Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim SKM.,MPH

art-20mei-3Infeksi luka operasi merupakan urutan ketiga terbesar yang menyebabkan infeksi nosokomial. Lebih dari 15 juta prosedur pembedahan yang diselenggarakan di AS setiap tahunnya, sekitar 750.000 di antaranya muncul SSI sehingga menjadi kerugian langsung dan tak langsung bagi pasien maupun sistem pelayanan kesehatan. Selain itu infeksi luka operasi memperpanjang masa perawatan di rumah sakit (7-10 hari pasca operasi) sehingga meningkatkan biaya perawatan antara 10-20 %.

Cause

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Infeksi Luka Operasi

Patient characteristic

 

 

 

 

  • Diabetes
  • Perokok
  • Konsumsi steroid
  • Malnutrisi
  • Lamanya tinggal di RS sebelum operasi
  • Preoperative nares colonization
  • Transfusi sebelum operasi

Operative characteristic

(Intra operative issue)

  • Preoperative antiseptic showering
  • Preoperative hair removal
  • Patien skin preparation in the operatinroom
  • Preoperative hand/ foreams antisepsis
  • Management of infected or colonized surgical personal
  • Antibiotic prophylaxis

Operative characteristic

(Intra operative issue)

  • Operating room environment
  • Surgical attire and drapes
  • Asepsis and surgical tecnique

Operative characteristic

(Post operative issue)

  • Incision care
  • Discharge planning
sumber Mangram et al (1999)

World Aliance for patient safety (2005) menyatakan bahwa waktu terjadinya infeksi luka operasi sebagian besar ditemukan setelah hari ke tujuh pada saat pasien kontrol ke poliklinik atau kunjungan kerumah pasien dan hari ke tiga saat pasien rawat inap. Dan penelitian Johnson et al. (2006) menjelaskan tipe infeksi luka operasi yang biasa terjadi adalah infeksi luka operasi superficial (ciri-ciri nyeri dan sakit pada daerah pembedahan, luka kemerahan dan bengkak) dan Infeksi luka operasi deep incisional (ciri-ciri kemerahan, sakit pada daerah pembedahan, jahitan terbuka dan adanya pus).

Tabel. Pencegahan Infeksi Luka Operasi

NICE

SHEA/IDSA

Preoperative phase

  • Patient showering and hair removal
  • Patient and staff theatre wear
  • Movement to and from theatre area
  • Nasal decontamination (do not use mupirocin routinely)
  • Mechanical bowel preparation (not routine)
  • Patient and staff jewellery
  • Antibiotic prophylaxis (which patients, when and number of doses)

Intraoperative phase

  • Hand decontamination
  • Incise drapes
  • Gowns and gloves
  • Antiseptic skin preparation and diathermy
  • Patient homeostasis (oxygenation, normothermia, etc.)
  • Wound irrigation and dressings
  • Antiseptics before closure

Postoperative phase

  • Dressings
  • Postoperative cleansing of surgical site
  • Topical agents (not indicated)
  • Antibiotic treatment and debridement for SSI
  • Specialist wound care services

Surgical Care Improvement Project

  • Proper hair removal
  • Controlling blood glucose
  • Maintain norm othermia

Infrastructure

  • Trained personnel
  • Education

Computer-assisted decision support and automated reminders

Antimicrobial prophylaxis

Measure and provide feedback on process measures,e.g. hair removal

Accountability

  • Chief executive responsible for support
  • Senior management ensures adequate
  • personnel and perform job responsibilities
  • Healthcare workers responsible for their practices

Non-routine approaches

Vancomycin not routine for antimicrobial prophylaxis

  • Don’t delay surgery for parenteral nutrition

Unresolved issues

Preoperative bathing with chlorhexidine

  • Positive screening for, and decolonisation of, MRSA
  • Supplemental oxygenation for colorectal

Procedures

Maintaining normothermia after colorectal surgery

Sumber : (Humphreys, 2009)

Surgical Safety Checklist (SSC) milik WHO telah memperlihatkan penurunan tingkat SSI, komplikasi dan mortalitas. Haynes et al (2009) menunjukkan bahwa penerapan checklist dengan 19 item dalam periode perioperatif telah meningkatkan pengaturan waktu yang tepat untuk infusi antibiotik dari 56% menjadi 83% dengan pengurangan SSI secara signifikan dari 6,2% ke 3,4%.

Centers for Medicare and Medicaid Services mengembangkan Surgical Care Improvement Project (SCIP) dengan tujuan untuk mengurangi tingkat SSI hingga 10 %. Penilaian ukuran SCIP menggunakan pendekatan yang melibatkan multibidang seperti pengaturan waktu yang tepat untuk infusi antibiotik (SCIP Inf1), antibiotic selection (SCIP Inf2), penghentian secara tepat untuk antibiotik prophylactic (SCIP Inf3), appropriate hair removal method (SCIP Inf6), dan maintenance of perioperative normothermia (SCIP Inf10) dan euglycemia (SCIP Inf4).

Tabel. SCIP Inf performance measures verbally addressed in the Scott and White Surgical Safety Checklist

SSC Section

SCIP Inf performance measures

Verbal verification by surgical team

Check in

Inf-10 perioperative temperature management

Estimated time for procedure

Sign in

Inf-10 perioperative temperature managemen

Risk of hypothermia (operation > 1 h)

Time Out

Inf-2 antibiotic selection

Appropriate antibiotic ordered

Time Out

Inf-1 antibiotic timing

Antibiotic given within 60 min of incision (except vancomycin 120 min)

Matthew et al (2013) menemukan bahwa SSC dengan ukuran kinerja mutu SCIP Inf meningkatkan persepsi komunikasi dan tindakan tim bedah dalam hal menghasilkan penurunan jumlah pasien hipotermia pada saat tiba di PACU (Post-anesthesia Care Unit). Penurunan SSI yang signifikan terlihat pada kelompok subspesialis bedah kolorektal dibanding bedah yang lain (cardiac, general, gynecologic, thoracic, vascular, orthopedic).

Kesimpulannya, penelitian Matthew et al (2013) menyatakan bahwa menggabungkan strategi SSI tertentu dengan standar SSC efektif untuk meningkatkan kinerja mutu. Selain itu seiring dengan perkembangan pelayanan kesehatan menuju program-program (pay-for-performance, for-value type programs), checklist yang menggabungkan ukuran kinerja dengan mutu proses perawatan akan menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan reimbursement.

Referensi :

Merina, CH. (2011). Penggunaan Surgical Safety Checklist WHO pada Prosedur Penatalaksanaan Pembedahan di Kamar Operasi BLUD Meuraxa Kota Banda Aceh. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Matthew Tillman, et al (2013). Surgical Care Improvement Project and Surgical Site Infection : Can Integration in The Surgical Safety Checklist Improve Quality Performance and Clinical Outcomes. Journal of surgical research.

 

Oleh: Eva Tirtabayu Hasri Skep.,MPH

art-20mei-2Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi. Namun demikian, pembedahan yang dilakukan juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (WHO, 2009). Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009).

Penelitian di 56 negara dari 192 negara anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008). Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi setelah pembedahan. Data WHO menunjukkan komplikasi utama pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang berkepanjangan 3-16% pasien bedah terjadi di negara-negara berkembang. Secara global angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-10%. Diperkirakan hingga 50% dari komplikasi dan kematian dapat dicegah di negara berkembang jika standar dasar tertentu perawatan diikuti (WHO, 2009).

Kejadian luka traumatis, kanker dan penyakit kardiovaskular terus meningkat. WHO memprediksi bahwa dampak dari intervensi bedah pada sistem kesehatan masyarakat akan juga terus tumbuh. Untuk alasan ini, WHO telah melakukan inisiatif untuk upaya keselamatan bedah. Dunia Aliansi untuk keselamatan pasien mulai bekerja pada Januari 2007 dan WHO mengidentifikasi tiga fase operasi yaitu sebelum induksi anestesi ("sign in"), sebelum sayatan kulit ("time out"), dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi ("sign out") (Cavoukian, 2009). Tiga fase operasi sebelum seperti pada gambar dibawah ini:

art-20mei-1

  1. Fase Sign In
    Fase sign In adalah fase sebelum induksi anestesi koordinator secara verbal memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi.
  2. Fase Time Out
    Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya.
  3. Fase sign out
    Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008).

Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu pencegahannya dapat dilakukan dengan surgical safety checklist. Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim profesional terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari the briefing phase, the time out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan (Safety & Compliance, 2012).

Telah dilakukan uji coba penggunaan surgical safety checklist di delapan rumah sakit di dunia. Hasil penelitian di delapan rumah sakit menunjukkan penurunan kematian dan komplikasi akibat pembedahan. Dari total 1750 pasien yang harus dilaksanakan operasi dalam 24 jam (emergency) dibagi 842 pasien sebelum pengenalan surgical safety checklist dan 908 pasien setelah pengenalan surgical safety checklist. Dari 842 pasien yang belum diberikan pengenalan surgical safety checklist mendapat komplikasi pembedahan 18,4% (N=151) dan setelah diberikan pengenalan surgical safety checklist angka komplikasi menjadi 11,7% (N=102). Data kematian sebelum pengenalan surgical safety checklist 3,7% menjadi 1,4% (Weiser, et al. 2010). Komplikasi bedah setelah penggunaan surgical safety checklist secara keseluruhan turun dari 11% sampai 7%, dan angka kematian menurun dari 1,5% menjadi 0,7% (Howard, 2011).

Beberapa penelitian tentang penggunaan SSCL menghasilkan:

  1. surgical safety checklist dapat menurunkan angka kematian dan komplikasi (Robertson & Vijayarajan 2010 ; Latosinsky, et al. 2010) . Penelitian di negara Amerika Serikat menunjukkan adanya penurunan angka komplikasi dari 11 % menjadi 7% dan penggunaan antibiotik profilaksis yang meningkat dari 56% menjadi 83%, infeksi luka operasi (ILO) berkurang 33% sampai 88% (Baldrige & Quality, 2009).
  2. Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml. Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami penurunan setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).
  3. Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit. Vries pada penelitiannya tentang 'a surgical Patient safety system" menghasilkan penerapan SSCL pra operasi menghasilkan waktu yang lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9 menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak menerima antibiotik sampai insisi kulit menurun sebesar 6% (Vries, et al. 2009).
  4. Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan pembentukan tim (Lingard et al. 2005).
  5. Penggunaan ceklist kertas merupakan salah satu solusi karena ceklist kertas dapat disediakan dengan cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu ceklist kertas juga dapat disesuaikan ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Verdaasdonk et al. 2009).

Referensi :
Hasri, Eva Tirtabayu. 2012. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD X. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

 

Oleh : Nenggih Wahyuni, SIP, MA

art-13meiPolicy Brief adalah sebuah dokumen yang menguraikan dasar rasional dalam pemilihan sebuah alternatif kebijakan khusus atau rangkaian tindakan dalam sebuah kebijakan saat ini. Sebuah policy brief mungkin berfokus langsug pada penyediaan sebuah argumen untuk pengadopsian sebuah alternatif tertentu yang bertujuan untuk meyakinkan para pihak target akan pentingnya permasalahan saat ini dan perlu mengadopsi alternatif yang dipilih, selanjutnya berfungsi mendorong untuk melakukan tindakan. Dalam hal ini hasil penelitian yang ada diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah dalam menginisiasi kebijakan yang lebih efektif.

Di negara atau pemerintah yang memiliki tradisi menulis yang kuat, policy brief maupun policy paper memiliki posisi sekaligus peran penting sebagai salah satu media atau alat komunikasi yang cukup berpengaruh dalam proses pengambilan kebijakan publik. Kuatnya tradisi menulis menjadi salah satu dasar bagi para penguasa sebelum mengambil kebijakan. Sebaliknya, dalam suatu negara atau pemerintah yang kurang memiliki tradisi menulis yang kuat, sebuah tulisan belum cukup mampu menjadi faktor yang memengaruhi seorang penguasa dalam mengambil suatu kebijakan.

Masih banyak masyarakat bahkan pejabat pemerintah yang belum tahu fungsi policy paper atau policy brief, policy brief bukan bulletin. Penulisan policy brief dan penggunaannya sebagai bagian dari alat dalam proses advokasi kebijakan masih jarang dilakukan oleh lembaga-lembaga di Indonesia. Walaupun manfaat policy brief atau policy paper masih belum maksimal dalam proses advokasi kebijakan, policy brief sebagai bagian dari advokasi kebijakan.

Untuk menyusun Policy Brief, perlu terlebih dahulu mengidentifikasi beberapa hal berikut:

  • Mengidentifikasi isu kebijakan
  • Mengembangkan dialog dua-arah dan 'keterlibatan' dengan beneficiary dari manfaat riset (misalnya: pembuat kebijakan)
  • Menciptakan tim komunikasi dan diseminasi
  • Mengidentifikasi kelompok target audiens yang relevan

Komponen Policy Brief
Pada prinsipnya, sebuah policy brief adalah sebuah rekomendasi kebijakan yang merupakan dokumen yang berdiri sendiri, berfokus pada topik dan tidak lebih dari 2-4 halaman (1.500 kata) . Dalam menyampaikan isi dapat menggunakan model a laser focus, artinya benar-benar fokus pada satu topik.

Berikut ini 8 komponen yang dapat menjadi pedoman dalam penyusunan sebuah brief, yaitu :

  1. Executive Summary: merupakan sebuah ringkasan eksekutif yang singkat dan memberikan gambaran kepada pembaca mengenai tujuan dan rekomendasi policy brief yang disusun.
  2. Pernyataan isu/masalah: sebuah frase topik sebagai pertanyaan yang memerlukan suatu keputusan, dirangkum sesingkat mungkin dalam satu pertanyaan. Sebagai contoh: peran apa yang dapat dilakukan oleh (setiap kelompok politik, sosial, organisasi) yang merupakan target audiens, yang dapat meningkatkan status (politik/ekonomi/sosial) bagi masyarakat atau target audiens yang dituju bagaimana seharusnya? siapa yang harus bertanggungjawab untuk memperbaiki / meningkatkan / mengatasi permasalahan yang disampaikan? Kapan sebaiknya kelompok pengambil kebijakan memutuskan untuk terlibat dalam perkembangan masalah atau krisis yang disampaikan
  3. Latar belakang masalah: menyajikan fakta-fakta penting sehingga para pengambil kebijakan memahami konteks masalah, termasuk dalam hal ini perlu disajikan bagaimana perspesi masyarakat mengenai permasalahan ini?
  4. Pre-existing Policies : merupakan rangkuman apa yang telah dilakukan tentang masalah sejauh ini, tujuannya adalah untuk menginformasikan pembaca dari pilihan kebijakan yang direkomendasikan.
  5. Pilihan kebijakan : memberikan gambaran tindakan yang mungkin atau tidak untuk dilakukan, dengan setidaknya 3 program potensial tindakan.
  6. Keuntungan dan kelemahan : setiap opsi kebijakan pasti memiliki keuntungan dan kelemahan, sehingga perlu disampaikan perspektif pro dan kontra dari pilihan dalam poin-pint atau format outline.
  7. Rekomendasi : setelah memprioritaskan pilihan kebijakan yang disampaikan dan membahas pro dan kontra, dalam bagian ini berisi rekmendasi pada pengambil kebijakan.
  8. Sources Consulted or Recommended : menyediakan informasi bagi para pengambil keputusan bila memiliki minat dan wakatu untuk membaca tentang isu tertentu. Pada dasarnya berisi sebuah bibliografi, menyediakan ditulis dekripsi 1-3 kalimat dan evaluasi dari setiap sumber yang terdaftar.

Template sebuah Policy Brief

  • Ringkasan Eksekutif: Lead dengan pernyataan pendek, dalam bagian ini terdiri dari ± 150 kata berisi tujuan dan rekomendasi singkat. Diharapkan bagian ini mampu mempersuasi dan menarik minat pembaca pembaca untuk melangkah lebih lanjut. Ditulis setelah selesai menyusun policy brief.
  • Pendahuluan: Menjawab pertanyaan why? Di dalam bagian ini, diharapkan mampu menjelaskan arti dan urgensi masalah yang disampaikan. Selain itu berisi pula tujuan penelitian, memberikan gambaran tentang temuan dan kesimpulan. Bagian ini bertujuan pula untuk menarik minat pembaca.
  • Pendekatan yang digunakan dan Hasil: Bagian ini menyajikan ringkasan fakta-fakta, menjelaskan masalah dan konteks, menjelaskan metode penelitian dan analisis. Sehingga pembaca mampu memahami bagaimana penelitian yang dilakukan, termasuk metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan data, serta menjelaskan latar belakang yang relevan. Dalam penulisannya tidak diharapkan membahas terlalu teknis. Menekan pentingnya manfaat yang akan didapatkan dan peluang yang tersedia.
  • Hasil: Dalam menyampaikan hasil yang penting yaitu "Apa yang bisa kita pelajari?", mulailah menuliskan gambaran umum, kemudian diikuti ke khusus sehingga memudahkan audiens untuk mudah mengikuti konten yang disampaikan
  • Kesimpulan: Apakah arti dari penyajian yang kita sampaikan? Dalam menulis kesimpulan, gunakan bagian untuk menginterpretasikan data dan bertujuan untuk memberikan kesimpulan yang kuat.
  • Implikasi dan Rekomendasi: Tulisan pada bagian ini berisi apa yang bisa terjadi dan apa yang harus terjadi, kedua hal tersebut mengalir dari kesimpulan dan harus didukung oleh bukti.

Oleh: Hanevi Djasri, dr, MARS

art-6mei-2Banyaknya kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sebenarnya dapat dicegah di rumah sakit telah lama menjadi pusat perhatian, di Amerika the Joint Comission on Accreditation of Health Organization (JCAHO) mewajibkan rumah sakit untuk melakukan setidaknya satu Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) setiap tahun untuk dapat mengidentifikasi berbagai upaya pencegahan. FMEA awalnya dikembangkan di luar bidang pelayanan kesehatan dan sekarang digunakan di pelayanan kesehatan untuk menilai resiko kegagalan dan kesalahan pada berbagai proses dan untuk mengidentifikasi area-area penting yang membutuhkan perbaikan. Di bidang kesehatan sendiri, di Amerika FMEA telah diterapkan di ratusan rumah sakit dalam berbagai program perbaikan pelayanan kesehatan.

Program perbaikan pelayanan kesehatan yang dapat bertahan lama dan dapat mengurangi kemungkinan kegagalan hanya dapat dicapai melalui perbaikan sistem. Failure mode and effects analysis (FMEA) merupakan suatu teknik yang digunakan untuk perbaikan sistem yang telah terbukti dapat meningkatkan keselamatan. FMEA merupakan teknik yang berbasis tim, sistematis, dan proaktif yang digunakan untuk mencegah permasalahan dari proses atau produk sebelum permasalahan tersebut muncul/terjadi. FMEA dapat memberikan gambaran tidak hanya mengenai permasalahan-permasalahan apa saja yang mungkin terjadi namun juga mengenai tingkat keparahan dari akibat yang ditimbulkan.

Berikut ini adalah langkah-Langkah Failure Mode and Effect Analysis menurut Joint Comission Resources

Langkah Deskripsi
1 Menentukan proses yang mempunyai resiko tinggi dan membentuk tim (Select a high-risk process and assemble a team) … lihat HFMEA Decision Tree
2 Menyusun diagram proses (Diagram the process)
3 Brainstorming potential failure modes dan akibat-akibat yang ditimbulkan (Brainstorm potential failure modes and determine their effects)
4 Menentukan prioritas failure modes (Prioritize failure modes) … lihat Langkah Penetapan Prioritas berdasarkan Risk Priority Number (RPN)
5 Identifikasi akar penyebab masalah dari failure modes (Identify root causes of failure modes)
6 Membuat rancangan ulang proses (Redesign the process)
7 Analisa dan pengujian proses baru (Analyze and test the new process)
8 Implementasi dan monitoring rancangan ulang proses (Implement and monitor the new process)

Langkah untuk menentukan apakah failure modes perlu ditindak lanjuti dengan HFMEA Decision Tree

art-6mei-2a

Langkah Penetapan Prioritas berdasarkan Risk Priority Number (RPN)

# Tahapan Proses Kegagalan OCC SEV DET RPN Prioritas
1              
2              
3              
4