Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu
dan Kendali Biaya Pelayanan Kesehatan

Banyak jalan menuju Roma. Supaya tidak bingung, bacalah peta!

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi Januari-Februari 2013)

Ada yang bilang bahwa proses perawatan pasien adalah proses yang sarat seni "bernilai tinggi". Kalimat di atas tidak melulu salah melihat kenyataan bahwa dalam merawat pasien, dokter kadang memberikan pelayanan yang bervariasi sesuai denga ilmu pengetahuan dan "rasa" yang dimilikinya. Ada kalanya, variasi ini memang diperlukan, mengingat masing-masing pasien juga memiliki variasi kondisi tubuh saat bereaksi terhadap obat dan penyakit yang dideritanya. Namun tidak jarang, variasi yang diberikan malah tidak perlu dan bahkan beresiko membebani pasien. Beban yang paling "mudah" dirasakan adalah beban biaya. Agar kondisi seperti ini bisa dikendalikan, implementasi clinical pathway bisa menjadi jawaban.

Clinical pathway adalah alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan. Secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical pathway adalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien. Clinical pathway menyediakan standar pelayanan minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat waktu. Clinical pathway memiliki banyak nama lain seperti: Critical care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, Caremaps®, atau Anticipated recovery pathway.

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, konsultan dari PMPK FK UGM, terdapat sekitar tujuh tujuan utama implementasi clinical pathway: (1) memilih pola praktek terbaik dari berbagai macam variasi pola praktek, (2) menetapkan standar yang diharapkan mengenai lama perawatan dan penggunaan prosedur klinik yang seharusnya, (3) menilai hubungan antara berbagai tahap dan kondisi yang berbeda dalam suatu proses dan menyusun strategi untuk mengkoordinasi agar dapat menghasilkan pelayanan yang lebih cepat dengan tahap yang lebih sedikit, (4) memberikan informasi kepada seluruh staf yang terlibat mengenai tujuan umum yang harus tercapai dari sebuah pelayanan dan apa peran mereka dalam proses tersebut, (5) menyediakan kerangka kerja untuk mengumpulkan dan menganalisa data proses pelayanan sehingga penyedia layanan dapat mengetahui seberapa sering dan mengapa seorang pasien tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar, (6) mengurangi beban dokumentasi klinik, (7) meningkatkan kepuasan pasien melalui peningkatan edukasi kepada pasien (misalnya dengan menyediakan informasi yang lebih tepat tentang rencana pelayanan).

Secara konvensional, clinical pathway ditulis dalam bentuk fomulir matrix dengan aspek pelayanan di satu sisi, dan waktu pelayanan disisi yang lain (gambar 1). Interval waktu biasanya dalam hitungan hari mengikuti instruksi klinik harian, namun hal ini dapat berbeda tergantung dari perjalanan dan perkembangan penyakit atau tindakan yang ada (misalnya clinical pathway untuk penyakit kronis mungkin memilik interval waktu perminggu atau bulan). Umumnya clinical pathway dikembangkan untuk diagnosa atau tindakan yang sifatnya "high-volume", "high-risk" dan "high-cost". Clinical pathway banyak dikembangkan di rumah sakit, namun saat ini secara bertahap sudah mulai diperkenalkan ke sarana pelayanan kesehatan lain seperti nursing home dan home healthcare.

formclinpath

Gambar 1. Formulir Clinical Pathway Konvensional

Menurut dr. Hanevi Djasri, MARS, berbagai proses dapat dilakukan untuk menyusun clinical pathway, salah satunya terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:

  1. Pembentukan tim penyusun clinical pathway.
    Tim penyusun clinical pathway terdiri dari staf multidisplin dari semua tingkat dan jenis pelayanan. Bila diperlukan, tim dapat mencari dukungan dari konsultan atau institusi diluar RS seperti organisasi profesi sebagai narasumber. Tim bertugas untuk menentukan dan melaksanakan langkah-langkah penyusunan clinical pathway.
  2. Identifikasi key players.
    Identifikasi key players bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penanganan kasus atau kelompok pasien yang telah ditetapkan dan untuk merencanakan focus group dengan key players bersama dengan pelanggan internal dan eksternal
  3. Pelaksanaan site visit di rumah sakit.Pelaksanaan site visit di rumah sakit bertujuan untuk mengenal praktik yang sekarang berlangsung, menilai sistem pelayanan yang ada dan memperkuat alasan mengapa clinical pathway perlu disusun. Jika diperlukan, site visit internal perlu dilanjutkan dengan site visit eksternal setelah sebelumnya melakukan identifikasi partner benchmarking. Hal ini juga diperlukan untuk mengembangkan ide.
  4. Studi literatur.
    Studi literatur diperlukan untuk menggali pertanyaan klinis yang perlu dijawab dalam pengambilan keputusan klinis dan untuk menilai tingkat dan kekuatan bukti ilmiah. Studi ini sebaiknya mengasilkan laporan dan rekomendasi tertulis.
  5. Diskusi kelompok terarah.
    Diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengenal kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dan menyesuaikan dengan kemampuan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan tersebut serta untuk mengenal kesenjangan antara harapan pelanggan dan pelayanan yang diterima. Lebih lanjut, diskusi kelompok terarah juga perlu dilakukan untuk memberi masukan dalam pengembangan indikator mutu pelayanan klinis dan kepuasan pelanggan serta pengukuran dan pengecekan.
  6. Penyusunan pedoman klinik.
    Penyusunan pedoman klinik dilakukan dengan mempertimbangkan hasil site visit, hasil studi literatur (berbasis bukti ilmiah) dan hasil diskusi kelompok terarah. Pedoman klinik ini perlu disusun dalam bentuk alur pelayanan untuk diketahui juga oleh pasien.
  7. Analisis bauran kasus.Analisis bauran kasus dilakukan untuk menyediakan informasi penting baik pada saat sebelum dan setelah penerapan clinical pathway. Meliputi: length of stay, biaya per kasus, obat-obatan yang digunakan, tes diagnosis yang dilakukan, intervensi yang dilakukan, praktisi klinis yang terlibat dan komplikasi.
  8. Menetapkan sistem pengukuran proses dan outcome.
    Contoh ukuran-ukuran proses antara lain pengukuran fungsi tubuh dan mobilitas, tingkat kesadaran, temperatur, tekanan darah, fungsi paru dan skala kesehatan pasien (wellness indicator).
  9. Mendisain dokumentasi clinical pathway.
    Penyusunan dokumentasi clinical pathway perlu memperhatikan format clinical pathway, ukuran kertas, tepi dan perforasi untuk filing. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan dokumentasi ini perlu mendapatkan ratifikasi oleh Instalasi Rekam Medik untuk melihat kesesuaian dengan dokumentasi lain.

Setelah clinical pathway tersusun, perlu dilakukan uji coba sebelum akhirnya diimplementasikan di rumah sakit. Saat uji coba dilakukan penilaian secara periodik kelengkapan pengisian data dan diikuti dengan pelatihan kepada para staf untuk menggunakan clinical pathway tersebut. Lebih lanjut, perlu juga dilakukan analisis variasi dan penelusuran mengapa praktek dilapangan berbeda dari yang direkomendasikan dalam clinical pathway.

Hasil analisis digunakan untuk: mengidentifikasi variasi umum dalam pelayanan, memberi sinyal kepada staf akan adanya pasien yang tidak mencapai perkembangan yang diharapkan, memperbaiki clinical pathway dengan menyetujui perubahan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diteliti lebih lanjut. Hasil analisis variasi dapat menetapkan jenis variasi yang dapat dicegah dan yang tidak dapat dicegah untuk kemudian menetapkan solusi bagi variasi yang dapat dicegah (variasi yang tidak dapat dicegah dapat berasal dari penyakit penyerta yang menyebabkan pelayanan menjadi kompleks bagi seorang individu).

Dengan implementasi clinical pathway, diharapkan pasien benar-benar mendapat pelayanan yang dibutuhkan sesuai kondisinya sehingga biaya yang dikeluarkan pun dapat sesuai dengan perawatan yang diterima dan hasil yang diharapkan. Adanya clinical pathway juga dapat membantu dokter saat melakukan perawatan. Rincian tahapan-tahapan perawatan pasien yang tertera dalam clinical pathway dapat menjadi panduan dokter saat "beraksi". Memang, banyak cara untuk menangani sesuatu, seperti banyaknya jalan menuju Roma. Tetapi bila sering nyasar, maka akan memakan waktu yang panjang untuk mencapai tujuan dan berdampak pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu... bacalah peta sebagai panduan.

 

 

 

Fenomena Medical Tourism dan Potensi Indonesia Menjadi Negara Tujuan Medical Tourism
Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi November-Desember 2012)

Pepatah "hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari pada hujan uang di negeri orang" sepertinya tidak berlaku bagi orang sakit. Pasalnya orang yang sudah sakit pasti tidak mau tertimpa batu juga kan?! Saat ini, orang sakit berlomba-lomba memilih perawatan terbaik untuk kondisi kesehatan yang mereka alami. Mereka tidak mau mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pelayanan yang jelek, tidak profesional bahkan penyembuhan yang kurang optimal. Bila di negeri sendiri tidak ada pelayanan kesehatan yang dapat diandalkan, maka bukan salah mereka bila "meraup uang" atau mencari kebaikan di negeri orang. Mereka lari ke negeri orang untuk mendapat perawatan medis terbaik sekaligus liburan. Mereka melakukan medical tourism.

Medical tourism memiliki banyak alias: medical travel, health tourism, health travel, medical value travel, healthcare abroad, medical overseas, overseas medical, surgery overseas, medical outsourcing dan offshore medical. Medical tourism memiliki arti perjalanan yang dilakukan seseorang ke luar negara tempat tinggalnya untuk mencari perawatan medis. Pasien yang melakukan medical tourism disebut medical tourist. Biasanya medical tourist tidak melakukan perjalanan terlalu jauh dari negara tempat tinggalnya. Tujuan paling dekat adalah negara tetangga, sedangkan tujuan terjauh pun adalah negara-negara yang masih dalam satu benua dengan negara tempat tinggalnya. Dikutip dari Excel International Journal of Multidisciplinary Management Studies, medical tourist dari benua Asia memfavoritkan China, India, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Filipina, Taiwan dan Turki sebagai tujuan medical tourism. Sayangnya, Indonesia masih belum menjadi pilihan mereka.

Tidak jarang perawatan medis yang dikehendaki para medical tourist sebenarnya tersedia di negara tempat tinggal mereka. Namun karena berbagai alasan, mereka lebih memilih perawatan medis di luar negeri. Ada lima faktor yang menjadi penyebab medical tourist mencari perawatan medis di luar negeri. Dikutip dari SQU Medical Journal, kelima faktor tersebut adalah keterjangkauan biaya, ketersediaan jenis perawatan medis, kemudahan mendapat perawatan medis, perawatan medis yang dapat diterima serta alasan tambahan.
Keterjangakauan biaya sangat mungkin menjadi alasan utama para pasien mencari perawatan medis ke luar negeri. Misalnya, di Indonesia seorang pasien harus mengeluarkan biaya Rp. 150.000.000 untuk suatu jenis perawatan medis. Bila pasien pergi ke negara tetangga yang menyediakan perawatan sama tapi dengan biaya lebih murah, maka uang yang dikeluarkan pasien tersebut akan bernilai plus plus. Dengan Rp. 150.000.000 itu ia bisa mendapatkan perawatan medis yang baik sekaligus bisa berwisata di negara tujuannya. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Ketersediaan jenis perawatan medis menjadi alasan kedua seseorang mencari perawatan medis ke luar negeri. Ini memiliki dua pengertian: di negara tempat tinggal pasien memang tidak ada jenis perawatan yang dicari atau di negara tempat tinggal pasien sebenarnya ada jenis perawatan yang dicari namun pasien tidak mempercayai perawatan tersebut. Kedua pengertian ini menjadi dasar pendorong seseorang pergi ke luar negeri untuk mencari perawatan medis. Kemudahan mendapat perawatan medis membuat pasien berbondong-bondong pergi ke luar negeri. Bila perawatan di negeri sendiri sulit didapat, misalnya karena waktu antrian yang panjang, maka mencari perawatan ke luar akan dipilih sebagai solusi. Perawatan medis yang dapat diterima berarti perawatan tersebut tidak bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan pasien. Misalnya pertimbangan agama, pertimbangan politik atau sosial. Bila di negeri sendiri tidak ada perawatan semacam ini, maka pasien tidak akan berpikir panjang untuk lari ke luar negeri. Alasan tambahan yang melatari pasien mencari perawatan ke negara lain dapat bermacam-macam: teknologi perawatan di negara tetangga yang lebih maju, pelayanan di luar negeri yang dirasa lebih profesional dan mungkin alasan untuk sekalian berwisata di negara tetangga. Bila medical tourism dirumuskan dalam sebuah penjumlahan, maka rumusan yang diusulkan dalam Tourismos: An Internatioanl Multidisciplinary Journal of Tourism adalah sebagai berikut:

Medical and Healthcare Services + Tourism and Travel Services + Support Services = MEDICAL TOURISM

Selain potensi keuntungan yang akan didapat para medical tourist di negara tujuan, sederet resiko medical tourism pun berpotensi menimpa mereka. Dalam artikel The Ethics of Medical Tourism Companya Websites yang ditulis Katherine Wertz dan Magdalena Berry, disebutkan sekurangnya terdapat 6 potensi resiko pelaksanaan medical tourism. Asuransi yang tidak mencakup perawatan medis internasional. Asuransi medis dasar yang dimiliki pasien atau asuransi dari pemerintah di negara asal pasien mungkin tidak mencakup perawatan medis internasional. Ini membuat pasien harus membayar biaya tambahan. Efek samping pasca pembedahan. Pada prosedur pembedahan, mungkin saja akan terjadi efek samping pasca pembedahan yang baru diketahui setelah pasien pulang ke negara asal. Untuk menyelesaikan masalah ini, akan cukup merepotkan pasien bila harus kembali lagi ke negara tempatnya mendapat perawatan. Efek samping itu juga dapat berasal dari obat yang diberikan dokter. Selain itu, biasanya follow up pasca perawatan medis di negara asing cukup rendah. Bila ada permasalaha pasca perawatan yang terjadi, akan sulit ditangani dengan optimal. Bantuan terhadap terjadinya malpraktek. Beberapa negara yang menawarkan prosedur medis yang sangat menarik biasanya hanya membantu sedikit bila terjadi kasus malpraktek pada pasien asing. Jelek-jeleknya bisa dibilang bila pasien tertimpa kasus malpraktek, dia hanya bisa pasrah. Terpapar virus di negara tujuan perawatan medis. Selain membawa oleh-oleh suvenir dari negara tujuan perawatan medis, bila para medical tourist memiliki daya tahan tubuh yang rendah, dia juga dapat membawa pulang virus-virus yang hidup di negara tersebut. Kesenjangan komunikasi. Ketika melakukan medical tourism, seorang medical tourist harus mampu berkomunikasi menggunakan bahasa internasional. Ada kalanya kemampuan berbahasa asing yang dimiliki medical tourist kurang baik sehingga menyulitkan saat berkomunikasi dengan dokter yang menanganinya. Bila komunikasi saja sulit, maka informasi yang didapat medical tourist tersebut tidak akan optimal. Perjalanan panjang. Setelah mendapat tindakan pembedahan, seharusnya pasien bersitirahat secara optimal baik di rumah. Namun pasien asing tidak bisa seperti itu. Setelah mendapatkan perawatan medis, khususnya tindakan bedah, pasien asing harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk tiba di rumah dan beristirahat dengan optimal.

Berkaca dari fenomena medical tourism, Indonesia harus berbenah diri dalam hal pelayanan kesehatan. Selain untuk penduduknya sendiri, Indonesia juga harus siap memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat negara asing. Indonesia sebenarnya tidak jelek-jelek amat, bahkan ada salah satu situs agen medical tourism (surgeryplanet.com) yang menjadikan Indonesia sebagai tujuan perawatan medis. Alasan surgeryplanet.com bekerja sama dengan fasilitas kesehatan di Indonesia adalah karena Indonesia dapat memberi perawatan medis yang cukup murah, berkualitas baik dan panorama daerah-daerah Indonesia yang cantik yang layak dikunjungi oleh medical tourist. Ini potensi besar yang bisa kita olah karena saat ini sudah banyak negara yang menjadikan medical tourism seperti industri nasional. Agar dapat menjadi pilihan para medical tourist, penyelenggara layanan kesehatan, aspek pariwisata dan aspek pendukung di Indonesia harus menunjukkan sisi terbaiknya. Tidak bisa biasa-biasa saja.

Penyelenggara layanan kesehatan di Indonesia bisa bekerja sama dengan agen medical tourism untuk mempromosikan pelayanan terbaik yang dipunyai. Dalam berpromosi, pilihlah agen medical tourism yang baik dan buat kesepakatan untuk menyajikan informasi dengan cara-cara sesuai etika. Bila menginformasikan tentang tindakan-tindakan medis yang bisa didapat oleh para medical tourist, maka agen medical tourism tersebut harus menyampaikan juga detail perawatan medis tersebut, alat-alat yang digunakan dan efek samping yang mungkin mengiringi perawatan tersebut.

Bagi penyelenggara layanan kesehatan, siapkanlah pelayanan paripurna bagi calon medical tourist. Penyelenggara layanan kesehatan bisa membuat paket yang berisi perawatan sekaligus penanganan bila terjadi efek samping perawatan hingga follow up perawatan. Karena medical tourist bertempat tinggal jauh dari lokasi penyelenggara layanan kesehatan, paket konsultasi menggunakan media elektronik pastinya akan sangat bermanfaat. Penyediaan penerjemah dari pihak penyelenggara layanan kesehatan juga akan sangat membantu medical tourist. Jangan lupa, penyelenggara layanan kesehatan juga perlu menyiapkan biaya untuk membayar agen medical tourism yang diajak bekerja sama. Untuk meningkatkan nilai jual dimata internasional, penyelenggaran layanan kesehatan khususnya rumah sakit perlu mendapatkan akreditasi internasional dari JCI (Joint Comission International). Dengan akreditasi ini, calon medical tourist menjadi tahu bahwa rumah sakit yang menjadi tujuannya memiliki kualitas layanan kesehatan yang sesuai dengan standar dunia.

Selain persiapan seputar penyelenggaraan layanan kesehatan, persiapan "di luar" itu juga harus diperhatikan. Sebagaimana rumusan "medical tourism = medical and health services + tourism and travel services + support services", maka daya tarik Indonesia di sisi pariwisata dan pendukung juga perlu ditonjolkan. Misalnya mal-mal cantik dan modern di kota-kota besar, wisata alam di beberapa daerah di Indonesia atau situs-situs bersejarah yang ada di Indonesia. Perlu dilakukan pembenahan lokasi-lokasi wisata Indonesia yang masih semrawut dan perawatan rutin untuk lokasi-lokasi wisata yang sudah baik dan terkenal di dunia. Beruntung bila di dekat lokasi penyelenggara layanan kesehatan terdapat tempat-tempat wisata yang bisa dikunjungi medical tourist tanpa perlu menggunakan alat transportasi. Bila medical tourist harus menggunakan sarana transportasi, Indonesia perlu menyiapkan berbagai alternatif sarana transportasi yang terjangkau, aman dan nyaman bagi mereka. Bila negara-negara lain memiliki pengawasan dan tindakan yang lemah terhadap kasus malpraktek pada medical tourist, maka Indonesia harus berbeda. Bila ada penyelenggara layanan kesehatan di negara asing menyelenggarakan perawatan medis yang belum teruji, maka penyelenggara layanan kesehatan di Indonesia tidak boleh seperti itu. Semua aspek yang mendukung medical tourism harus dipersiapkan sebaik-baiknya di Indonesia.

Dengan adanya pembenahan total dalam aspek medis, pariwisata dan pendukung, maka bukan tidak mungkin negara Indonesia akan segera menjadi tujuan medical tourism minimalnya untuk penduduk benua Asia. Kita tidak bisa hanya melarang penduduk Indonesia memilih perawatan medis di negeri orang. Tetapi kita sendiri yang harus berusaha menarik minat penduduk Indonesia, khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya untuk memilih perawatan medis di Indonesia. Boleh dibilang bila kita hanya sibuk melihat rumput tetangga yang lebih hijau, maka rumput di taman kita akan kering kemudian mati sendiri. Bila kita hanya sibuk memandang negara lain yang dijadikan tujuan medical tourism oleh penduduk Indonesia, lama-lama negara kita sendiri yang akan ketinggalan. Indonesia juga layak menjadi tujuan medical tourism, asal ada kemauan untuk berubah lebih baik.

Sumber : Majalah Dental&Dental diterbitkan November-Desember 2012

Akreditasi Rumah Sakit, Pengakuan Atas Kualitas Layanan
Tulis apa yang kamu kerjakan. Kerjakan apa yang kamu tulis.

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi September-Oktober 2012)

Saat ini masyarakat semakin sadar untuk memilih layanan kesehatan yang baik. Beberapa contohnya adalah masyarakat saat ini tidak sungkan lagi untuk mempertanyakan alternatif perawatan yang akan mereka terima sesuai dengan kondisi keuangan mereka saat ini. Mereka juga tidak sungkan lagi untuk berdiskusi dengan dokter mengenai kegunaan dan efek samping obat yang diresepkan dokter kepada mereka. Masyarakat juga mulai kritis mempertanyakan apakah alat kedokteran yang digunakan untuk memeriksa mereka sudah steril atau belum. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin melihat proses sterilisasi tersebut. Bila ada pelayanan yang dirasa kurang memuaskan, masyarakat saat ini tidak malas lagi menegur staf medis yang bersangkutan atau mengeluarkan unek-unek mereka melalui kotak saran. Singkatnya masyarakat mau yang terbaik untuk diri mereka sesuai kondisi mereka saat ini.

Untuk menghadapi dinamika masyarakat sedemikian rupa, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan tidak tinggal diam. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mewajibkan dilaksanakannya akreditasi rumah sakit dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit di Indonesia. Dasar hukum pelaksanaan akreditasi di rumah sakit adalah UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit dan Permenkes 1144/ Menkes/ Per/ VIII/ 2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan. Akreditasi mengandung arti suatu pengakuan yang diberikan pemerintah kepada rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. Rumah sakit yang telah terakreditasi, mendapat pengakuan dari pemerintah bahwa semua hal yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan standar. Sarana dan prasarana yang dimiliki rumah sakit, sudah sesuai standar. Prosedur yang dilakukan kepada pasien juga sudah sesuai dengan standar.

Berdasarkan standar akreditasi versi 2007, terdapat tiga tahapan dalam pelaksanaan akreditasi yaitu akreditasi tingkat dasar, akreditasi tingkat lanjut serta akreditasi tingkat lengkap. Akreditasi tingkat dasar menilai lima kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: Administrasi dan Manajemen, Pelayanan Medis, Pelayanan Keperawatan, Pelayanan Gawat Darurat dan Rekam Medik. Akreditasi tingkat lanjut menilai 12 kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat dasar ditambah Farmasi, Radiologi, Kamar Operasi, Pengendalian Infeksi, Pelayanan Resiko Tinggi, Laboratorium serta Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana (K-3). Akreditasi tingkat lengkap menilai 16 kegiatan pelayanan di rumah sakit, yaitu: pelayanan yang diakreditasi tingkat lanjut ditambah Pelayanan Intensif, Pelayanan Tranfusi Darah, Pelayanan Rehabilitasi Medik dan Pelayanan Gizi. Rumah sakit boleh memilih akan melaksanakan akreditasi tingkat dasar (5 pelayanan), tingkat lanjut (12 pelayanan) atau tingkat lengkap (16 pelayanan) tergantung kemampuan, kesiapan dan kebutuhan rumah sakit baik pada saat penilaian pertama kali atau penilaian ulang setelah terakreditasi. Berdasarkan standar akreditasi versi 2007 ini, sertifikasi yang diberikan kepada rumah sakit berupa: tidak terakreditasi, akreditasi bersyarat, akreditasi penuh dan akreditasi istimewa. Tidak terakreditasi artinya hasil penilaian mencapai 65% atau salah satu kegiatan pelayanan hanya mencapai 60%. Akreditasi bersyarat artinya penilaian mencapai 65% - 75% dan berlaku satu tahun. Akreditasi penuh artinya hasil penilaian mencapai 75% dan berlaku selama 3 tahun. Akreditasi istimewa diberikan apabila dalam tiga tahun berturut-turut rumah sakit mencapai nilai terakreditasi penuh dan status ini berlaku selama 5 tahun. Rumah sakit wajib melaksanakan akreditasi minimal 6 bulan setelah SK perpanjangan izin keluar dan 1 tahun setelah SK izin operasional.

Manfaat implementasi standar akreditasi versi 2007 ini terutama ditujukan bagi penerima layanan kesehatan, pasien. Selain bermanfaat bagi pasien, akreditasi juga bemanfaat bagi petugas kesehatan di rumah sakit, bagi rumah sakit itu sendiri, bagi pemilik rumah sakit dan bagi perusahaan asuransi. Bagi tenaga kesehatan di rumah sakit, akreditasi berfungsi untuk menciptakan rasa aman bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Mereka akan merasa aman karena sarana dan prasarana yang tersedia di rumah sakit sudah memenuhi standar sehingga tidak akan membahayakan diri mereka. Selain itu, sarana dan prasarana yang sesuai standar juga sangat membantu mempermudah proses kerja mereka. Bagi rumah sakit, akreditasi bermanfaat sebagai alat untuk negosiasi dengan pihak ketiga misalnya asuransi atau perusahaan. Dalam hal ini, akreditasi bisa dibilang berfungsi sebagai salah satu alat berpromosi. Bagi pemilik rumah sakit, akreditasi berfungsi sebagai alat untuk mengukur kinerja pengelola rumah sakit. Sedangkan bagi perusahaan asuransi, akreditasi bermanfaat sebagai acuan dalam memilih dan mengadakan kontrak dengan rumah sakit. Perusahaan asuransi enggan mempertaruhkan nama baiknya dihadapan kliennya dengan memilih rumah sakit berpelayanan buruk.

Dalam penerapannya, standar akreditasi versi 2007 memiliki banyak kekurangan. Seperti dilansir dalam situs Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS), standar akreditasi versi 2007 lebih berfokus pada penyedia layanan kesehatan (rumah sakit), kuat pada input dan dokumen namun lemah dalam implementasi dan dalam proses akreditasi kurang melibatkan petugas. Untuk menutupi kekurangan ini, KARS mengembangkan standar akreditasi versi 2012. Standar akreditasi versi 2012 ini memiliki kelebihan yaitu lebih berfokus pada pasien; kuat dalam porses, output dan outcome; kuat pada implementasi serta melibatkan seluruh petugas dalam proses akreditasinya. Dengan adanya perbaikan ini diharapkan rumah sakit yang lulus proses akreditasi versi 2012 ini benar-benar dapat meningkatkan mutu pelayanannya dengan lebih berfokus pada keselamatan pasien.

Standar akreditasi 2012 ini mirip dengan standar akreditasi internasional. Dalam standar akreditasi baru ini terdapat 4 kelompok standar yang terdiri dari 1.048 elemen yang akan dinilai. Keempat kelompok standar akreditasi rumah versi 2012 yaitu: kelompok standar pelayanan berfokus pada pasien, kelompok standar manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien rumah sakit dan sasaran Millenium Development Goals. Dalam kelompok standar pelayanan berfokus pada pasien, komponen penilaian selain berfokus pada hal – hal terkait pelayanan pasien dan keluarga, mulai dari pemenuhan hak-hak pasien, pendidikan pasien dan keluarga sampai ke pelayanan yang akan diberikan kepada pasien. Pada kelompok standar manajemen rumah sakit, komponen yang dinilai misalnya upaya manajemen untuk memberikan dukungan agar rumah sakit dapat memberi pelayanan yang baik kepada pasien. Sasaran keselamatan pasien di rumah sakit dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pelayanan lebih baik dan memperhatikan keselamatan pasien. Jangan sampai pasien yang datang ke rumah sakit membawa pulang penyakit lagi. Sasaran Millenium Development Goals merupakan komponen penilaian tambahan dalam standar akreditasi rumah sakit, khusus di Indonesia. Sasaran-sasarannya berupa penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan kasus HIV dan AIDS serta pengendalian tuberkulosis. Tingkat-tingkat kelulusan berdasarkan standar akreditasi versi 2012 adalah dasar, madya, utama dan paripurna. Tingkat paripurna adalah tingkat kelulusan tertinggi yang dapat diraih oleh rumah sakit. Dalam pelaksanaan akreditasi rumah sakit menggunakan standar akreditasi versi 2012 ini, surveyor akan menemui pasien untuk mencari bukti adanya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit yang berfokus pada keselamatan pasien. Bila tidak ditemukan bukti, maka proses penilaian tidak akan lanjut ke komponen lain. Saat ini seluruh rumah sakit memiliki kewajiban untuk menjaga mutu pelayanannya dengan melaksanakan akreditasi minimal setiap 3 tahun sekali.

Manfaat langsung dari implementasi standar akreditasi versi 2012 adalah rumah sakit akan lebih mendengarkan keluhan pasien dan keluarganya. Rumah sakit akan lebih "lapang dada" menerima kritik dan saran dari pasien dan keluarganya, tidak lagi menjadi pihak yang selalu benar. Rumah sakit juga akan lebih menghormati hak-hak pasien dan melibatkan pasien dalam proses perawatan sebagai mitra. Dalam hal ini, pasien dan keluarganya akan diajak berdiskusi dalam menentukan perawatan terbaik sesuai kondisi pasien saat ini. Implementasi standar akreditasi versi 2012 juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit telah melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan berdasar keselamatan pasien. Selain itu, implementasi standar akreditasi versi 2012 juga akan menciptakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga berkontribusi terhadap kepuasan karyawan. Rumah sakit yang telah lulus akreditasi versi 2012 akan memiliki modal negosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan dan sumber pembayar lainnya dengan lengkapnya data tentang mutu pelayanan rumah sakit. Implementasi standar akreditasi versi 2012 akan dapat menciptakan budaya belajar dengan adanya sistem pelaporan yang tepat dari kejadian yang tidak diharapkan di rumah sakit. Manfaat lain dari implementasi standar akreditasi versi 2012 adalah terbangunnya kepemimpinan kolaboratif yang menetapkan kualitas dan keselamatan pasien sebagai prioritas dalam semua tahap pelayanan.

Tahapan yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan akreditasi adalah: pembinaan akreditasi oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan, bimbingan akreditasi oleh surveyor pembimbing, survei akreditasi oleh surveyor akreditasi dan pendampingan pasca akreditasi oleh tim pendampingan yang terdiri dari Kemenkes, KARS (Komite Akreditasi Rumah Sakit), PERSI daerah dan Dinas Kesehatan. Tahap pembinaan akreditasi bertujuan untuk menyiapkan sistem pelayanan di rumah sakit. Hasil pembinaan berupa rekomendasi yang mencakup aspek hukum atau aspek manajemen pelayanan yang bisa digunakan untuk mengetahui apakah rumah sakit perlu bimbingan atau tidak. Tahap bimbingan akreditasi bertujuan untuk memberikan penjelasan, pemahaman dan penerapan standar pelayanan yang menjadi item penilaian dalam akreditasi. Hasil bimbingan ini berupa rekomendasi tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan rumah sakit dan dokumen yang perlu disediakan untuk mencapai akreditasi. Bila masih membutuhkan bimbingan, rumah sakit berhak untuk meminta bimbingan dari konsultan luar selain KARS untuk mendapat bimbingan lebih intensif. Tahap survey akreditasi merupakan saatnya penilaian terhadap pemenuhan standar rumah sakit menggunakan instrumen akreditasi yang dikeluarkan oleh KARS. Survei akreditasi dilakukan oleh KARS sedangkan sertifikasi diberikan oleh Dirjen Pelayanan Medik DepKes RI berdasarkan rekomendasi KARS. Rumah sakit tidak dapat memilih surveyor akreditasi untuk menjamin objektivitas penilaian. Tahap pendampingan pasca akreditasi bertujuan menindaklanjuti rekomendasi hasil survey akreditasi agar rumah sakit yang telah terakreditasi dapat meningkatkan mutu pelayanan yang masih dibawah standar dan tetap mempertahankan mutu pelayanan yang sudah tercapai. Pendampingan dilaksanakan secara berkala minimal 6 bulan pasca survey akreditasi.

Selain diakreditasi dengan standar nasional, beberapa rumah sakit di Indonesia, khususnya rumah sakit pemerintah, juga akan diakreditasi menggunakan standar internasional. Sebenarnya telah banyak rumah sakit di Indonesia yang terakreditasi secara internasional, namun kebanyakan rumah sakit swasta. Kondisi ini semakin menanamkan kesan bahwa rumah sakit pemerintah memang kurang layak dipercaya dan kurang mampu memberikan pelayanan terbaik baik masyarakat. Rencananya, tujuh rumah sakit besar pemerintah akan dipersiapkan untuk akreditasi internasional pada tahun 2013. Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah bekerjasama dengan lembaga akreditasi internasional yaitu Joint Commission International (JCI) dari Amerika Serikat. JCI dipilih karena paling banyak berafiliasi dengan berbagai rumah sakit besar di dunia dan merupakan salah satu lembaga akreditasi yang dianggap berpengalaman. Akreditasi internasional ini bertujuan untuk "menyetarakan" mutu pelayanan rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit internasional. Dengan adanya akreditasi internasional ini diharapkan tumbuh pula kepercayaan dan pengakuan dari masyarakat bahwa rumah sakit pemerintah mampu memberikan layanan kesehatan terbaik. Dengan pengakuan ini diharapkan dapat membendung arus masyarakat yang berlomba-lomba berobat ke luar negeri. Dengan adanya akreditasi internasional ini, pemerintah menjamin adanya peningkatan mutu layanan kesehatan di rumah sakit pemerintah tanpa diiringi dengan kenaikan harga. Kedepannya, tidak hanya rumah sakit swasta atau pemerintah yang akan mendapat akreditasi tetapi juga Rumah Sakit TNI atau Polri dan Rumah Sakit pendidikan. Terutama rumah sakit pendidikan, penting untuk mendapatkan akreditasi untuk membuktikan bahwa pelayanan yang diberikan rumah sakit ini memang benar-benar merupakan layanan bermutu. Adanya akreditasi bagi Rumah Sakit Pendidikan juga diharapkan dapat meluruskan anggapan masyarakat bahwa mereka akan menjadi "kelinci percobaan" bila menjadi pasien di rumah sakit tersebut.

Untuk mendapatkan tingkat kelulusan akreditasi yang baik, diperlukan adanya kerja sama antar semua pihak di rumah sakit. Semua staf rumah sakit, mulai dari pimpinan puncak sampai staf lapis terbawah harus memiliki semangat yang sama dalam mewujudkannya. Pimpinan puncak hingga ke staf lapisan bawah harus memiliki pemahaman yang sama mengenai alasan dilaksanakannya akreditasi. Jangan sampai ada pihak yang menganggap bahwa akreditasi ini akan menjadi beban yang menambah-nambah kerjaan mereka karena harus bekerja sesuai standar-standar akreditasi. Sejatinya, standar-standar yang dijadikan komponen penilaian dalam survey akreditasi adalah untuk dipenuhi dan diimplementasikan dalam jangka panjang bukan hanya pada saat survey akreditasi. Dengan adanya kerjasama dan semangat yang sama tinggi dari semua pihak di rumah sakit, bukan hal mustahil akan terciptanya layanan kesehatan berkualitas tinggi yang langgeng bagi masyarakat.

Sumber : Majalah Dental&Dental diterbitkan November-Desember 2012

 

Perbaikan Budaya Organisasi, Kunci Perbaikan Mutu Organisasi
Kebiasaan akan membentuk sikap. Sikap akan membentuk karakter

drg. Puti Aulia Rahma, MPH
(seperti ditulis dalam Majalah Dental&Dental edisi Juli-Agustus 2012)

Bila Anda seorang klinisi sekaligus pimpinan sarana pelayanan kesehatan (baik klinik dental, puskesmas, rumah sakit atau lainnya) dan melihat bahwa mutu organisasi yang anda pimpin mengalami penurunan, maka Anda harus segera meninjau dan memperbaiki budaya kerja di organisasi yang anda pimpin!

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Dr. Atik Triratnawati, MA seorang Doktor dari Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, disampaikan bahwa karena organisasi di jalankan oleh manusia, maka organisasi dapat dipandang sebagai makhluk hidup. Organ-organ (baca: individu-individu) di dalam organisasi membawa kebiasaan – kebiasaan individu kemudian berkembang menjadi sikap dan ujungnya adalah menjadi karakter organisasi. Kebiasaan-kebiasaan ini lama-lama akan dianggap wajar dan seolah di"sah"kan sebagai budaya organisasi. Dalam buku Organizational Behaviour karangan Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, budaya awal organisasi merupakan perkembangan dari nilai-nilai para pendirinya dan filosofi bisnis yang didirikan. Seiring perkembangan kehidupan organisasi, budaya asli organisasi akan melekat seperti semula atau berkembang mengikuti kondisi lingkungan saat ini.

Budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang berarti segala hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, budaya disebut culture yang berasal dari kata Latin yaitu colere yang berarti mengolah atau mengerjakan. Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa budaya adalah sesuatu yang dapat dipikirkan, dibentuk, dipelajari dan diterapkan. Oleh karena itu, dalam buku Organizational Behaviour karangan Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, anggota organisasi perlu diajarkan mengenai nilai-nilai, kepercayaan, harapan dan perilaku organisasi melalui mekanisme-mekanisme sebagai berikut: a) Adanya pernyataan formal mengenai filosofi organisasi, misi, visi, nilai-nilai dan instrumen yang digunakan pada saat perekrutan, seleksi dan sosialisasi anggota baru; b) Pembuatan desain ruangan, lingkungan kerja dan gedung yang sesuai dengan budaya organisasi; c) Pembuatan slogan, akronim dan kata-kata khusus; d) Pimpinan memberi contoh langsung, melakukan pelatihan, pendidikan dan pembinaan terhadap anggota; e) Pemberian hadiah, status dan promosi kepada anggota organisasi; f) Cerita, legenda dan mitos mengenai orang-orang kunci di organisasi; g) Aktivitas organisasi, proses atau keluaran yang sangat di perhatikan oleh pimpinan; h) Reaksi pimpinan terhadap peristiwa kritis atau krisis organisasi; i) Bentuk alur kerja dan struktur organisasi; j) Sistem dan prosedur organisasi, dan; k) Penetapan tujuan organisasi dan kriteria yang dikaitkan dalam perekrutan, seleksi, pengembangan, promosi, pemberhentian dan pengunduran diri anggota organisasi.
Supaya individu-individu di dalam organisasi lebih patuh terhadap budaya organisasi yang telah terbentuk, selain dibekali pelatihan untuk menjadi leader yang baik, setiap individu perlu dibekali pelatihan untuk menjadi follower yang baik. Bagi individu yang menempati posisi sebagai leader, dia harus ikhlas memimpin dan mengarahkan bawahannya sesuai budaya organisasi yang terbentuk. Individu yang menempati posisi sebagai follower harus ikhlas dipimpin dan diarahkan sesuai budaya organisasi yang terbentuk. Bila individu-individu dalam organisasi sudah meresapi nilai-nilai dari organisasi, maka budaya yang terbentuk akan lebih ajeg diterapkan.
Lalu apa hubungan antara budaya dan dengan perbaikan mutu?
Dalam buku Total Quality Management karangan Vincent Gasperz, disebutkan bahwa mutu adalah sesuatu yang mampu memenuhi kebutuhan pelanggan karena keistimewaan atau keunggulan suatu produk dapat diukur dari kepuasan pelanggan. Dalam buku Handbook of Organizational Culture and Climate yang diedit oleh Neal M. Ashkanasy, dkk., disebutkan bahwa dalam budaya terkandung hal-hal terkait mutu dan inovasi yaitu values atau nilai-nilai dan norms atau norma.
Values adalah segala hal terkait budaya organisasi. Values juga mempengaruhi perilaku spesifik anggota organisasi. Bila anggota organisasi memiliki values yang baik dalam hal mutu, maka perilakunya tentu akan mengarah kepada hal-hal baik. Beberapa values dalam organisasi yang berorientasi Total Quality Management (TQM) yaitu: pelayanan bermutu yang beriorientasi kepada pelanggan; pengembangan berkelanjutan; pegawai yang menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan saling menghormati; adanya komunikasi, kerjasama dan kerja tim; manajemen berdasarkan fakta; pencegahan masalah mutu; fokus strategis jangka panjang dan tanggungjawab publik. Di bawah manajemen yang berdasarkan values, anggota organisasi diberikan arahan tidak secara harfiah namun dalam bentuk penggambaran sasaran, tujuan dan hasrat organisasi.
Norms atau norma-norma, dalam konteks budaya organisasi dapat diterjemahkan sebagai "serangkaian cara yang dilakukan di dalam organisasi". Secara umum, norms memiliki 2 aspek: apa yang orang lakukan dan pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan seseorang. Norms yang tepat dibutuhkan dalam hal mutu. Hal ini dapat berarti sebagai berikut: kita akan menjadi organisasi yang berorientasi TQM hanya bila TQM dijadikan norms dalam organisasi kita. Norms dan values saling berkaitan. Norms menunjukkan values yang dapat diidentifikasi, misalnya terdapat nilai kerjasama sebagai values tersembunyi dari kegiatan berbagi informasi. Adanya keterkaitan ini menunjukkan bahwa baik norms maupun values mengarah kepada sebuah perilaku.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya mengandung values dan norms yang diterjemahkan dalam bentuk perilaku organisasi. Bila organisasi memiliki budaya yang berorientasi mutu, maka perilaku organisasi juga akan menunjukkan mutu. Agar perilaku ini dapat membawa kepada perbaikan mutu organisasi, menurut buku Handbook of Organizational Culture and Climate yang diedit oleh Neal M. Ashkanasy, dkk., ada 3 hal yang perlu dilakukan: pelatihan, pengukuran dan pemberian hadiah. Pelatihan dapat dianggap faktor sukses bagi mutu organisasi. Bila terdapat konsep mutu yang baru dalam organisasi, maka pelatihan memainkan peran penting. Anggota organisasi perlu diberikan pelatihan mengenai konsep baru tersebut dan juga pelatihan perilaku antar anggota. Setelah anggota organisasi diberikan pelatihan, maka dampak dari pelatihan itu perlu diukur. Banyak sekali aspek yang dapat diukur dalam manajemen mutu misalnya komponen-komponen dalam proses produksi, atau transaksi-transaksi di dalam proses pelayanan pengukuran. Pengukuran juga dapat dilakukan dengan melihat tingkat kecacatan produksi atau tingkat ketidakpuasan pelanggan. Bila anggota organisasi sudah menunjukkan perilaku baik yang berdampak baik bagi organisasi, maka mereka layak mendapat hadiah. Pemberian hadiah dalam bentuk nyata kepada anggota organisasi dapat membantu meningkatkan mutu organisasi. "Budaya" pemberian hadiah atau "budaya menghargai" ini dapat digunakan sebagai dorongan bagi anggota organisasi untuk mengusahakan kinerja yang lebih baik. Adanya budaya menghargai ini, akan membuat kerja tim dan segala peningkatan kinerja anggota organisasi nampak bernilai di mata pimpinan (pihak dalam) dan akan berujung kepada penghargaan dari para pelanggan (pihak luar).
Sebagai penutup, bila organisasi yang Anda pimpin mengalami penurunan mutu, maka lihatlah budaya organisasi yang berkembang di dalamnya. Bila ternyata budaya yang berkembang memang kurang baik, maka perlu dilakukan modifikasi budaya menjadi lebih baik yang sesuai kondisi organisasi Anda saat ini. Dari uraian di atas ditunjukkan bahwa budaya organisasi memang dibentuk mulai dari puncak pimpinan, namun harus disosialisasikan juga kepada para anggota organisasi. Berikan pelatihan, pengukuran dan pemberian hadiah kepada anggota organisasi. Jadilah pimpinan yang tidak hanya dapat memberi contoh baik kepada anggota organisasi, tetapi juga menjadi pimpinan yang mampu menghargai kinerja bermutu baik yang dilakukan anggota organisasi. Dengan adanya penghargaan ini, anggota organisasi akan terpacu untuk terus mengusahakan yang terbaik bagi organisasi tempatnya bernaung.