Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Sejak ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) bahwa Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Global Pandemic per tanggal 11 Maret 2O2O, praktis hingga saat ini telah 3 bulan kita berada dalam masa yang tidak menentu. Banyak rumah sakit di daerah kewalahan menangani lonjakan pasien yang terinfeksi coronavirus, namun tidak sedikit pula Rumah Sakit yang mengalami penurunan jumlah pasien, khususnya RS yang tidak ditunjuk sebagai RS Rujukan COVID-19.

Perubahan yang sedemikian cepat dimasa pandemi COVID-19 menuntut respon yang cepat dari manager puncak mengenai arah kelangsungan usaha RS agar tidak kolaps ditengah pendemi. Apakah segera merubah RBA/Rencana anggaran tahun 2020 dalam konteks memperkuat business continuity? dan apakah akan merubah rencana strategis bisnis RS untuk menyesuaikan dengan situasi COVID-19 menuju the new normal?

Berdasarkan permasalahan di atas, manager puncak perlu memperkuat lembaga-lembaga dan organisasi yang dinaungi dengan mengelola pengetahuan tentang COVID-19 yang mengacu ke langkah-langkah operasional di Learning Organization (organisasi pembelajar). Diketahui bahwa Learning Organization (LO) telah muncul dari berbagai literatur. Beberapa definisi yang paling populer adalah sebagaimana diungkapkan beberapa tokoh berikut; Senge (1990) mendefinisikan LO adalah proses memfasilitasi pembelajaran bagi individu atau group yang dilakukan secara sadar dan bersama-sama dalam mentransformasikan pengelolaan dan penggunaan pengetahuan dalam mencapai tujuan organisasi secara terus menerus sehingga mencapai suatu kapasitas yang semakin luas.

Sementara itu, Marquardt (2002) mendefiniskan LO sebagai suatu organisasi yang belajar secara kolektif dan bersemangat, dan terus menerus mentransformasikan dirinya pada pengumpulan, pengelolaan, dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik bagi keberhasilan perusahaan/instansi. Di sisi lain, Garvin (1993) memiliki pandangan bahwa sebuah organisasi belajar adalah organisasi terampil membuat, memperoleh, dan mentransfer pengetahuan, dan untuk memodifikasi perilaku untuk mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru. Definisi Garvin terhadap OL mengandalkan persyaratan, bahwa suatu organisasi harus dapat memenuhi persyaratan tersebut untuk menjadi organisasi yang belajar.

Tujuan pembelajar organisasi bagi RS agar dapat melaksanakan misinya dengan baik di masa pandemik COVID-19 dan dapat melanjutkan usaha RS di pasca pandemik. Penting untuk diketahui siapa saja yang telah melakukan Individual learning tentang COVID-19 di RS, misalnya apakah Pemilik RS/Dewan Pengawas, Direksi RS, Klinisi yang menangani COVID-19 (Dokter dan Perawat), Tenaga IT, Tenaga Epidemiologis RS dan lain lain. Serta dari mana sumber belajarnya, apakah berasal dari Forum Manajemen COVID-19 (Cochrane Indonesia), Jurnal-jurnal ilmiah ataupun dari Perhimpunan Profesi masing-masing. Hal tersebut diperlukan agar manajemen RS dapat dengan segera membalikkan keadaan dengan cepat, mengatasi kesulitan keuangan serta mengatasi situasi tertekan.

Memahami situasi pandemi saat ini, dengan data empirik selama 3 bulan terakhir yang dianalisis dengan berbagai pengetahuan baru mengenai COVID-19, yakni dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut dengan melakukan penilaian mandiri terhadap RS mengenai: 1) apakah COVID-19 merupakan ancaman untuk RS kita? 2) apakah akan membahayakan business continuity / kelangsungan usaha RS? 3) Bagaimana skenario yang bisa terjadi di masa depan?

Untuk itu, agar di RS lebih efektif dan siap mempertahankan kelangsungan usaha dan menghadapi the new normal perlu melakukan prosesnya dengan terlebih dahulu mempunyai niat dari pemilik dan Direksi RS bersepakat untuk melakukan Learning and Development secara sistematis dalam pandemik COVID-19, Direksi RS mengumpulkan orang-orang pembelajar COVID-19 dari berbagai profesi di RS untuk melakukan organizational learning serta membentuk tim review rencana dan perencanaan, disamping tim disaster yang sudah pasti harus ada di RS.

Berbicara mengenai new normal, merupakan berasal dari istilah saat pasca krisis finansial 2007-2008, dimana sistem ekonomi yang normal bersifat baru. Jika melihat new normal pada manusia di masa COVID-19 saat ini maka mengacu pada perubahan perilaku manusia setelah pandemi ini, termasuk membatasi kontak orang-ke-orang, seperti jabat tangan maupun menjaga jarak dari orang lain. Namun jika dikaitkan dengan new normal baru di RS maka akan erat kaitannya bagaimana RS beroperasi dalam tatanan baru yang menjadi normal, misal dalam hal pemeriksaan pasien di poli, penggunaan telemedicine, pendanaan RS termasuk dari BPJS dan filantropi, penggunaan APD dan robotic ataupun pelayanan homecare.

Berikut ini langkah-langkah learning process yang dapat dijalankan oleh RS untuk dapat bertahan dimasa COVID-9 menuju new normal, diantaranya:

  1. Identifikasi masalah-masalah apa yang dihadapi RS dalam masa pandemik ini, yang dapat membahayakan keberlangsungan RS (Business Continuity), Misalnya: Bahaya COVID-19, Penurunan jumlah pasien non-covid, keberlanjutan klaim RS dan lain-lain
  2. Mensintesis hasil pembelajaran perorangan untuk mencari solusi dengan cara:
    1. Mempelajari pengalaman RS yang sangat terbatas mengenai pandemik.
    2. Mempelajari pengalaman dan praktik terbaik orang lain (dapat melalui berbagai artikel di Jurnal dan diskusi-diskusi di Forum Manajemen COVID-19), pelajaran dari pengetahuan tacit.
  3. Melakukan inovasi (Development) dengan cara:
    1. Identifikasi inovasi-inovasi untuk ke depannya
    2. Melakukan uji-coba dengan pendekatan baru diluar kebiasaan, misal: penggunaan telemedicine di RS, peningkatan dukungan filantropi, memberikan pengobatan terbaru untuk pasien COVID-19, memperkuat home-care
  4. Mereview Rencana-rencana (Di tahap ini perlu ada persetujuan dari Pemilik/Dewan Pengawas RS)
    1. Ada kemungkinan besar merubah RKA tahun ini agar Business Continuity dapat terjaga.
    2. Mereview rencana strategis yang ada dengan pertanyaan: apakah perlu disesuaikan dengan proyeksi tentang the New Normal?
  5. Mengkomunikasikan perubahan RBA dan Rencana Business Strategis
    1. Dikomunikasikan ke seluruh anggota RS
    2. Dikomunikasikan ke stakeholder RS

Ketika sebuah RS melakukan langkah-langkah di atas, apakah dapat dikatakan mempraktekkan prinsip Learning Organization? Hal ini dapat diketahui jika organisasi anda terampil dalam menciptakan, memperoleh, mentransfer pengetahuan ke semua anggota, dan memodifikasi perilakunya yang mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru (David A. Garvin,1993). Dalam konteks COVID-19 organisasi yang terampil adalah organisasi yang terampil dalam Memperoleh, menciptakan, mentransfer pengetahuan tentang COVID-19, dan memodifikasi perilaku RS yang mencerminkan pengetahuan dan wawasan baru untuk mempertahankan business continuity dan menyiapkan diri untuk the new normal.

Pembelajaran dari pandemi COVID-19 ini bahwa RS dapat mengaktifkan kembali semangat pembelajaran, learning organization dapat dipraktekkan untuk semua hal yang dapat mengancam keberlangsungan hidup RS serta Direktur RS dapat mengembangkan kepemimpinannya. Apakah RS anda sudah memilii ciri tersebut di atas?

Sumber:

Materi diambil dari presentasi Laksono trisnantoro dalam pertemuan pada 18 Mei 2020 mengenai Knowledge Management: Learning Organization di RS Seri Ke-VIII.

Penulis:
Andriani Yulianti, MPH

 

Lansia termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan virus corona (Covid-19), bersama dengan orang yang memiliki riwayat penyakit penyerta, dan perokok.

Pakar Geriatri UGM, Dr. dr Probosuseno, Sp.PD., K-Ger., S.E., menjelaskan lansia rentan terhadap berbagai macam infeksi bakteri, virus maupun penyakit termasuk Covid-19. Pasalnya, kapasitas fungsional organ-organ tubuh lansia mengalami penurunan akibat penuaan. “Lansia mengalami penurunan kapasitas fungsional hampir pada seluruh sistem tubuhnya, termasuk imunitasnya sehingga rentan terhadap infeksi apapun,”terangnya saat dihubungi Selasa (21/4).

Dia mencontohkan beberapa fungsi tubuh yang menurun seiring pertambahan usia. Seperti hilangnya kelenjar timus, kulit semakin menipis, kelenjar lendir berkurang dan fungsi organ-organ tubuh menurun. Ditambah nafsu makan berkurang sehinga asupan nutrisi tidak tercukupi. Kondisi itu mengakibatkan kecepatan tubuh saat merespons tidak secepat dan seefektif saat muda.

Lansia merupakan mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Kelompok ini perlu lebih waspada, terlebih yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) seperti penyakit autoimun, diabetes, tekanan darah tinggi, kanker, dan jantung. Selain itu, juga lansia dengan multipatologi atau mengidap sejumlah penyakit. Apabila tertular Covid-19 maka lansia akan mendapatkan komplikasi kesehatan yang cukup serius. “Lansia yang paling rentan atau rapuh adalah lansia tua di atas 80 tahun, diikuti lansia sedang usia 70-80 tahun, dan terakhir lansia muda usia 60-70 tahun,”tutur dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM ini.

Tips Jaga Lansia

Lalu bagaimana melindungi lansia dari kemungkinan infeksi virus corona? Probosuseno membagikan sembilan langkah yang dapat dilakukan agar lansia sehat dan bahagia. Salah satunya, menjaga asupan nutrisi yang baik dan halal serta menjaga kebutuhan cairan dengan minum air hangat yang cukup tanpa harus menunggu haus. "Jaga asupan nutrisi, makan sayur lodeh juga bagus karena mengandung zat-zat yang baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh,"ujarnya.

Berikutnya, tetap mendorong lansia untuk melakukan olahraga dengan intensitas ringan dengan durasi total 30 menit setiap hari. Olahraga tidak hanya bisa berpengaruh pada kesehatan fisik, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan mental lanisa. Contoh olahraga yang dapat dilakukan lansia seperti tepuk tangan keras-keras selama satu menit dan mengayunkan tangan keatas dan kebawah 100 kali saat pagi, siang, dan malam.

Lalu, menghindari stres. Sebab, stres dapat menurunkan imunitas tubuh, memacu adrenalin, meningkatkan tekanan darah dan gula darah. Istirahat atau tidur yang cukup antara 4 sampai 9 jam setiap harinya. Sebab, saat tidur tubuh melakukan penggandaan sel darah putih dan sel lainnya yang sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Menjaga kebersihan lingkungan juga perlu dilakukan. Salah satunya dengan rajin mencuci tangan dengan sabun atau alkohol 70 persen terutama saat akan mengusap mulut , mengucek mata, atau membersihkan lubang hidung.

Selain itu, juga meningkatkan ketakwaan keimanan. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa ibadah, bersedekah, bersyukur, bersabar, dan berpuasa terbukti mampu meningkatkan stamina dan kekebalan tubuh. Tak kalah penting tetap beraktivitas di rumah seperti mengembangkan hobi.

Langkah lain dengan meninggalkan hal-hal yang tidak perlu. Tidak melakukan perjalanan atau bepergian apabila tidak ada kebutuhan mendesak. Pasalnya, seseorang akan lebih mudah terinfeksi virus saat berada di kerumunan. “Jika tidak mendesak jangan keluar rumah. Misal mau kontrol kesehatan bisa dengan telemedicine sebagai alternatif konsultasi dokter secara online,” paparnya.

Upaya lain yang dapat ditempuh dengan tetap melakukan kegiatan sosial. Namun, di tengah situasi pandemi saat ini, dia menganjurkan untuk mengurangi interaksi sosial secara langsung. Interaksi disarankan dilakukan secara virtual melalui chat, telepon, maupun video call. “Dengan cara ini mereka akan tetap terhubung dengan keluarga dan lingkungan sehingga tidak merasa kesepian yang bisa memengaruhi kesehatan mental dan fisiknya,”pungkasnya.

Penulis: Ika
Sumber: https://ugm.ac.id/

 

Stevie A. Nappoe-MPH Graduate from University of Alabama at Birmingham, 2016 Fulbright Scholar.
Hanevi Djasri, Koordinator Indonesian Healthcare Quality Network, Fellow of The International Society for Quality in Healthcare.

Kurang lebih 3 bulan belakangan ini seluruh dunia dibuat tak berdaya oleh situasi pandemik COVID-19. Dengan jumlah kasus yang mencapai 7 juta, virus ini telah menyebabkan lebih dari 400 ribu kematian di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, jumlah kasus yang tercatat sampai dengan saat ini sudah lebih dari 32 ribu kasus dengan jumlah kematian mencapai 1800. Tidak dapat dipungkiri situasi ini sangat berdampak pada kehidupan masyarakat terutama perekonomian dikarenakan pembatasan sosial yang terjadi di masyarakat. Pemerintah Indonesia sudah mulai memikirkan untuk membuka kembali pembatasan sosial secara bertahap untuk bisa menyelamatkan ekonomi. Inisiatif ini lebih dikenal dengan “new normal” dimana pada situasi ini kegiatan masyarakat bisa berjalan seperti biasa namun tetap mengikuti protokol kesehatan untuk menghindari penularan dan penyebaran virus.

Pelayanan kesehatan sebagai sektor yang paling terdampak oleh situasi pandemik ini juga harus bersiap untuk menghadapi new normal. Rumah sakit harus mulai memikirkan langkah yang akan diambil untuk tetap merawat pasien COVID-19 namun disaat bersamaan juga memberikan pelayanan kepada pasien umum dengan resiko penularan seminimal mungkin, sehingga disebut sebgai balancing act.

Pelayanan kesehatan di era new normal akan sangat berbeda dengan keadaan sebelum COVID 19. Rumah sakit perlu menyiapkan prosedur keamanan yang lebih ketat dimana sterilisasi harus lebih masif dilakukan di setiap sudut rumah sakit. Prosedur penerimaan pasien juga akan mengalami perubahan termasuk penggunaan masker secara universal, prosedur screening yang lebih ketat (rapid test/PCR), pengaturan jadwal kunjungan, dan pembatasan pengunjung/pendamping pasien bahkan pemisahan fasilitas untuk pasien COVID-19 dan non COVID-19.

Dari sisi pelayanan, rumah sakit akan lebih selektif dalam menerima pasien dimana prioritas akan diberikan kepada kasus-kasus gawat darurat atau life-thretening situation berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Rapid test bahkan PCR bisa menjadi persyaratan sebelum pasien menerima berhak menerima perawatan (pre-op requirements). Penggunaan telemedicine atau virtual care akan semakin sering dilakukan oleh rumah sakit untuk meminimalisir tatap muka antara pasien dan tenaga kesehatan.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh rumah sakit adalah persiapan untuk menghadapi kemungkinan gelombang kedua (second wave), mengingat resiko penularan dimasyarakat masih mungkin untuk terjadi. Rumah sakit perlu menyiapkan protokol emergensi yang jelas untuk menghadapi gelombang kedua termasuk alokasi ruang perawatan untuk pasien COVID-19, tambahan tenaga kesehatan bila diperlukan, kecukupan personal protective equipment (PPE), serta penutupan kembali beberapa layanan jika situasinya memburuk.

Perubahan dalam pelayanan ini merupakan kesempatan yang baik untuk mempromosikan value-based care yakni pelayanan yang berorientasi pada outcome sehingga menghindari perawatan/tindakan yang tidak perlu atau tidak berkontribusi pada outcome. Salah satu perawatan yang akan mendapatkan perhatian adalah chronic disease management dimana penderita penyakit kronis memiliki resiko kematian yang lebih besar apabila terpapar COVID-19. Penggunaan telemedicine dan remote monitoring untuk pasien dengan penyakit kronis dapat menurunkan kunjungan yang tidak perlu ke fasilitas kesehatan dan mengurangi resiko keterpaparan terhadap virus.

Value-based care juga merupakan bagian dari patient / people centered care, yaitu konsep pelayanan yang berusaha memberikan perawatan dengan menghormati dan responsif terhadap berbagai preferensi, kebutuhan, dan nilai-nilai individu pasien, dan memastikan bahwa nilai-nilai tersebut digunakan untuk memandu semua keputusan klinis. Dalam New Normal preferensi, kebutuhan dan nilai-nilai tersebut berubah, maka RS harus responsif untuk tetap dapat menjaga mutu dan keselamatan pasien, tidak saja bagi pasien dengan Covid-19 tapi juga pasien lainnya.

Respon yang diharapkan dari RS adalah memastikan keempat inti patient/people centered care terwujud, yaitu: 1) Memberikan pelayanan kesehatan dengan bermartabat dan rasa hormat, dimana para klinisi mendengarkan dan menghormati perspektif dan pilihan pasien dan keluarga. 2) Berbagi informasi, yaitu para klinisi berkomunikasi dan berbagi informasi yang lengkap dan tidak bias dengan pasien dan keluarga serta antar klinisi. 3) Partisipasi aktif, dimana pasien dan keluarga didorong dan didukung untuk berpartisipasi dalam perawatan dan pengambilan keputusan pada tingkat yang mereka pilih. 4) Kolaborasi, yaitu pasien, keluarga, para klinisi, dan pengelola fasilitas pelayanan kesehatan berkolaborasi dalam pengembangan dan pelayanan kesehatan.

Dengan begitu banyaknya perubahan yang wajib dilakukan, rumah sakit perlu melakukan re-desain pelayanan dengan memperhatikan:

  1. Perencanaan dan manajemen rumah sakit dengan segala perubahan untuk menghadapi new normal termasuk investasi pada teknologi serta pelatihan tenaga kesehatan terkait telemedicine;
  2. Promosi kesehatan dan edukasi kepada pasien dan pengunjung yang lebih massif untuk memastikan protokol keselamatan dapat dipahami dan ditaati oleh semua pihak;
  3. Upaya menjamin keselamatan dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagai garda terdepan dalam upaya penanggulangan COVID-19 ini termasuk kecukupan PPE, insentif yang sesuai, dan lain sebagainya;
  4. Melakukan upaya peningkatan mutu layanan yang terintegrasi untuk memastikan mutu layanan tetap terjaga dengan adanya pembatasan-pembatasan.
  5. Menggunakan tools untuk melakukan re-desain pelayanan, seperti FMEA (failure modes and effects analysis maupun dengan house of quality/Quality function deployment)

Sumber:

  1. Mullins L, Thompson K. Hospitals Aiming To Achieve New Normal As Coronavirus Pandemic Continues. 2020. https://www.wbur.org/commonhealth/2020/05/26/massachusetts-covid-19-coronavirus-hospitals-normal-operations. Published 26 May 2020.
  2. Liu R, Fleisher LA. Getting to a New Normal: Mandating That Patients Wear Masks as Hospitals Fully Reopen during the Coronavirus Pandemic. Anesthesiology: The Journal of the American Society of Anesthesiologists. 2020.
  3. Haseltine WA. A New Normal For Hospital Care. 2020. https://www.forbes.com/sites/williamhaseltine/2020/04/21/the-new-normal-for-hospital-care/. Published 21 April 2020.
  4. Bhatt J, Rubin O. New normal for medicine emerges as hospitals return to elective surgeries, non-COVID work. 2020. https://abcnews.go.com/Health/normal-medicine-emerges-hospitals-return-elective-surgeries-covid/story?id=70842080. Published 25 May 2020.
  5. Schwamm LH, Estrada J, Erskine A, Licurse A. Virtual care: new models of caring for our patients and workforce. The Lancet Digital Health. 2020.
  6. Institute of Medicine. (2001). Crossing the Quality Chasm: A New Health Service for the 21st Century. Washington, DC
  7. Johnson, B. H. & Abraham, M. R. (2012). Partnering with Patients, Residents, and Families: A Resource for Leaders of Hospitals, Ambulatory Care Settings, and Long-Term Care Communities. Bethesda, MD: Institute for Patient- and Family-Centered Care

 

Dalam suatu penyuluhan kesehatan di masyarakat, seorang ibu menyampaikan masalah tentang suaminya. Usia suaminya tersebut 65 tahun, seorang pensiunan. Masalah utama adalah beberapa waktu belakangan sang suami sering menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Walau sudah dijawab, tidak begitu lama akan ditanyakan lagi hal yang sama. Keadaan ini membuat anggota keluarga yang lain sering jengkel terhadap sang suami. Dipihak lain sang suami tidak merasa terganggu dengan keadaan ini karena tidak mengingat sudah menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Kalau anggota keluarga yang lain menunjukkan amarah karena situasi ini maka sang suami akan menanyakan, kenapa marah kepada dirinya karena dirinya hanya menanyakan sesuatu?. Sejauh ini sang suami masih dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasa.

Keadaan seperti ilustrasi diatas sering kita dengar atau bahkan mungkin ada salah satu keluarga kita mengalami keadaan yang sama. Seseorang yang semakin sering lupa selalu dihubungkan dengan bertambahnya usia orang tersebut. Semakin lanjut usia seseorang, lingkungan sekitar semakin dapat memaklumi jika orang tersebut sering lupa. Padahal tidak selalu gangguan memori itu hanya akibat bertambahnya usia, gangguan memori juga dapat didasari adanya penyakit.

Usia menunjukkan seberapa lama seseorang menjalani kehidupan yang diukur dalam satuan waktu, biasanya dalam satuan waktu tahun. Dari berbagai literatur ada beberapa pembagian kategori keadaan manusia sesuai kelompok usianya. Pembagian kategori tersebut meliputi: fase menanjak, fase stabil, selanjutnya diikuti fase menurun. Secara alamiah memang ada perubahan kondisi pada setiap fase kehidupan setiap orang. Perubahan kondisi yang dimaksudkan, meliputi tiga aspek yaitu: biologi, psikologi dan sosial. Pada kategoti ini lanjut usia masuk pada fase menurun dibandingkan usia yang lebih muda.

Dalam menjalani waktu kehidupannya, untuk dapat bertahan hidup, setiap orang harus senantiasa belajar guna mendapat pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungannya. Memori merupakan salah satu hal penting untuk seseorang mampu belajar. Dengan belajar, seseorang dapat mengetahui bagaimana memberi respon yang sesuai pada saat yang tepat. Kemampuan memberi respon ini sangat erat kaitannya dengan keadaan memori, karena didalam memori tersimpan pengetahuan yang dipelajari dimasa lalu, bagaimana cara merespon setiap kejadian dalam kehidupan dan dapat dipanggil kembali sesuai kebutuhan. Keadaan memori berperan penting menentukan dan menjaga kualitas hidup seseorang.

Pemahaman tentang memori secara lengkap, sampai saat ini, belum sepenuhnya dipahami. Terdapat beberapa tahapan terjadinya memori yang banyak dianut, yaitu pembentukan, penyimpanan dan pemanggilan memori. Pembentukan diawali dari stimulus-stimulus dari dalam diri maupun dari luar. Stimulus dari dalam diri, berguna untuk mempertahankan kehidupan dasar. Misal, mengingat tanda-tanda haus dan lapar atau yang lain. Stimulus dari luar dapat berupa kejadian sehari-hari, disebut juga sebagai memori sensorium. Memori sensorium cepat hilang kecuali diberi perhatian terhadap stimulus tertentu.

Perhatian merupakan kemampuan seseorang untuk mendapatkan, memilih dan merespon informasi yang dibutuhkan. Jadi walaupun banyak stimulus yang diterima sepanjang hari, tidak semuanya akan diingat kecuali yang diberi perhatian. Informasi yang mendapat perhatian diteruskan ke memori kerja. Pada tahapan ini informasi ditampung sementara sewaktu dan informasi baru tersebut masih diolah secara sadar. Kapasitas memori kerja ini terbatas. Keterbatasan kapasitas tidak hanya masalah banyaknya unit informasi baru yang diterima (misal harus mengingat tujuh angka), tetapi juga oleh terlibatnya fungsi kognitif lain secara bersamaan, termasuk pengintegrasian pengolahan informasi baru dengan pengetahuan untuk pengolahan. Misalnya, sebuah soal rumit seperti diminta menghitung diluar kepala (51:17) X (78-34).

Tentu soal ini memerlukan banyak keterlibatan fungsi kognitif yang lain secara bersamaan, dibandingkan jika menyelesaikannya dibantu prosedur yang lebih mudah dan sudah dikenal misal menghitung dengan alat bantu berupa tabel daftar perkalian. Jadi, kapasitas memori kerja dipengaruhi seberapa banyak fungsi kognitif yang diperlukan dan seberapa kuat aktivitas mental yang dibutuhkan. Memori kerja ini juga berbeda satu dengan yang lain, ada yang bagus dalam kemampuan bahasa sementara yang lain berhitung. Jadi jika stimulus yang datang rumit karena memerlukan keterkaitan banyak faktor kognitif dan stimulus itu berbeda dengan kemampuan yang ada (bahasa atau berhitung), maka sitmulus tersebut akan sangat membutuhkan usaha yang sangat kuat untuk dapat disimpan.

Setelah memori kerja, tahapan selanjutnya adalah penyimpanan informasi di memori deklaratif dan juga memori prosedural. Jika suatu waktu diperlukan maka informasi yang sudah disimpan dapat dipanggil kembali ke memori kerja untuk digunakan.

Memori prosedural merupakan memori prosedur-prosedur dan keterampilan yang telah dipelajari. Keterampilan tertentu awalnya dipelajari secara sadar tetapi makin lama menjadi otomatis dan tidak sadar. Keterampilan meliputi: motoris, kognitif, persepsi dan perilaku. Memori sensori juga dapat langsung menyimpan informasi ke memori prosedural ini.

Memori deklaratif adalah pengetahuan eksplisit seseorang mengenai fakta-fakta yang disimpan di daya ingat dan dipanggil secara sadar. Memori ini ada yang membaginya kedalam memori semantik dan episodik. Memori semantik menunjuk mengenai konsep dan pengetahuan mengenai dunia, meliputi: kosakata; visual dan ruang; visual dan guna serta penggunaan.
Memori episodik merekam kejadian-kejadian dalam hidup seseorang secara berurut, semacam otobiografi.

lans

Proses pembentukan memori pada semua lapisan usia hampir sama. Perubahan proses memori terjadi secara alamiah sebagai bagian dari bertambahnya usia. Jadi, kapan disebut gangguan memori? Gangguan memori disebut, jika setelah terjadinya gangguan memori tersebut diikuti menurunnya kemampuan aktivitas sehari-hari dibandingkan sebelum seseorang mengalami gangguan memori itu terjadi. Gangguan memori dapat terjadi di setiap tahapan proses pembentukan memori seperti diatas. Jadi ada bermacam-macam gangguan memori. Ada gangguan memori pada pembentukan, penyimpanan dan pemanggilan. Gangguan memori pada salahsatu tahapan dapat merupakan sebagai gejala penyakit tertentu.

Disisi lain, seiring dengan bertambahnya usia maka akan selalu diikuti berubahnya banyak sistem di dalam diri seseorang termasuk biologis, psikologis, sosial. Perubahan yang terjadi pada lansia biasanya ke arah kemunduran, baik secara kuantitas dan kualitas. Hal ini akan mempengaruhi kapasitas pembentukan, penyimpanan dan pemanggilan memori. Keadaan inilah yang membuat banyak proses memori lebih lambat pada lansia. Jadi hal yang membedakan memori pada lansia yang sehat, dibanding usia muda adalah pada lansia membutuhkan waktu lebih lama untuk proses pembentukan, peyimpanan dan pemanggilan kembalinya, memori. Namun berbeda dengan lansia yang memiliki riwayat berbagai penyakit, terutama yang tidak diobati optimal, seperti panyakit vaskuler, sindrom metabolik, penyakit degeneratif lainnya dan gangguan psikiatri, akan mengalami gangguan memori yang lebih berat, karena penyakit-penyakit tersebut mempengaruhi banyak metabolisme otak. 

Dari pemahaman di atas, secara umum dapat dilihat secara garis besar faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses memori yaitu ada faktor yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan. Faktor yang dapat dikendalikan misalnya: pemilihan makanan yang sesuai usia dan menjaga kesehatan. Faktor yang tidak dapat dikendalikan misal adalah usia dan perubahan lingkungan. Terhadap faktor yang tidak dikendalikan ini, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membentuk pikiran realita, misal:semasih tetap hidup, usia pasti bertambah dan pasti diikuti perubahan biologis, psikologis dan sosial, itu adalah realita dan harusnya mensyukuri masih memiliki tambahan usia. Perubahan lingkungan juga pasti terjadi, itu juga adalah realita. Terhadap perubahan lingkungan ini terutama dengan banyaknya sumber informasi yang beredar maka hal yang paling utama dilakukan pengendalian perhatian terhadap informasi-informasi yang beredar. Karena peredaran informasi di lingkungan hidup ini, tidak dapat diatur sesuai keinginan pribadi, maka lansia rentan terpapar dengan informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab. Disisi lain, kurang bijaksana juga jika karena banyaknya informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab beredar, maka lansia memilih mengisolasi diri supaya tidak terpapar dengan informasi-informasi yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu dibentuk pikiran realita bahwa informasi-informasi memang bebas beredar akan tetapi fokus perhatian dapat diupayakan kepada informasi yang berguna dan dapat dipertanggung jawabkan.

Terkait ilustrasi kasus di atas dapat disimpulkan bahwa ada kelemahan dalam pembentukan memori sehingga tidak ada yang disimpan untuk kemudian dapat dipanggil jika diperlukan. Hal ini dapat terkait dengan kemungkinan adanya gangguan perhatian atau gangguan psikiatri lainnya. Catatan pada kasus ini adalah walaupun penderit mengalami gangguan memori, masih dapat beraktivitas sehari-hari, masih dapat mandiri, sehingga tidak jadi beban bagi keluarga. Disarankan, kasus seperti ini untuk datang ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut dan nanti dapat direncanakan tindak lanjut yang sesuai. Kalau keadaan seperti ini dianggap hanya karena faktor bertambahnya usia maka akan berpotensi menjadi gangguan memori yang lebih berat.

Beberapa faktor yang dapat mendukung kesehatan otak yang menua, antara lain: makanan yang sehat, istirahat yang cukup, olahraga yang sesuai, aktif, tetap bersosialisasi, mengisi waktu luang, menuntaskan semua masalah kesehatan, melakukan kegiatan-kegiatan yang menstimulasi otak, meningkatkan kegiatan spiritual dan melidungi kepala dari trauma. Melihat faktor-faktor yang mendukung kesehatan otak tersebut sebenarnya banyak hal-hal sederhana saja, hampir semua orang dapat melakukannya. Tetapi kebanyakan orang cenderung lebih menginginkan melakukan hal-hal yang lebih rumit dan mengabaikan hal-hal yang kelihatan sederhana. Seakan-akan dengan melakukan hal-hal yang rumit akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan hal-hal yang sederhana. Sehingga melakukan hal-hal sederhana dianggap kurang bermanfaat.

Untuk renungan di hari lansia ini, seandainya kasus diatas adalah salah satu keluarga kita atau kita sendiri mengalaminya, akankah kita mau datang ke dokter untuk konsultasi atau menerimanya saja, itu karena usia? Selamat hari lansia dan menjadi lansia berkualitas.

Referensi:

  1. Peters r. Ageing and the brain.Postgrad Med J. 2006 Feb; 82(964): 84–88. doi: 10.1136/pgmj.2005.036665
  2. Spar J E, La Rue A. Clinical manual of geriatric psychiatric. American Psychiatric Publishing, Inc: 2006.
  3. Sweat J D. Mecanismsof memory. 2nd edition. Elsevier: 2010.
  4. Dharmaperwira-Prins R I I. Gangguan-gangguan komunikasi pada disfungsi hemisfer kanan dam pemeriksaan komunikasi hemisfer kanan (pkhk). Jakarta: Djambatan; 2004.
  5. Duzel E, van Praag H, Sendtner M. Can physical exercise in old age improve
    memory and hippocampal function?. BRAIN 2016: 139; 662–673 | 662 doi:10.1093/brain/awv407

Penulis: dr. Sabar Parluhutan Siregar, Sp. KJ