Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan: Andriani Yulianti (Peneliti Divisi Manajemen Mutu, PKMK FK KMK UGM)

WHO baru saja mempublikasikan sebuah dokumen yang menyediakan panduan praktis mengenai operasional implementasi Maternal and Perinatal Death and Surveillance and Response (MPDSR), baik untuk pengaturan di area klinis maupun area kebijakan. Panduan ini ditujukan kepada peserta yang lebih luas baik dokter dan mungkin semua peserta dalam pelayanan klinis untuk ibu dan bayi, perinatal, pejabat kesehatan masyarakat dan kepemimpinan kesehatan masyarakat; pemangku kepentingan lainnya dalam mengurangi kematian ibu, dan perinatal, seperti perencana dan manajer, pelatih in-service, ahli epidemiologi, ahli demografi, pembuat kebijakan dan profesional lainnya.

Implementasi MPDSR ini terutama difokuskan untuk dapat dimulai di tingkat kabupaten dan tingkat fasilitas kesehatan sebagai langkah pertama. Adapun tujuan dari proses MPDSR, yakni menetapkan kerangka kerja untuk menilai beban kematian ibu, lahir mati dan kematian neonatus, termasuk tren jumlah dan penyebab kematian. Untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kematian yang dapat dicegah, dan untuk menggunakan informasi untuk memandu tindakan mencegah kematian serupa di masa depan. Digunakan juga untuk mempromosikan kerahasiaan dan budaya “blame free”. Memberikan akuntabilitas pada hasil dan memaksa pengambil keputusan untuk memberikan perhatian dan respons terhadap masalah kematian ibu, dan kematian neonates. Juga memberikan contoh bentuk dan pedoman yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal, serta mengkompilasi dan menautkan ke alat, sumber daya, dan basis bukti untuk MPDSR.

Terdapat 10 (Sepuluh) modul dalam panduan operasional ini yang memerinci proses tinjauan kematian ibu dan perinatal. Setiap modul terhubung ke alat dan sumber daya yang tersedia, termasuk: pedoman, formulir, materi pelatihan, video, presentasi pelatihan, dan studi kasus. Modul 1 membahas mengenai definisi, di mana penggunaan terminologi yang tidak konsisten sering kali berkontribusi membuat kebingungan seputar kematian ibu, kematian neonatus, dan kelahiran mati. Definisi yang diberikan di MPDSR ini sudah mencakup beberapa istilah kunci yang diadopsi dalam panduan teknis MDSR dan panduan membuat setiap penghitungan bayi yang digunakan dalam audit kematian.

Modul 2 membahas bagaimana memulai dari tingkat fasilitas, dalam modul ini peserta akan diarahkan untuk melakukan beberapa langkah, diantaranya: Langkah ke-1 melakukan analisis situasi, sebelum pelaksanaan MPDSR, perlu melihat situasi terkini kematian ibu, kematian perinatal, dan inisiatif peningkatan mutu lainnya yang sedang berlangsung, dengan memperhatikan tingkat pelaksanaannya (misalnya tingkat fasilitas, kabupaten, regional atau nasional). Ini dapat mencakup pemetaan dengan melakukan pengumpulan data yang ada, mengidentifikasi sumber daya pertemuan potensial dan komite terkait lainnya (seperti peningkatan mutu), dan klarifikasi peraturan dan perlindungan hukum, pada langkah ini disediakan daftar periksa untuk membantu memetakan sumber data apa yang ada, dan di mana celahnya. Langkah ke-2, yakni menyiapkan komite pengarah, yang akan mengatur dan mengawasi proses peninjauan, termasuk menerapkan dan menindaklanjuti action point yang akan dilakukan.

Komite pengarah fasilitas memiliki tanggung jawab sebagai berikut: 1) mengumpulkan informasi tentang semua kehamilan, kelahiran dan kematian, 2) meninjau kematian yang dilaporkan ke fasilitas, 3) menetapkan penyebab medis kematian, 4) menentukan apakah kematian tersebut merupakan kematian ibu yang dikonfirmasi, lahir mati atau kematian neonates, 5) menentukan faktor yang berkontribusi dan dapat dimodifikasi terkait dengan kematian, 6) menilai mutu pelayanan medis, 7) memberikan rekomendasi untuk tindakan segera dan jangka menengah, 8) menindaklanjuti tindakan yang diambil, 9) menghasilkan ringkasan laporan dan menyebarluaskan hasil. Langkah ke-3 menentukan prosedur dan tugas dengan membuat dokumen kerangka acuan harus ditetapkan untuk komite pengarah, baik oleh pemerintah setempat otoritas kesehatan, administrator fasilitas, atau tim peningkatan mutu. Ini akan menentukan komposisi komite pengarah, seberapa sering akan bertemu, dan seberapa sering akan terlibat lebih luas. Tim praktisi, staf fasilitas dan pembuat kebijakan yang relevan. Sekali lagi, komite pengarah mungkin bergabung dengan komite peninjau kematian ibu atau perinatal yang ada, atau tim audit terpisah dengan keanggotaan yang tumpang tindih

Modul 3 membahas Identifikasi kasus, mengenai cara mengidentifikasi setiap kehamilan dan kelahiran, kematian ibu, kelahiran mati dan kematian neonatus, meskipun hanya beberapa peristiwa yang memenuhi syarat untuk ditinjau. Misalnya identifikasi di fasilitas mana kemungkinan kematian terjadi? Jenis catatan apa yang ada (misalnya register antenatal, register persalinan dan kelahiran, register postnatal, register dari perawatan intensif neonatus atau unit pelayanan khusus bayi, catatan gawat darurat atau ruang operasi, catatan keluar dengan status pasien, register pediatrik)? Apakah arsipnya berbasis kertas atau elektronik? Dan apakah semua arsip disimpan di satu lokasi, atau tersebar? Untuk mengidentifikasi kematian ibu adalah menilai semua kematian pada wanita usia subur (WUS) dan mengidentifikasi kematian yang terjadi saat seorang wanita hamil atau dalam 42 hari akhir kehamilan (kematian ibu yang dicurigai). Setiap kematian WUS di fasilitas kesehatan harus memicu tinjauan kematian, dengan pertemuan komite berlangsung sesegera mungkin.

Modul 4 berisi tentang cara mengumpulkan informasi, dengan mengumpulkan jumlah data yang cukup berkontribusi pada pemahaman yang bermakna tentang peristiwa, terutama elemen data yang akan berkontribusi pada MPDSR dan perumusan solusi. Modul 5 berisi cara melakukan tinjauan bersama kematian ibu dan perinatal, yakni mengintegrasikan proses untuk tinjauan kematian ibu dan perinatal dan mengoordinasikan kegiatan jika memungkinkan, tanpa kehilangan detail khusus yang spesifik dengan cara merencanakan dan persiapkan pertemuan review, adakan integrasi pertemuan review, selesaikan bentuk dan aliran informasi, serta menyiapkan laporan rapat.

Modul 6 berisi cara menganalisis dan menyajikan informasi, baik menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif untuk mengidentfikasi pola dan tren dengan cara menjelaskan solusi potensial. Modul 7 berisi rekomendasi dan mengimplementasikan tindakan perubahan dengan cara menggunakan data untuk mencapai konsensus tentang prioritas dan menginformasikan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti. Rekomendasi yang ditetapkan mengacu pada SMART, yakni; 1) Apakah rekomendasinya spesifik? Yakni dapat secara jelas mengartikulasikan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah, penyebabnya.2) Apakah rekomendasinya measureable? Dapatkah dipantau secara bulanan atau tahunan. 3) Apakah rekomendasi appropriate? Sejauh mana kelayakannya untuk diterapkan di tingkat fasilitas kesehatan, Jika tidak, maka itu harus direkomendasikan untuk tingkat lain dari sistem kesehatan, dengan orang yang ditunjuk bertanggung jawab untuk menindaklanjuti. 4) Apakah rekomendasi tersebut relevan? Yakni dapat mengatasi masalah, faktor, penyebab, atau sub-penyebab tertentu. Serta, 5) Apakah rekomendasinya time-bound? Termasuk periode waktu tertentu, serta siapa yang bertanggung jawab.

Modul 8 berisi monitoring, evaluasi dan penyempurnaan, setelah sistem MPDSR dibuat, penting untuk memelihara dan mengawasi sistem dengan melakukan monitoring, mendokumentasikan implementasi sistem MPDSR termasuk solusi yang direkomendasikan oleh komite pengarah MPDSR; serta dapat memberikan peningkatan mutu pelayanan yang diberikan. Penilaiannya berupa seberapa baik sistem MPDSR berfungsi dan apakah rekomendasi sedang diberlakukan; dan penilaian terhadap indikator kesehatan ibu dan perinatal untuk memantau perubahan. Modul 9 mengenai pengaturan pada situasi humanitarian and fragile, yakni menangkap dan memperkuat informasi kematian ibu dan perinatal, serta memberikan informasi pada intervensi untuk meningkatkan mutu pelayanan pada manusia dan rentan. Proses pengumpulan informasi tentang jumlah dan penyebab kematian sangat penting untuk pengembangan intervensi untuk mencegah kematian serupa di masa depan, terutama dalam pengaturan kemanusiaan, di mana sistem dan kebutuhan mungkin terus berubah pada populasi yang terkena dampak.

Selanjutnya, yang terakhir adalah modul 10 yang berisi cara mengatasi budaya menyalahkan MPDSR dengan memberikan kerangka dasar untuk memahami dan mengatasi budaya “no name, no blame, dan no shame” untuk MPDSR, serta menyoroti strategi utama untuk mengatasi kesalahan, dan untuk mengidentifikasi sumber daya utama yang terkait menyalahkan budaya. Modul ini menyoroti 10 strategi utama untuk meminimalkan rasa takut dan menyalahkan yang diidentifikasi dalam literatur melalui bukti pengalaman, yakni: memastikan bahwa kebijakan dan perencanaan MPDSR, memastikan prioritas nasional, menyelaraskan MPDSR dalam sistem pemantauan rutin, menciptakan dan mengadvokasi lingkungan yang mendukung pelaksanaan MPDSR, memperkuat kepemimpinan, memelihara hubungan tim, memastikan pertemuan audit dilakukan secara teratur, menerapkan kode etik atau “piagam audit”, mepromosikan kesadaran individu tentang peran, tanggung jawab dan kompetensi, serta melibatkan kesadaran komunitas. Selengkapnya https://www.who.int/publications/i/item/9789240036666 

Sumber: World Health Organization. (2021). Maternal and perinatal death surveillance and response: materials to support implementation.

 

 

Bidang kepemimpinan dalam pelayanan kesehatan dan bagaimana pengaruhnya terhadap budaya, mutu pelayanan dan keselamatan menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh seorang ISQua Fellow & Fellowship Ambassador yakni Dr Hossam Elamir (2021) melakukan eksplorasi dan menilai budaya organisasi, mutu pelayanan, dan mengukur hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional/transaksional di rumah sakit umum pemerintah di Kuwait.

Seperti diketahui bahwa gaya kepemimpinan seorang dapat menjadi penyumbang yang dominan dalam menentukan kinerja pegawai. Kepemimpinan transformasional adalah salah satu gaya kepemimpinan yang paling efektif dalam pelayanan kesehatan, dan memiliki dampak yang menonjol pada pertumbuhan strategi pengembangan kepemimpinan. Penelitian ini dilakukan di enam rumah sakit sekunder milik pemerintah dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif cross-sectional dan retrospektif.

Sampel yang diambil sebesar 1626 dari total 9863 petugas kesehatan di enam rumah sakit. Penelitian ini menggunakan daftar pertanyaan dari kuesioner kepemimpinan multifaktor dan deskripsi organisasi, dan melakukan peninjauan dan analisis satu tahun (2012) mengenai indikator mutu triwulanan dan tahunan di rumah sakit.

Data dianalisis menggunakan analisis statistik. Didapatkan hasil 66,4% hingga 87,1% peserta di setiap rumah sakit mengidentifikasi budaya organisasi di rumah sakit mereka sebagai transformasional, sedangkan 41 dari 48 departemen diidentifikasi memiliki budaya transformasional.

Persentase dari peserta di setiap rumah sakit menilai pemimpin dan budaya organisasi mereka sebagai transformasional berkisar antara 60,5% hingga 80,4%. Dapat disimpulkan bahwa pemimpin mendefinisikan dan mempengaruhi budaya organisasi, dan menunjukkan adanya peluang untuk meningkatkan mutu layanan jika memiliki kepemimpinan transformasional, yang dapat ditingkatkan melalui pelatihan, pendidikan, pengalaman, dan pengembangan professional.

selengkapnya

 

 

Setiap tanggal 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN) dan pada tahun ini merupakan peringatan yang ke-57 dengan mengusung tema “Sehat Negeriku, Tumbuh Indonesiaku”. Tema ini dipilih seiring dengan bangkitnya semangat dan optimisme seluruh komponen masyarakat Indonesia untuk bahu membahu dan bergotong royong dalam menyelesaikan pandemi COVID-19. Peringatan HKN ke-57 di tahun 2021 juga dapat mendorong penguatan Fasyankes dalam upaya kesehatan promotif dan preventif. Sehingga seluruh komponen masyarakat dapat kembali produktif di era adaptasi kebiasaan baru.

Selain itu, peringatan HKN juga dapat mendorong masyarakat agar berperan aktif dalam upaya kesehatan, dengan menguatkan kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protocol kesehatan, meningkatkan target cakupan vaksinasi COVID-19, mengedukasi masyarakat untuk mencegah penyebaran informasi berita hoaks, meningkatkan semangat dan optimisme seluruh komponen masyarakat bersama bergotong-royong seluruh komponen bangsa Pemerintah Pusat dan Daerah, Akademisi, para tokoh, media massa, swasta/dunia usaha, organisasi kemasyarakat, organisasi profesi, praktisi serta masyarakat umum untuk turut ambil bagian dalam peringatan HKN dalam mendukung menyelesaikan pandemi COVID-19, sehingga terwujud masyarakat semakin mengerti arti penting perilaku dan lingkungan sehat serta mau menerapkan gerakan hidup sehat pada masa pandemi COVID-19 di tatanan keluarga, instituasi pendidikan, institusi pelayanan kesehatan, tempat-tempat kerja, tempat-tempat umum dan fasilitas lainnya.

Meskipun kondisi pandemi COVID-19 yang bisa dikatakan terkendali saat ini, namun perlu ditingkatkan menuju transisi epidemiologi menuju endemi, sehingga kegiatan produktif secara bertahap dan berlanjut dengan penerapan protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan dijadikan sebagai benteng pencegahan penularan COVID-19 dalam kehidupan sehari-hari, serta melakukan vaksinasi COVID-19 secara lengkap. Capaian penurunan kasus COVID-19 ini sebaiknya tetap membuat kita semakin waspada. Apalagi penyebaran virus Corona dimana memunculkan banyak varian yang tidak bisa diprediksi. Oleh karenanya, dibutuhkan kepatuhan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan di setiap kegiatan dan peningkatan kapasitas 3T (testing, tracing, dan treatment), serta pelaksanaan vaksinasi COVID-19.

Terdapat 3 pesan pendukung dalam peringatan HKN ke-57 yang menjadi momentum penyatuan tekad dan semangat sehat negeriku tumbuh Indonesiaku untuk memperjuangkan ketahanan kesehatan Indonesia yakni 1) Bersama membangun indonesia lebih sehat, 2) Terapkan protokol kesehatan untuk indonesia sehat, dan 3) Vaksinasi covid-19 dan lindungi diri, sehatkan negeri.

Sumber:
Depkes RI. 2021. Buku Panduan HKN Ke-57 12 November 2021. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

 

 

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) merupakan suatu upaya untuk mencegah dan meminimalkan terjadinya suatu infeksi kepada pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat disekitar pelayanan kesehatan. Untuk itu, perlu suatu upaya agar kejadian infeksi tidak terjadi di suatu layanan kesehatan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah membuat dan menjalankan suatu program kerja dengan harapan agar dapat menangani kasus-kasus infeksi yang terjadi. Program PPI meliputi proses melakukan perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan, serta pemantauan dan evaluasi.

Upaya menjalankan program PPI tidak hanya dilakukan oleh petugas kesehatan di rumah sakit, tetapi diperlukan kerjasama antara rumah sakit, pasien, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya untuk mencegah pasien, tenaga kesehatan, dan pengunjung dari infeksi yang tidak terduga sehingga dapat meningkatkan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan, mengurangi kejadian HAIs (Healthcare Associated Infections), dan untuk mengidentifikasi serta mengurangi risiko infeksi yang didapat dan ditularkan di antara pasien, staf, tenaga kesehatan, pekerja kontrak, relawan, pelajar, dan pengunjung.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Madamang, dkk (2021) telah mengkaji faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan PPI dengan melakukan telaah literatur untuk mengetahui secara umum gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan PPI di Rumah Sakit. Berdasarkan hasil pencarian literatur ditemukan bahwa sikap dan prilaku, pendidikan dan pelatihan, dukungan manajemen, fasilitas, supervisi atau pengawasan serta dukungan pimpinan merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program pencegahan infeksi. Semakin baik sikap dan perilaku tenaga kesehatan dalam menjalankan program PPI maka semakin baik pula pelaksanaan program PPI yang di jalankan, sebaliknya tenaga kesehatan yang menunjukkan sikap dan prilaku yang negatif maka akan menghambat pelaksanaan program PPI.

Adanya dukungan pimpinan dan dukungan manajemen yang kuat yang di berikan kepada praktisi pencegahan infeksi di rumah sakit, maka semakin meningkatkan kinerja tim PPI. Dukungan yang kuat merupakan modal utama dalam menjalankan suatu program yang ada, sehingga sangat perlu dukungan yang diberikan pimpinan kepada tim pencegahan infeksi. Selanjutnya, Ketersediaan fasilitas penunjang pelaksanaan program merupakan hal yang utama dalam penerapan program, dengan adanya fasilitas yang memadai, praktik dalam penerapan program pencegahan infeksi dapat berjalan dengan baik, di samping itu proses supervisi yang ketat akan menunjang pencapaian program yang lebih baik. Baca lebih lanjut pada link berikut:

KLIK DISINI

 

Sumber:
Madamang, I., Sjattar, E. L., & Kadar, K. (2021). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit: Literatur Review. Jurnal Penelitian Kesehatan SUARA FORIKES (Journal of Health Research Forikes Voice), 12, 163-166.