Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Reportase Hari Pertama, International Forum on Quality & Safety in Healthcare tahun 2013
oleh: Hanevi Djasri, dr, MARS

art-22apr-a1

Forum dimulai dengan sesi Keynote I berjudul "All Teach, All Learn" yang disampaikan oleh Maureen Bisognano (President and CEO, Institute for Healthcare Improvement, USA). Beliau menyampaikan tentang pentingnya kita (klinisi, manajer, staf dan pasien) belajar dan mengajari dari satu kepada yang lain, tidak hanya klinisi mengajari pasien/keluarga atau manajer mengajari staf, tetapi juga bisa sebaliknya.

Proses "Belajar dan Mengajar" tersebut bertujuan untuk dapat memperbaiki proses pelayanan yang benar-benar fokus kepada pasien. Hal ini kemudian dianalogikan dengan cerita dalam industri penerbangan, antara maskapai penerbangan Boing yang membangun pesawat super cangih "Dreamliner" namun kemudian mengalami kasus kebocoran baterai dengan maskapai penerbangan Jetblue yang mulai dari lowcost airline namun kemudian mampu membangun sistem pemecahan masalah (terkait dengan perubahan cuaca) sebelum masalah (cuaca) muncul dengan sistem IROPs. (www.jetblue.com)

Agar dapat memberikan pelayanan dengan fokus kepada pasien, maka sarana pelayanan kesehatan harus dapat menggunakan data dan menggunakannya untuk memprediksikan pelayanan ke masa depan, hal ini penting karena selama ini banyak sarana pelayanan kesehatan hanya menggunakan data untuk melihat masa lalu.

Berbagai contoh hasil dari "saling belajar" juga disampaikan oleh Bisognano, misalnya bagaimana ternyata para mahasiwa kedokteran yang pada saat co-ass tahun pertama sangat bersemangat dan memiliki empati untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien, namun begitu menyadari bahwa mereka tidak memiliki wewenang (powerless karena mereka berada di "bottom of hierarchy") maka semangat dan empati tersebut kemudian hilang pada tahun kedua dan ketiga (dan mungkin berlanjut setelah mereka menjadi dokter). Untuk mengatasi hal ini maka sarana pelayanan kesehatan perlu mengembangkan kurikulum untuk meningkatkan empaty para prosesionalnya, IHI melalukan hal ini dengan membuat "IHI Open School").

Contoh lain terkait dengan pelayanan kesehatan bagi pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes bagaimana pasien tidak ingin diperlakukan sebagai orang "bodoh" karena sebenarnya bertahun-tahun dengan penyakit kronis pasien dapat lebih paham mengenai penyakitnya dari pada dokter yang merawat (apalagi dokter yang baru mulai merawatnya). Bila dihitung maka pasien dengan penyakit kronis bisa menghabiskan waktu 5.000 jam pertahun untuk mengurusi penyakitnya tersebut maka tentunya akan memiliki pemahaman yang baik. Pasien penyakit kronis secara umum ingin dijelaskan "mengapa begini mengapa begitu" setiap terapi/nasehat yang diberikan oleh dokter/perawat tidak hanya diminta mematuhi tanpa diberi penjelasan.

Presentasi ditutup dengan pemutaran video dari RS Cleavland Clinic yang menyentuh hati dan mendorong kita untuk bisa memahami berbagai sudut pandang orang lain (pasien, keluarga, klinis, manajer) di sarana pelayanan kesehatan sehingga kita dapat melakukan perubahan yang hasilnya merupakan perbaikan/peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Video tersebut juga dapat diakses melalui youtube di http://www.youtube.com/watch?v=cDDWvj_q-o8

Catatan untuk Indonesia: memberikan pelayanan kesehatan dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pasien masih merupakan sesuatu yang relatif baru bagi Indonesia, umumnya orientasi utama masih bagi para provider (dokter dan sarana pelayanan kesehatan). Berbagai alasan diajukan seperti "pasien tidak mengerti" dan juga "dokter atau sarana pelayanan kesehatan terlalu banyak pasien/sibuk". Untuk merubah hal ini maka perlu ada kebijakan baik dari regulator (Kemenkes/Dinkes) atau dari pengelola sarana pelayanan kesehatan (RS atau Puskesamas). Kebijakan tersebut seperti pelaksanaan pertemuan/diskusi secara rutin dengan perwakilan pasien untuk menggali/memahami persyaratan/harapan pelanggan, tidak hanya sekedar menyebarkan kuesioner/angket kepuasan pelanggan.

Forum kemudian dibagi menjadi berbagai sesi pararel (setidaknya ada 20 sesi pararel setiap harinya). Sesi yang diikuti penulis adalah sesi:

Sesi A2: Transforming Care for Patient with Cancer.

Dibawakan oleh tiga pembicara, yaitu Mats Bojestig (Swedia), Ann Driver dan Natalie Amstrong (UK). Bojestig membahas mengenai upaya meningkatkan mutu pelayanan pada pasien dengan ca colon di Swedia. Mereka telah menetapkan indikator nasional untuk penyakit tersebut, yaitu: indikator waiting time antara hasil radiologi dengan keputusan medis, indikator penerapan ERAS (Enhanced Recovery After Surgery) dan juga indikator pelayanan yang "matchmaking" dengan kebutuhan pasien (terutama pasien dengan stadium 4)

Sedangkan di UK, program perbaikan mutu pelayanan pasien dengan cancer difokuskan kepada kasus ca payudara, yaitu dengan penggunaan clinical pathways dengan fokus utama untuk menurunkan LOS dengan melakukan one-day surgery pada kasus mastektomi (tanpa rekontruksi). Inovasi ini didasari karena tingginya angka waiting time, variasi LOS diantara RS dan juga keinginan pasien agar cepat kembali kerumah. Penyusunan clinical pathways mastektomi untuk breast cancer tidak sulit, namun yang sulit adalah merubah budaya, misalnya menyakinkan para dokter bahwa tidak perlu ada pemasangan drain pada kasus mastektomi tanpa rekonstruksi. Setelah 3 tahun berjalan maka pada saat ini 84% operasi tsb telah sesuai dengan clinical pathways dan LOS turun sebanyak 56% dengan clinical outcome yang tetap sama baik.

Program lain di Inggris adalah untuk lung cancer, yaitu dengan membangun apa yang disebut sebagai "clinical communieties" yaitu sebuah komunitas para klinis (dokter, perawatan dan penunjang medis) untuk dapat membahas, membandingkan dan mencari solusi berbagai masalah dalam pelayanan lung cancer. Komunitas ini bertujuan untuk meningkatkan patient experience, treatment rate hingga ke survival rate. Komunitas ini juga memiliki jejaring kerjasama yang kuat dengan pihak lain seperti pasien, manajer dan regulator.

Catatan bagi Indonesia: Sesi ini (dan juga sesi-sesi berikutnya) mengingatkan pentingnya menetapkan indikator mutu nasional bagi beberapa pelayanan penyakit penting (high cost, high risk, problem prone ataupun high volume) disebuah negara. Dengan adanya penetapan ini indikator ini maka seluruh para klinisi, manajer dan regulator dapat memfokuskan diri untuk berupaya meningkatan mutu pelayanan penyakit tersebut, namun yang lebih penting, pengalaman dalam upaya tersebut dapat digunakan untuk penyakit-penyakit yang lain. Sebagai catatan, di Inggris, organisasi profesi (Royal Collegge of Physician) sejak 1998 telah menetapkan berbagai fokus nasional area upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang dilakukan dengan cara melakukan baseline audit medis, melakukan improvent (melalui berbagai cara) dan melakukan re-audit medis (www.rcplondon.ac.uk). Organisasi profesi di Indonesia (terutama POGI dan IDAI dalam rangka MDG 4 dan 5) perlu juga menerapakan hal ini dengan harapan juga mendapatkan dukungan dari Kementerian Kesehatan (Direktorat Ibu dan Anak misalnya).

Sesi B2: Learn How To Use Improvement Evidence and Best Practice to Deliver Better Quality Care,

dibawakan oleh Helen Morant (Head of Online Learning, BMJ Group, England) dan Peter Green (Medical Director, NHS Medway, England). Sesi ini menjelaskan bahwa diperlukan waktu rata-rata 17 tahun dari sebuah penelitian upaya peningkatan mutu untuk menjadi kegiatan yang dipraktekan sehari-hari. Namun pada masa kini dimana informasi terkait mutu pelayanan klinis/medis bertambah banyak (setiap 5 tahun jumlahnya bertambah menjadi 2 kali lipat lebih banyak) maka diperlukan sebuah sistem informasi (manajemen dan pengetahuan). Sesi ini menjelaskan berbagai "learning tools" yang dapat menyebarluaskan ilmu pengetahuan secara cepat, peran dari software dalam menyedikan informasi realtime terkait dengan peningkatan kinerja dan langsung kepada pemberi pelayanan (point of care) dan juga pengambil keputusan (decision support) serta menyebarlukannya keseluruh dunia.

Morant memberikan contoh hal tersebut diatas dalam hal penanganan stroke di Inggris, bahwa sejak terbitnya artikel peneliltian (tahun 1995) tentang pentingnya pemberian steptokinase dan r-TPA bagi pasien stroke dalam waktu <90 menit, maka dibutuhkan waktu hampir 17 tahun bagi kota London untuk dapat memastikan hal tersebut terlaksana dilapangan (London merupakan kota terbaik di dunia dalam hal kecepatan pemberian r-TPA bagi pasien stroke).

Berbagai upaya dilakukan oleh Dinas Kesehatan kota London, yaitu membangun sistem pelayanan stroke yang terdiri dari penetapan berbagai jenis sarana pelayanan kesehatan yang dapat memberikan layanan stroke dalam berbagai level, menyediakan sistem telemedicine/telestroke (Zaidi, 2011), menyediakan stroke unit, membangun sistem Skynet untuk (panduan on-line dengan sistem real-time) dimana sistem ini tidak hanya memberikan guideline tetapi langsung panduan tahap demi tahap secara realtime kepada para klinisi yang sedang menangani pasien stroke (ini dapat dianalogikan dengan penggunaan peta dengan GPS oleh pengemudi mobil).

Green membahas mengenai berbagai komponen yang diperlukan dalam menerapkan berbagai evidence dalam strategi nasional, yaitu: Melibatkan banyak pihak, menggunakan berbagai strategi untuk melibatkan pihak-pihak tersebut, menggunakan pendekatan skala besar (misalnya di Mexico, quality in healthcare merupakan salah satu isu terpenting dalam healthcare reform, bersama dengan isu equity dan financial).

Green juga menjelasakan bahwa strategi utama untuk hal tersebut diatas adalah: melibatkan berbagai pihak (misalnya pertemuan rutin antara seluruh dinas kesehatan, membuat komite peningkatan mutu), pemberian insentif (misalnya ada dana untuk national quality award dan juga lulus akreditasi dasar sebagai persyaratan menerima dana), meningkatkan awarness (misalnya dengan mengadakan Forum Mutu Pelayanan Kesehatan dan berbagi seremoni lain) menyediakan berbagai pelatihan, memberikan umpan balik (misalnya dengan membangun sistem informasi indikator mutu) dan juga membangun "civil participation".

Catatan bagi Indonesia: Strategi serupa untuk menerapkan evidence dalam meningkatkan mutu juga sudah mulai diterapkan di Indonesia, misalnya untuk menurunkan angka kematian ibu bersalin. Telah terdapat pembahasan berbagai evidence (dari sistematik review di Lancet) mengenai upaya mencegah ibu meninggal karena perdarahan, sepsis dan pre/eklampsia, telah ada upaya untuk melatih dan menetapkan RS PONEK bagi RS yang telah memiliki kompetensi dalam memberikan layanan emergensi dan telah ada upaya membangun sistem rujukan KIA. Namun seperti yang dikatakan oleh Morant dan Green, dibutuhkan upaya yang lebih sistmatis dan melibatkan banyak pihak, dimana upaya ini membutuhkan kebijakan dari Kemenkes (Direktorat Ibu) untuk bisa membuka jejaring yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada Dinas kesehatan, RS, organsisasi profesi seperti POGI, IDAI dan IBI.

Sesi C2 Implementing National Quality Indicators: Building a Team out of Rivals.

Dibawakan oleh Goran Henriks, Beth Lilja dan Jason Leitch. Sesi ini menjelasakan bahwa banyak negara mengalami kesulitan dalam menetapkan dan menerapkan indikator mutu secara nasional terutama mutu pelayanan di rumah-sakit. Pada sesi ini dibahas bagaimana pengalaman dari beberapa negara (Swedia, Skotlandia dan Denmark) dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak bahkan juga dengan pihak yang sering berbeda pendapat (pemerintah, organisasi profesi, RS, perusahaan dan lembaga pembiayaan) untuk mendapatkan manfaat dari penerapan standar mutu nasional.

Jason Leitch (National Clinical Lead for Quality, Scottish Government, Scotland) menjelaskan bahwa di Skotlandia indikator mutu pelayanan kesehatan nasional merupakan bagian dari indikator kinerja nasional (mencakup berbagai pelayanan dan industri). Mereka menerapkan 10 prinsip utama yang juga digunakan dalam pelayanan kesehatan (www.scontlandperform.com).

Pendekatan tersebut menyediakan kerangka kerja peningkatan mutu (national performance framework) yang kemudian dijabarkan menjadi "governance purpose" lalu "hight level target" dan kemudian mejadi "strategic objective" bagi masing-masing sarana pelayanan kesehatan.

Goran Henriks (Director of Learning & Innovation, Jönköping County Council, Sweden) menjelaskan bahwa di Swedia sejak desentraliasi kesehatan maka seluruh hal tentang layanan kesehatan dibandingkan antara daerah (Provinsi/Kabupaten) antara input, proses dan output semua penatalaksanaan penyakit. Perbandingan ini dimungkinkan karena Swedia telah sejak 100 tahun lalu memiliki apa yang disebut sebagai National Patien Register (NPR) yang kemudian sejak tahun 2006 ditambahkan dengan National Quality Register (NQR) yang memiliki 169 indikator pelayanan kesehatan.

Beth Lilja (Head of Department, Unit for Patient Safety, Capital Region of Denmark, Denmark) menjelaskan bahwa di Denmark awalnya indikator mutu "hanya" sekedar digunakan sebagai benchmark namun tidak terlalu banyak digunakan untuk improvement. Indikator juga tidak ditetapkan dalam skala prioritas dan biasanya ditetapkan berdasarkan konsensus (jadi harus disetujui bersama, dan ini proses yang sulit) serta bertujuan utama untuk meningkatkan jumlah pelayanan dan sekaligus menurunkan biaya.

Saat ini Denmark memiliki National Quality Indicator yang terdiri dari: System level indicators (patient experience dan HSMR), Diagnose specific indicators (terdiri dari 62 national clinical quality indicators databases); dan Special Interest Indicators (cancer and heart disease care bundles dan cancer waiting times). Lebih lanjut dari 42 dari 62 clinical indicators kemudian dimasukkan kedalam "Hospital Leadership Information System" sehingga seluruh direktur RS dapat memahami dan membandingkan pencapaian indikator klinis RS masing-masing dan RS lain diseluruh wilayah Denmark.

Catatan bagi Indonesia: Indonesia sendiri sebenarnya telah memiliki indikator mutu pelayanan kesehatan dalam Standar Pelayanan Minimal RS (SPM-RS), namun banyak kendala yang masih perlu ditangani untuk membuat SPM-RS ini menjadi sebuah (cikal bakal) sistem nasional indikator mutu pelayanan kesehatan. Perbaikan tersebut mencakup sosialisasi dan pelatihan penggunaan indikator, monitoring pengukuran dan pengumpulan data indikator, membangun kerangka kerja analisa dan perbaikan atas hasil pengukuran indikator. Kemenkes (Direktorat Penunjang) yang bertanggung jawab terhadap SPM-RS ini dapat menginisiasi hal tersebut.

art-22apr-b

Acara hari I ditutup dengan sesi Keynote II "Achieving More with yang disampaikan oleh Professor Devi Shetty (Rajiv Gandhi University of Medical Sciences, India and University of Minnesota Medical School, USA) dan Dr Ravindran (Chairman Avarind Eye Care System, India). Beliau berdua menyampaikan pengalaman India dalam mengembangkan layanan kelas dunia dengan keterbatasan sarana yang dimiliki.

Shetty menjelaskan mengenai upayanya membangun world class heart center of excellent di India, yaitu dengan melakukan berbagai upaya terobosan dan konsep-konsep baru dalam membangun RS khusus jantung yang murah namun bermutu. Konsep-konsep tersebut cukup kontroversial seperti membangun RS dengan 1000 tempat tidur khusus untuk penyakit jantung, gedung RS tidak menggunakan AC (kecuali untuk kamar operasi), memberdayakan keluarga pasien untuk turut serta dalam memberikan/mengawasi pelayanan kesehatan yang diberikan dan berbagai konsep lainnya.

Ravindran juga menyampaikan hal yang serupa namun untuk RS dan klinik mata dalam rangka berperan serta memerangi kebutaan di India. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan membuat atau mendesain pelayanan khusus bagi para "non-customer" (pasien/masyarakat yang selama ini tidak terlayani karena hambatan biaya). Penjabaran pendekatan ini berupa antara lain: melakukan operasi katarak one day care, tanpa "waiting list" (bisa langsung datang, operasi dan pulang), mengurangi berbagai pemeriksaan yang tidak perlu, mendelegasikan berbagai pekerjaan (dokter spesialis mata hanya melakukan pemerikasaan akhir) hingga membuat sendiri alat kesehatan dan bahan habis pakai yang diperlukan serta menerapkan subsidi silang.

Kedua pembicara ini menegaskan bahwa untuk membangun world class healthcare dengan sumber daya yang terbatas diperlukan adanya: campion, basic value, right perceptive, inovasi, mindset dan leadership.

Catatan untuk Indonesia: berbagai inisiatif sudah dilakukan oleh beberapa pihak untuk membangun sarana pelayanan kesehatan (RS) dengan target utama bagi pasien/masyarakat tidak mampu, misalnya RS tanpa kelas, RS dompet Duafa, dsb. Namun ini masih terbatas untuk menjawab masalah equity, belum dengan target menyediakan pelayanan world class. Dilain pihak beberapa RS swasta sedang berupaya membangun layanan world class, namun tentunya tidak untuk kalangan tidak mampu. Melihat kondisi ini maka perlu ada inisiatif (dapat dari Kemenkes, Dinas Kesehatan atau juga pemiliki RS) untuk mereplikasi apa yang dilakukan oleh Shetty dan Ravindran, yaitu mendesain pelayanan world class bagi para "non-customer"

Oleh : Hary Agus Sanjoto, S.Sos, MPH

art-15apr-1Pelayanan kepada pasien di rumah sakit sudah selayaknya merupakan pelayanan yang holistic, pelayanan yang paripurna. Mulai pasien datang, melakukan pendaftaran, pemeriksaan, hingga pasien pulang. Akan tetapi beberapa kejadian di rumah sakit kadang tidak diperhatikan, yaitu pasien jatuh pada saat mendapatkan pelayanan di rumah sakit. Pasien disini dapat sebagai pasien rawat jalan maupun sebagai pasien rawat inap.

Dalam pelaksanaan program patient safety di rumah sakit, kejadian pasien jatuh merupakan salah satu indikator berjalan tidaknya pelaksanaan program ini. Mendefinisikan pasien jatuh pun memiliki tantangan tersendiri. Miake-Lye at al. (2013) dalam National Database of Nursing Quality Indicators mendefinisikan jatuh sebagai "an unplanned descent to the floor with or without injury", sedangkan World Health Organization (WHO) mendefinisikan jatuh sebagai "an event which results in a person coming to rest inadvertently on the ground or floor or some lower level".

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh rumah sakit dalam mengurangi atau mencegah kejadian pasien jatuh. Pencegahan pasien jatuh adalah masalah yang kompleks, yang melintasi batas-batas kesehatan, pelayanan sosial, kesehatan masyarakat dan pencegahan kecelakaan. Dalam buku "Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care" (2013), menyebutkan bahwa di Inggris dan Wales, sekitar 152.000 jatuh dilaporkan di rumah sakit akut setiap tahun, dengan lebih dari 26.000 dilaporkan dari unit kesehatan mental dan 28.000 dari rumah sakit masyarakat. Beberapa kasus berakibat pada kematian, luka berat atau sedang dengan perkiraan biaya sebesar £ 15 juta per tahun.

Bahkan dalam akreditasi international Joint Commission International (JCI), upaya penanggulangan kejadian pasien jatuh di rumah sakit mendapatkan perhatian khusus. Hal ini seperti disebutkan dalan section 1, chapter 1 yaitu International Patient Safety Goals (IPSG), khususnya Sasaran 6 yaitu Reduce the Risk of Patient Harm Resulting from Falls. Maksud dan tujuan dari sasaran ke 6 dari akreditasi JCI ini adalah sebagian besar cedera pada pasien rawat inap terjadi karena jatuh. Dalam konteks ini rumah sakit harus melakukan evaluasi risiko pasien terhadap jatuh dan segera bertindak untuk mengurangi risiko terjatuh dan mengurangi risiko cedera akibat jatuh. Rumah sakit menetapkan program mengurangi risiko terjatuh berdasarkan kebijakan dan atau prosedur yang tepat. Program ini memantau baik konsekuensi yang diinginkan maupun tidak diinginkan dari tindakan yang diambil untuk mengurangi jatuh. Rumah sakit harus melaksanakan program ini. Maka dalam standar JCI sasaran ke 6 ini disebutkan rumah sakit perlu menyusun cara pendekatan untuk mengurangi risiko cedera yang menimpa pasien akibat jatuh.
Upaya-upaya untuk mengurangi kejadian pasien jatuh di rumah sakit telah banyak dilakukan. Hal ini seperti di rangkum oleh Miake-Lye at al. (2013) dalam tabel dibawah ini,

art-15apr-1a

Pendidikan pada pasien, pemberian tanda beresiko pada bed pasien dan pelatihan pada para staf merupakan intervensi yang paling efektif untuk mengurangi kejadian pasien jatuh. Lebih lanjut dalam proses implementasi intervensi-intervensi di atas, dibutuhkan struktur organisasi yang baik, infrastruktur keamanan yang baik, budaya keselamatan pasien, kerja tim dan leadership.

Dalam buku "Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care" disebutkan upaya upaya untuk mengurangi terjadinya kejadian pasien terjatuh di rumah sakit, yaitu:

  • Membiasakan pasien dengan lingkungan sekitarnya.
  • Menunjukkan pada pasien alat bantu panggilan darurat.
  • Posisikan alat bantu panggil darurat dalam jangkauan.
  • Posisikan barang-barang pribadi dalam jangkauan pasien.
  • Menyediakan pegangan tangan yang kokoh di kamar mandi, kamar dan lorong.
  • Posisikan sandaran tempat tidur rumah sakit di posisi rendah ketika pasien sedang beristirahat, dan posisikan sandaran tempat tidur yang nyaman ketika pasien tidak tidur.
  • Posisikan rem tempat tidur terkunci pada saat berada di bangsal rumah sakit.
  • Menjaga roda kursi roda di posisi terkunci ketika stasioner.
  • Gunakan alas kaki yang nyaman, baik, dan tepat pada pasien.
  • Gunakan lampu malam hari atau pencahayaan tambahan.
  • Kondisikan permukaan lantai bersih dan kering. Bersihkan semua tumpahan.
  • Kondisikan daerah perawatan pasien rapi.
  • Ikuti praktek yang aman ketika membantu pasien pada saat akan ke tempat tidur dan meninggalkan tempat tidur.

Pernyataan yang paling ringkas, akan tetapi memiliki makna yang dalam seperti yang disarankan oleh Standart Akreditasi JCI adalah "The program is implemented". Dengan implementasi beberapa saran dalam tulisan ini diharapkan dapat meminimalkan kejadian pasien terjatuh di rumah sakit. Sehingga salah satu indikator patient safety dapat dilakukan.

Referensi :

Isomi M. Miake-Lye et al. (2013). Inpatient Fall Prevention Programs as a Patient Safety Strategy. A Systematic Review. Annals of Interbal Medicine. Vol 158. No 5

Isomi M. Miake-Lye, BA; Susanne Hempel, PhD; David A. Ganz, MD, PhD; and Paul G. Shekelle, MD, PhD, Annals of Internal Medicine Volume 158 • Number 5 (Part 2), 2013

Preventing Falls in Hospitals: A Toolkit for Improving Quality of Care, Agency for Healthcare Research and Quality, January – http://www.ahrq.gov/professionals/systems/long-term-care/resources/injuries/fallpxtoolkit/index.html , download dari http://www.centerforpatientsafety.org/2013/03/08/thirteen-ways-to-prevent-falls/

Joint Commission International Acreditation Standards for Hospitals. 4th Edition. 2011

 

Oleh : Armiatin SE.,MPH

art-15apr-2Masalah pressure ulcer merupakan masalah global yang dapat dicegah secara luas namun kejadiannya terus meningkat hingga berada pada kisaran patut untuk diwaspadai. Mencegah masalah tersebut sangat penting karena tidak hanya melindungi pasien dari hal yang berbahaya, namun juga dapat mengurangi biaya perawatan pasien. Di beberapa kasus, penanganan pressure ulcer yang terlambat bisa menyebabkan infeksi yang mengancam kehidupan seperti di Amerika setiap tahunnya 60.000 pasien meninggal karena komplikasi dari pressure ulcer di rumah sakit.

Panduan yang diberikan oleh beberapa organisasi seperti Institute for Healthcare Improvement, National Pressure Ulcer Advisory Panel dan AHRW telah menghasilkan keberhasilan implementasi praktek berbasis bukti di seluruh Amerika. Sullivan, N. dan Schoelles, M. (2013) menyatakan bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk pencegahan pressure ulcer adalah penggunaan pelindung permukaan, memposisikan pasien secara teratur, mengoptimalkan status nutrisi dan melembabkan kulit luar. Selain itu, perlu perhatian dari komponen organisasi dan komponen koordinasi perawatan. Komponen organisasi termasuk dalam memilih pemimpin dalam keanggotaan tim, membangun kebijakan dan prosedur, evaluasi proses mutu, memberikan pendidikan pada staf dan komunikasi tertulis mengenai rencana perawatan. Sedangkan komponen koordinasi seperti melakukan pertemuan rutin untuk memfasilitasi komunikasi, kolegalitas dan pembelajaran.

Faktor Eksternal yang Memotivasi untuk Mencegah Pressure Ulcer :

  1. Teamwork atau kerja tim 
    Kebanyakan penelitian menggunakan tim multidisiplin untuk mencegah pressure ulcer misalnya adanya seorang perawat pengawas ostomi luka yang memiliki sertifikat untuk mengkoordinir upaya pencegahan. Stier dkk. (2004), menggambarkan tim terdiri dari ahli klinik yang berasal dari 18 fasilitas yang mana mendiskusikan resiko bervariasi dari tools penaksiran dan protokol fasilitas. Kemudian kelompok multidisiplin mengembangkan protokol seragam, formula perawatan kulit. Sistem kepemimpinan (eksekutif perawat, direktur manajemen mutu dan dokter senior) menyediakan dukungan untuk kelompok pada sistem. Disbie dkk. (2008), menjelaskan bahwa persoalan serius yang berhubungan dengan kulit bisa menjadi lebih baik ditangani oleh grup bersama-sama.
  2. Implementation Tools
    Tools yang dapat digunakan seperti audit dan feedback, pendidikan dan pelatihan. Feedback manajemen real time pada penelitian Rosen dkk. (2006), dengan termometer yang ditunjukkan untuk melacak insiden pressure ulcer mingguan. Feedback informal mingguan oleh pengawas perawat. Tools unik yang digunakan selama sesi pendidikan dan pelatihan seperti yang dilakukan pada penelitian Young J. (2010), yaitu melakukan implementasi dengan cara partisipan duduk di bejana selama 30 menit sebagai pengingat bahwa pressure ulcer bisa terjadi kurang dari 1 jam.
  3. Barriers Solved
    Barriers untuk implementasi seperti staf yang termotivasi, pergantian staf, perlawanan staf dan dokter, dokumentasi tidak konsisten, miss komunikasi antara sistem elektronik, kesulitan dalam mengolah data. Solusi untuk memotivasi staf seperti tambahan pendidikan, dukungan level unit. Dengan mengembangkan kelompok multidisiplin yang kuat, kunjungan bulanan oleh organisasi pengembangan mutu menjadi cara untuk membantu pergantian staf. Sedangkan untuk mengatasi masalah laporan yang tidak konsisten, Horn dkk. (2010), menyarankan untuk menyederhanakan dan menstandarisasi dokumentasi asisten perawat dan menerjemahkan informasi menjadi laporan yang digunakan dalam pertemuan mingguan perencanaan perawatan. Lemaster (2007), menyatakan bahwa 2 sistem dokumentasi elektronik yang berbeda menyebabkan shortfall pada laporan resiko pressure elcer dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut dilakukan transisi ke 1 sistem catatan elektronik universal.
  4. Sustainability
    Beberapa perawatan akut menjelaskan adanya Sustainability atau usaha pencegahan perawatan jangka panjang dengan melakukan studi prevalensi triwulan, mensyaratkan perawat yang telah terdaftar dan terlisensi untuk menunjukkan kompetensi setiap tahunnya. Selain itu, Mc Inerney JA (2008), menjelaskan bahwa perbaikan yang dipublikasikan mengenai tingkat pressure ulcer menjadikan staf akan tetap berfokus pada usaha pencegahan. Lain dengan Courtney BA dkk. (2006), yang memberikan bonus pada staff untuk insiden pressure ulcer, membentuk koordinator perawatan luka (Tippet AW, 2009) dan komite perawatan luka (Ryden MB dkk, 2000).
  5. Cost Savings 
    Rosen, J. dkk. (2006), menyatakan bahwa berdasarkan pada biaya rata–rata sebesar $2.700 untuk perawatan pressure ulcer dapat menurunkan insiden ulcer dengan kira–kira 15 menjadi 12 minggu sehingga menghasilkan penghematan kurang lebih $40.000.
  6. Effects of Context
    Menurut Lyder dkk. (2004) dan Abel RL dkk. (2005), menyatakan bahwa intervensi yang paling dapat dipertahankan adalah yang terinstitusionalisasikan (intitutionalized). Misalnya intervensi yang kurang tergantung pada staf yang memadai (mengubah matras pereda tekanan dan menggunakan alat penilaian risiko) lebih mudah dipertahankan daripada intervensi yang lebih independen pada staf yang memadai (memastikan bahwa setiap pasien pindah tiap 2 jam).

Kesimpulan untuk mencegah terjadinya pressure ulcer perlu berfokus pada perawat yang mengarah pada peningkatan proses perawatan atau hasil kesehatan pasien karena akan meningkatkan perawatan jangka panjang. Selain itu Sullivan, N. dan Schoelles, M. (2013), menyarankan agar dokter dapat melaporkan temuan pressure ulcer, mengabaikan tingkat keberhasilan dan memberikan perhatian besar pada proses perawatan pasien, edukasi staf secara berkelanjutan dan inisiatif pelatihan serta intervensi di tingkat sistem. Penelitian lain juga menyebutkan perlunya integrasi dari beberapa komponen untuk meningkatkan proses perawatan, dimana komponen utama tersebut terdapat simplikasi dan standariasi intervensi dan dokumentasi spesifik. Pressure ulcer, disebutkan juga bahwa keterlibatan tim dan kepemimpinan multidisiplin serta pendidikan staf secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam mendukung strategi pencegahan plessure ulcer.

Berdasarkan sebuah studi tidak hanya di Amerika, insidens kejadian pressure ulcer di Indonesia juga cukup tinggi, namun hingga saat ini belum ada program pencegahan pressure ulcer baik bersifat lokal maupun nasional. Selain itu belum ada penelitian oleh mahasiswa S2 UGM yang meneliti secara spesifik tentang strategi pencegahan plessure ulcer. Sehingga mungkin penelitian Sullivan, N. dan Schoelles, M. (2013), ini bisa dijadikan sebagai acuan untuk meneliti tentang pressure ulcer.

Referensi :

Sullivan, N & Schoelles, M. (2013). Preventing In-Facility Pressure Ulcers as a Patient Safety Strategy. Annals of Internal Medicine. Vol 158. No 5.

 

Lucia Evi Indriarini, SE

art-8apr-3Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identik dengan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit, acap kali memberikan ketakutan tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat menyertai proses pemberian pelayanan kesehatan tersebut. Sebagai contoh, bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan rasa nyeri bagi si pasien, ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memberikan rasa nyeri pada pasien. Sumber-sumber nyeri dapat meliputi; prosedur tindakan medis, tindakan keperawatan, dan prosedur diagnostik.

Nyeri sendiri dapat didefinisikan sebagai "pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan" (The International Association for the Study of Pain, 1979).

Namun dewasa ini, banyak rumah sakit yang telah melakukan upaya intensif untuk mengelola rasa nyeri tersebut, sehingga rasa nyeri yang menyertai tindakan medis, tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada pasien dapat diminimalkan atau dilakukan tindak lanjut yang teratur, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien. Nyeri yang dirasakan pasien dikelola dengan melakukan pemantauan secara kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi Joint Commission International (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian yang dipersyaratkan untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagai bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti tercantum dalam standar akreditasi JCI berikut:

  1. Patient and Family Rights (PFR)
    PFR 2.4 Rumah sakit mendukung hak pasien untuk mendapatkan asesmen dan pengelolaan rasa sakit yang tepat.
  2. Assessment of Patients (AOP)
    AOP 1.7 Semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada.
  3. Care of Patients (COP)
    COP 6. Pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa nyerinya.

COP 7.1. Perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal mengoptimalkan kenyamanan dan martabatnya.
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari seluruh civitas hospitalia yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien, serta peran langsung dari pasien itu sendiri, dimana pasien didorong untuk menyampaikan rasa nyeri yang mereka alami. Sedangkan pada proses pelaksanaannya, pihak rumah sakit dapat mempergunakan beberapa alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan mengkaji intensitas nyeri. Skala pengukuran nyeri sendiri dapat didasarkan pada self report, observasi (perilaku), atau data fisiologis.

Berikut adalah beberapa tools yang dapat dipergunakan berdasar pada 'self report' pasien :

  1. Verbal Rating Scale (VRS): Verbal Rating Scale merupakan jenis pengukuran nyeri yang telah lama dipergunakan dan merupakan pengukuran nyeri dalam bentuk sederhana. Dapat berupa pertanyaan sederhana 'apakah anda merasa nyeri?', yang dapat dijawab pasien dengan 'iya' atau 'tidak'. Namun, biasanya dalam pengukuran ini mempergunakan 4 sampai dengan 5 titik intensitas skala dengan deskripsi seperti; tidak nyeri, sedikit nyeri, nyeri sedang, sangat nyeri.
  2. Visual Analog Scale (VAS): Visual Analog Scale (VAS) adalah instrumen untuk mengukur besarnya nyeri pada garis sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal atau vertikal, dan garis ini digerakkan oleh gambaran intensitas nyeri yang memiliki range dari tidak nyeri sampai dengan rasa nyeri yang ekstrim.
  3. Numerical Rating Scale (NRS): Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya, kisaran angka 0-10 dan pasien diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang dirasakannya.
  4. Faces Rating Scale dari Wong Baker: Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk "no pain" sampai wajah yang berlinang air mata. Pasien dapat menunjukkan dengan gambar, tingkat rasa nyeri yang dirasakannya.

Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian layanan kesehatan kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu diberikan dengan mempedulikan rasa nyeri yang dialami pasien, didukung dengan tools pengkajian nyeri yang sesuai dan terdokumentasi dengan baik serta pemberian manajemen nyeri sesuai pedoman yang ditetapkan.

Referensi:

D. Gould et al. (2001). Journal of Clinical Nursing. Blackwell Science Ltd.
Hockenberry MJ, Wilson D (2009). Wong's Essentials of Pediatric Nursing. 8th Edition. St. Louis. Mosby.
John Hughes. (2008). Pain Management: From Basic to Clinical Practice, 1st Edition. Churchill Livingstone Elsevier.
Joint Commission International Standar Akreditasi Rumah Sakit. Edisi Ke-4. Tahun 2010.