Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Dalam dunia kesehatan digital, data kesehatan adalah modal utama yang banyak digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan yang tepat. Namun, data kesehatan seringkali tersebar dalam berbagai sistem dan instansi sehingga sulit dimanfaatkan secara maksimal. Artikel terbaru oleh Mathason et al (2025) dalam jurnal Communications Medicine mengulas bagaimana data linkage—proses menghubungkan data dari berbagai sumber—dapat mengubah lanskap riset, kebijakan, dan layanan kesehatan. Rekam medis, klaim asuransi, hasil laboratorium, dan data genomik yang dapat terhubung secara aman dan lengkap dapat memudahkan peneliti memahami pola penyakit, membantu tenaga kesehatan membuat keputusan klinis yang lebih akurat, serta memungkinkan pemerintah merancang kebijakan kesehatan berbasis bukti.

Proses data linkage dilakukan dengan mengidentifikasi data yang merujuk pada orang yang sama dari berbagai sumber. Identifikasi data menggunakan beberapa metode seperti deterministic (ID unik), probabilistic (kemungkinan kecocokan), atau referential (data referensi tambahan). Data dapat berbentuk identified (dengan identitas asli) atau de-identified (dengan enkripsi untuk jaga privasi). Kunci keberhasilan data linkage terdapat pada kualitas dan standar data agar catatan bisa terhubung dengan akurat dan aman. Saat ini, data linkage salah satu contohnya telah dimanfaatkan dalam penelitian terkait virus Epstein-Barr dan risiko multiple sclerosis yang menghubungkan data medis jangka panjang dari jutaan individu.

Tantangan utama data linkage kesehatan adalah penjagaan kualitas data dan perlindungan privasi pasien. Upaya penjagaan kualitas data dan perlindungan privasi pasien dapat dilakukan dengan standarisasi format dan bantuan teknologi. Salah satu contoh standarisasi format, seperti yang dilakukan melalui inisiatif United States Core Data for Interoperability, menjadi kunci agar data dapat saling terhubung tanpa mengorbankan keamanan. Teknologi seperti Privacy Preserving Record Linkage (PPRL) memungkinkan penggabungan data tanpa membocorkan identitas pribadi sehingga riset tetap berjalan sambil menjaga kerahasiaan pasien.

Bagi praktisi kesehatan, implikasi data linkage tentunya sangat besar. Data linkage dapat membantu mengidentifikasi populasi dengan penyakit berisiko tinggi, memantau efektivitas terapi, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan memperkecil kesenjangan akses layanan di komunitas terpencil. Dalam era precision medicine, integrasi data juga dapat memandu terapi yang dipersonalisasi sesuai profil genetik dan kondisi sosial-ekonomi pasien. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi teknologi akan menjadi penentu keberhasilan pemanfaatan data linkage di masa depan. Tenaga kesehatan, peneliti, dan pembuat kebijakan perlu memaksimalkan kerja sama dan komunikasi yang baik untuk memastikan data terhubung dengan aman, akurat, dan bermanfaat bagi semua pihak. Hal ini dapat membuka jalan bagi layanan kesehatan yang lebih efisien, adil, dan berbasis bukti.

Dirangkum oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://www.nature.com/articles/s43856-025-00769-y 

 

 

Pengalaman masa kecil seorang ibu ternyata tidak hanya berpengaruh bagi dirinya sendiri tetapi juga dapat berdampak pada kesehatan mental anaknya. Penelitian studi terbaru oleh Jessica P., et al pada tahun 2023 menemukan bahwa kesulitan masa kecil yang dialami ibu dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental pada anak-anak bahkan sebelum sang anak mengalami kejadian negatif secara langsung. Penelitian telah melibatkan lebih dari 4.000 pasangan ibu-anak di Inggris dan Irlandia. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak dari ibu yang mengalami berbagai bentuk trauma masa kecil yang disebabkan oleh kekerasan fisik, pelecehan seksual, penelantaran, atau kekerasan dalam rumah tangga cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada gejala masalah mental seperti kecemasan, depresi, dan gangguan perilaku.

Penelitian ini menggunakan data dari dua studi longitudinal besar: Avon Longitudinal Study of Parents and Children (ALSPAC) di Inggris dan Growing Up in Ireland (GUI) di Irlandia. Hasil dalam kedua populasi tersebut konsisten, yakni kesulitan masa kecil ibu berkontribusi signifikan terhadap gangguan kesehatan mental pada anak. Faktor-faktor lain seperti status sosial ekonomi dan pengalaman masa kecil anak sendiri juga diketahui mempengaruhi dampak yang terjadi. Salah satu hal lain yang menarik dari studi ini adalah pendekatannya yang memisahkan dampak langsung (kesulitan yang dialami anak sendiri) dan dampak tidak langsung (kesulitan yang pernah dialami ibu). Dampak trauma ibu diketahui tetap terlihat meskipun anak-anak mereka belum mengalami kesulitan serupa secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa "warisan emosional" dari pengalaman traumatis dapat diturunkan melalui berbagai mekanisme, termasuk gaya pengasuhan, stres psikologis ibu, dan lingkungan keluarga secara keseluruhan.

Temuan penelitian ini menegaskan pendekatan intergenerasional sangat penting dalam penanganan kesehatan mental. Intervensi tidak cukup hanya ditujukan pada anak tetapi juga perlu mencakup orang tua khususnya ibu yang mungkin membawa beban trauma masa kecil. Praktisi disarankan untuk melakukan deteksi risiko sedini mungkin melalui skrining riwayat masa kecil ibu selama pemeriksaan rutin terutama pada masa kehamilan atau setelah melahirkan. Selain itu, layanan dukungan emosional dan konseling bagi ibu dengan riwayat trauma sangat dibutuhkan untuk membantu ibu membangun pola pengasuhan yang sehat. Dalam sisi kebijakan, integrasi layanan kesehatan mental ibu dan anak penting diimplementasikan dalam sistem kesehatan agar penanganan isu kesehatan mental dapat dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Disarikan oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://acamh.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/jcpp.13721 

Kesehatan jiwa merupakan salah satu pilar utama dalam menjaga kualitas hidup, kesejahteraan sosial, dan produktivitas ekonomi. Namun, tantangan untuk memberikan layanan kesehatan jiwa yang benar-benar berkualitas masih menjadi tantangan besar, termasuk di negara-negara dengan sistem kesehatan yang sudah maju.

Kajian dalam International Journal of Environmental Research and Public Health oleh Samartzis dan Talias (2020) menekankan bahwa peningkatan kualitas layanan tidak dapat tercapai tanpa melakukan evaluasi yang terukur terlebih dahulu. Prinsipnya sederhana: apa yang tidak diukur, tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu, evaluasi untuk memastikan layanan yang diberikan benar-benar efektif, aman, dan sesuai kebutuhan pasien harus dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.

Kajian ini merumuskan 8 indikator yang dapat menjadi panduan dalam menilai kualitas layanan kesehatan jiwa mulai dari kesesuaian layanan, aksesibilitas, penerimaan pasien, kompetensi tenaga kesehatan, efektivitas terapi, kontinuitas perawatan, efisiensi penggunaan sumber daya, serta keamanan pasien dan tenaga kesehatan. Setiap dimensi memiliki indikator khusus berupa structure indicators (jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas), process indicators (alur pelayanan dan jalannya prosedur), dan outcome indicators (tingkat perbaikan pasien dan kepuasan). Contoh kesesuaian layanan dapat dilihat dari apakah pasien menerima ketepatan perawatan sesuai kebutuhan. Aksesibilitas diukur melalui waktu tunggu dan ketersediaan layanan. Penerimaan pasien dilihat dari pemenuhan hak dan kepuasan pasien. Kompetensi tenaga kesehatan dapat dievaluasi dari partisipasi pelatihan berkelanjutan. Kesesuaian layanan dapat dilihat dari kesinambungan kinerja layanan antara rawat inap dan rawat jalan. Indikator keamanan dapat dilihat dari adanya perlindungan risiko pasien dari kekerasan, pelanggaran data, atau bahaya lain.

Penerapan indikator kualitas pelayanan kesehatan jiwa sangat penting karena dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem dan menentukan prioritas perbaikan. Contohnya, keterlambatan akses dapat memperburuk kondisi pasien terutama pada kasus krisis seperti risiko bunuh diri. Tingkat kepuasan pasien juga mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi jangka panjang. Kontinuitas perawatan dapat mencegah fenomena “revolving door” (pasien berulang kali keluar-masuk rumah sakit). Melalui pemantauan indikator secara konsisten, rumah sakit dan klinik dapat melihat tren peningkatan atau kemunduran layanan dari tahun ke tahun sekaligus menyesuaikan strategi yang diperlukan.

Bagi praktisi kesehatan, pemanfaatan indikator kualitas dapat membuka peluang untuk merancang perencanaan berbasis bukti, memperkuat program pelatihan tenaga medis, dan membangun transparansi yang meningkatkan kepercayaan publik. Layanan kesehatan jiwa yang baik tidak hanya berkaitan dengan penambahan jumlah fasilitas atau tenaga medis tetapi juga memastikan bahwa setiap langkah dalam proses pelayanan benar-benar memberikan manfaat yang optimal bagi pasien. Melalui adopsi sistem evaluasi yang terstruktur, tenaga kesehatan dapat berkembang memberikan layanan yang lebih tepat, aman, efektif, dan berkelanjutan sekaligus memperkuat fondasi kesehatan jiwa masyarakat secara keseluruhan.

Disarikan oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Manajemen Mutu PKMK)

Selengkapnya: https://www.mdpi.com/1660-4601/17/1/249 

 

 

Perjalanan peningkatan mutu layanan kesehatan terus berkembang pesat hingga saat ini. Selama lebih dari satu abad, perkembangan mutu layanan kesehatan telah melalui perjalanan panjang. Paul Batalden dan Tina Foster dalam jurnal International Journal for Quality in Health Care mengungkap bagaimana pendekatan peningkatan mutu layanan kesehatan berevolusi pada tiga fase penting yang saling melengkapi. Pada awal abad ke-20, pendekatan peningkatan mutu dikenal sebagai fase Quality 1.0. Fokus utama fase Quality 1.0 adalah menetapkan ambang batas layanan yang dianggap “baik”. Melalui pendekatan Quality 1.0, aspek mutu lainnya mulai berkembang.

Contoh aspek mutu lainnya meliputi standar dasar, akreditasi rumah sakit, audit eksternal, panduan kualifikasi tenaga medis, kebersihan fasilitas, dan keselamatan layanan. Meskipun pendekatan Quality 1.0 sangat penting sebagai pondasi mutu layanan kesehatan, seiring waktu terdapat beberapa keterbatasan yang terlihat. Keterbatasan disebabkan oleh kecenderungan praktik yang lebih menekankan pada layanan pemenuhan prosedur administratif daripada dampak nyata bagi pasien.

Perkembangan selanjutnya, yakni fase Quality 2.0 berperan memperbaiki keterbatasan pada praktik fase sebelumnya. Perkembangan fase Quality 2.0 dipengaruhi oleh manajemen mutu di industri manufaktur. Fase Quality 2.0 menerapkan prinsip perbaikan berkelanjutan, pengurangan kesalahan, dan peningkatan efisiensi mulai diterapkan pada layanan kesehatan. Fokus fase Quality 2.0 tidak hanya menekankan pada standar formal tetapi juga pada proses layanan secara keseluruhan. Pendekatan tersebut menegaskan bahwa mutu bukanlah tanggung jawab individu semata melainkan hasil kerja sama seluruh sistem yang mencakup kolaborasi dokter, perawat, dan staf pendukung. Melalui langkah ini, layanan kesehatan menjadi lebih terukur, terkoordinasi, dan berorientasi pada hasil yang lebih baik bagi pasien.

Saat ini, dunia kesehatan telah memasuki fase Quality 3.0 yang menekankan pendekatan bahwa pasien ditempatkan sebagai mitra yang setara dalam menciptakan pelayanan kesehatan. Konsep tersebut disebut coproduction yang berarti layanan tidak hanya “diberikan” oleh tenaga kesehatan tetapi juga “dibangun bersama” antara pasien dan profesional. Orientasi layanan kesehatan tidak lagi sekadar hanya menanyakan “apa yang salah?” tetapi “apa yang penting bagi pasien?”. Hubungan penuh empati, saling percaya, dan kolaboratif menjadi kunci keberhasilan pada fase ini. Pendekatan fase Quality 3.0 juga menekankan pentingnya keterhubungan yang berarti bahwa optimalnya sistem kesehatan tercipta dari kerja sama antara tenaga kesehatan, pasien, keluarga, dan komunitas.

Perjalanan perkembangan mutu layanan kesehatan memberikan pelajaran penting baik bagi praktisi maupun mahasiswa kesehatan. Layanan kesehatan diharapkan tidak hanya dilihat sebagai sistem yang saling terhubung tetapi juga harus membangun hubungan yang lebih manusiawi dengan pasien. Pada akhirnya, mutu layanan kesehatan tidak hanya soal prosedur yang benar tetapi juga tentang bagaimana layanan tersebut memberikan nilai yang nyata dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Para ahli memperkirakan Quality 4.0 akan hadir dalam perkembangan perjalanan peningkatan mutu layanan kesehatan dengan menggabungkan teknologi digital, pembelajaran sistem, dan nilai sosial komunitas. Meskipun terus berkambang, esensi mutu pelayanan kesehatan tidak akan berubah dengan prinsip: mutu layanan kesehatan yang terbaik selalu lahir dari kolaborasi yang tulus antara tenaga kesehatan dan pasien.

Disarikan oleh:

Nikita Widya Permata Sari, S. Gz., MPH
(Peneliti Divisi Mutu PKMK FK-KMK UGM)

Selengkapnya: https://academic.oup.com/intqhc/article/33/Supplement_2/ii10/6445911