunaan dana pada skema UHC.

Di tingkat rumah sakit, Anuwat menekankan perlunya motivasi kepada staf RS untuk memberi pelayanan yang berkualitas bagi pasien. Tidak mengapa bila RS ingin memberi insentif bagi staf yang telah bekerja keras, namun insentif hendaknya tidak dijadikan penekanan utama dalam memberi pelayanan. Hampir senada dengan paparan Anuwat, Dr. Viroj Tangcharoensathien mengungkapkan tentang upaya mencari keuntungan yang umumnya dilakukan oleh RS swasta. "Tidak selamanya private sector for profit, buruk. Ini tergantung kekuatan pemerintah untuk membuat regulasi," terang Dr. Viroj. Selain itu, perlu juga adanya solidaritas tinggi untuk meminimalisir gap antara orang kaya dan miskin.

Oleh : drg. Puti Aulia Rahma, MPH

 

triharnotoOleh : dr. Triharnoto SpPD (Tim Leader Sisiter Hospital RS Panti Rapih Yogyakarta - RSUD Ende NTT)

Kasus hukum dr. Ayu dan kawan-kawan di Manado ternyata berdampak pada program sister hospital di NTT. Beberapa Rumah sakit mitra A berhenti melakukan pengiriman dokter residen senior ke rumah sakit mitra B. Hal ini dikarenakan adanya keraguan RS Mitra A mengenai perlindungan hukum bagi dokter yang bertugas dalam rangka sister hospital. Dokter residen senior menjadi takut bekerja di NTT karena statusnya sebagai residen yang bertugas sementara dan pada akhirnya tidak bersedia ditugaskan. RS mitra A tentu saja juga tidak akan mau menanggung akibatnya.

Keinginan untuk membantu yang sangat kuat dan keinginan untuk bermitra menurunkan angka kematian berubah menjadi ketakutan. Ketakutan ini bisa sangat dimengerti apabila misalnya karena kegagalan dalam menolong pasien ternyata dapat menyebabkan mereka dibui, seperti layaknya pencuri, perampok, pembunuh atau koruptor yang dianggap melakukan tindakan kriminal dan harus dipidanakan.

Disatu sisi, jiwa melayani para dokter-dokter ini tidak terbantahkan, seperti dokter-dokter lain dalam program-program kerja sama sejenis lainnya, yang menempatkan residen senior bertugas di rumah sakit-rumah sakit daerah dan terpencil lainnya. Termasuk dokter-dokter umum yang bekerja di daerah-daerah sulit diseluruh wilayah Indonesia. Tapi apa daya, merekapun menjadi takut seandainya kasus dr. Ayu menimpa mereka. Hal itu bisa saja terjadi dimanapun, kapanpun bahwa dokter bisa gagal dalam menolong pasiennya, sehingga berakibat cacat atau bahkan meninggal. Ketakutan itu tidaklah berlebihan dan manusiawi, sehingga memicu solidaritas dokter di seluruh Indonesia pada kasus dr. Ayu yang dianggap sebagai kriminalisasi terhadap dokter.

Pembaca yang budiman, saya hanyalah seorang dokter yang sangat peduli dengan masalah kesehatan, saya tidak akan membahas kasus hukumnya. Tetapi saya ingin mengajak semua pihak untuk melakukan refleksi secara jujur dengan menggunakan nalar sehat dan hati jernih. Saya percaya semua orang mempunyai nurani. Nurani itu akan berbicara sama, yaitu cinta kasih. Tidak ada satu orang dokterpun dalam melayani pasiennya bertujuan jahat, apalagi ingin membunuh. Dia hanya ingin menolong sesuai keahliannya. Tetapi bisa saja terjadi seorang dokter gagal menolong pasien dan akhirnya pasien meninggal, meskipun telah berjuang keras sekuat tenaga.

Fakta menunjukkan bahwa sebaik-baiknya dan sehebat-hebatnya dokter TIDAK MUNGKIN bisa menjamin 100% keberhasilan yaitu kesembuhan atau nyawa seseorang selamat. Oleh karena itu secara hukum jaminan yang diberikan dokter kepada pasien adalah jaminan upaya pengobatan, bukan jaminan kesembuhan. Jaminan upaya pengobatann ini diberikan oleh dokter dengan menangani pasien sesuai dengan apa yang disebut Standard Operating Procedure (SOP) dan Standar Pelayanan Medik (SPM) yang sudah ditetapkan.

Setiap disiplin ilmu kedokteran mempunyai SOP dan SPM-nya masing-masing. Pada prinsipnya SOP dan SPM ini mengacu pada bukti ilmiah pengetahuan kedokteran, yang sudah dipilih oleh profesi sebagai upaya terbaik dalam menolong pasien. Suatu SOP dan SPM memberi pedoman bagaimana menegakkan diagnosis dan penatalaksanaannya.

Sebagai contoh adalah kasus saya sendiri. Pada bulan Juli 2012 lalu, kornea mata kiri saya mengalami kebocoran akibat luka yang terjadi saat saya berenang disalah satu hotel tempat saya menginap di Ende, saat saya melakukan tugas saya dalam sister hospital dengan RSUD Ende. Selanjutnya luka itu tidak kunjung sembuh, sehingga kornea bocor. Singkat cerita, saya ditolong oleh seorang dokter ahli mata di Jakarta. Kemudian dilakukan operasi emergensi, dan dilanjutkan tranplantasi korena. Hasilnya gagal, kornea donor tidak berfungi dan mata saya tidak bisa melihat. Sebelum dilakukan operasi/transplantasi dijelaskan prosedur penanganan, bahwa dengan diagnosis "perforasi kornea", tidak ada pilihan lain selain transplantasi. Kemungkinan bila berhasil akan bisa melihat lagi, dan bila gagal kornea tidak bisa hidup, ditolak tubuh saya dan tidak akan bisa melihat. Dalam hal ini, perforasi kornea adalah diagnosis, dan transplantasi adalah penanganan. Saya tahu dan percaya bahwa dokter Mata yang menangani saya sudah melakukan penanganan sesuai SOP dan SPM dengan baik, tetapi hasilnya gagal. Sampai sekarang mata kiri saya tidak bisa melihat. Apakah saya akan menuntut?. Jawabnya tidak. Melainkan saya bersyukur. Meski saya tdak bisa melihat lagi, tapi bola mata saya masih utuh. Saya tahu dan merasakan dr. Mata yang menangani saya sudah melakukan yang terbaik, sesuai SOP dan SPM.

Seorang dokter dalam bekerja, pertama dan yang utama mendasarkan suatu prinsip Primum Non Nocere, atau First Do No Harm atau pertama-tama tidak boleh merugikan orang lain (pasien). SOP dan SPM disusun sebagai pegangan yang terperinci bagaimana dokter melaksanakan prinsip tersebut. Sehingga bila seorang dokter sudah melakukan tindakannya sesuai SOP dan SPM, maka secara esensial dia sudah melakukan yang terbaik buat pasiennya. Dan di sinilah seorang dokter tidak bisa dipidanakan bila dokter gagal menolong pasiennya.

Dinegara yang menganut hukum "good samaritan law" dalam keadaan emergensi, seorang dokter yang menolong pasien tidak bisa dipidanakan, karena dalam kategori emergensi maka bila tidak dilakukan pertolongan segera orang tersebut akan meninggal, dan bila dilakukan pertolongan mungkin akan bisa menyelamatkan pasien.

Sebagai penutup, saya berharap kasus ini tidak menyurutkan sejawat dokter untuk melakukan tugas-tugas mulianya melayani pasien, dengan tetap patuh pada SOP dan SPM masing-masing dengan lebih mengutamakan komunikasi yang baik dengan pasiennya. Masyarakat tetap harus lebih kritis tanpa menghilangkan respek terhadap dokter. Para penegak hukum saya harap mau belajar dengan bijak, khusunya Hakim MA yang tidak perlu merasa gengsi, malu, merasa wibawanya akan jatuh untuk meninjau kembali, bila memang ada yang kurang pas, harus jujur memperbaikinya secara adil. Terakhir kepada pemerintah, supaya lebih peduli, lebih adil dalam menjalankan amanat Undang-undang khususnya bidang kesehatan. Saya percaya, bahwa kita semua menginginkan wajah pelayanan kesehatan yang manusiawi. Mari kita sambut era baru pelayanan BPJS yang akan dimulai 1 januari 2014.

Penulis adalah Pemerhati Medical Humanity.
Team leader Sisiter Hospital RS Panti Rapih Yogyakarta - RSUD Ende NTT.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam sedang menempuh pendidikan Spesialis
Konsultan Ginjal Hipertensi di FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
Penulis buku The Doctor Catatan hati Seorang Dokter

 

 

sirirajPKMK, Bangkok – Pada sesi visitasi RS Siriraj, tidak semua bagian rumah sakit dikunjungi peserta. Peserta hanya diajak menuju dua bagian yakni divisi layanan primer dan departemen pediatrik. Menurut penjelasan seorang perawat, fungsi divisi ini seperti fungsi UGD di rumah sakit, yaitu untuk menyaring pasien sebelum mendapat perawatan lanjutan. Namun, karena fokus utamanya adalah memberi layanan primer bagi pasien, fungsi divisi ini hampir mirip juga dengan fungsi Puskesmas di Indonesia. Bedanya, bila di Indonesia Puskesmas terletak terpisah dari RS, "puskesmas" ini terletak dalam satu gedung RS Siriraj.

Ini membawa keuntungan sendiri bagi pasien RS Siriraj. Pasien tidak perlu jauh-jauh dirujuk bila ada kasus yang tidak bisa ditangani di divisi layanan primer. Tinggal pindah ke bagian lain yang ada di RS Siriraj. Pasien dapat ditangani oleh dokter spesialis maupun subspesialis di RS Siriraj ini. Dengan demikian, layanan primer, sekunder dan tersier jadi satu di RS Siriraj.

Pasien-pasien yang datang ke RS Siriraj umumnya merupakan peserta jaminan kesehatan Thailand. Pasien-pasien dengan jaminan kesehatan tidak akan dipungut biaya sepeser pun setelah melakukan pemeriksaan. Masyarakat tanpa jaminan kesehatan juga dapat berobat ke RS Siriraj. Biaya berobatnya pun murah, hanya 30 TBH untuk semua jenis perawatan.

Seperti RS pemerintah pada umumnya, RS Siriraj didesain tidak terlalu mewah namun tetap tertata rapi. Saat menginjakkan kaki di pintu masuk divisi layanan primer, peserta disambut dengan lautan pasien yang duduk teratur di kursi yang telah disediakan di depan meja pendaftaran. Ada juga pasien yang tidur di brangkar di dekat area pendaftaran. Pasien yang berkunjung tidak hanya pasien lokal tetapi juga turis asing yang membutuhkan perawatan. Jumlah pasien yang banyak dan berlalu lalang, ditambah gerombolan peserta yang berkunjung membuat area ruang pendaftaran menjadi semakin terasa sempit.

Peserta kemudian masuk ke area ruang tunggu. Di area ini, bangku-bangku pasien disusun menghadap ruang-ruang pemeriksaan. Di sini ada televisi sehingga pasien tidak bosan menunggu. Di atas meja televisi ada hiasan-hiasan dari kertas lipat. Ruangan ini sedikit lebih besar dari ruang pendaftaran. Sayangnya karena banyak pasien, area ruang pendaftaran maupun ruang tunggu tidak boleh di foto.

Di divisi layanan primer terdapat pula layanan pengobatan tradisional Thailand. Untuk menuju ruang pengobatan tradisional, kita tinggal masuk menuju lorong yang agak sempit di dekat ruang tunggu. Aroma jamu tercium sejak dari pintu masuk ruang pengobatan tradisional ini. Ruangan ini tidak terlalu luas. Di samping kiri pintu masuk, terdapat lemari berisi obat-obatan tradisional yang sudah diracik. Di depan pintu, terdapat meja tempat mengukus bahan-bahan untuk melakukan "Thai Massage". Di samping meja terdapat sekat untuk memisahkan ruang pijat. Layanan "Thai Massage" juga dapat dipanggil ke rumah.

Setelah selesai berkeliling divisi layanan primer, peserta menuju Departemen Pediatrik. Departemen pediatrik RS Siriraj hanya buka dari pukul 09.00 waktu setempat hingga pukul 12.00 siang. Lepas pukul 12.00, pasien anak akan diterima di klinik khusus di RS Siriraj. Dinding di ruang pediatrik digambari beraneka ragam hewan dan tumbuhan berwarna-warni. Pasien-pasien anak yang ditangani di departemen pediatrik umumnya memiliki kelainan berat. Dalam sehari, sekitar 200-250 pasien anak yang masuk ke dapartemen pediatrik.

Text: drg. Puti Aulia Rahma, MPH