Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

Headline

Disarikan oleh: Andriani Yulianti, MPH

art-25-2Kegagalan dalam penanganan kasus kedaruratan obstetri umumnya disebabkan oleh kegagalan mengenal resiko kehamilan, keterlambatan rujukan, kurangnya sarana yang memadai untuk perawatan ibu hamil dengan risiko tinggi maupun pengetahuan tenaga medis, paramedis dan penderita itu sendiri dalam mengenali kehamilan resiko tinggi secara dini. Masalah dalam pelayanan obstetri maupun kondisi ekonomi pun ikut berperan didalamnya. Pengetahuan mengenai tanda-tanda kehamilan beresiko oleh si penderita (Ibu hamil atau keluarga) masih sangat minim dilakukan pada negara-negara berkembang termasuk di Asia, namun hal ini bisa diupayakan dengan peningkatan keterampilan pada semua nakes yang bisa diterima dari tenaga kesehatan profesional, seperti bidan, nonphysician, dokter atau perawat. Bagaimanapun juga ini memang selalu menjadi kendala pada negara-negara yang masih memiliki sumber daya rendah, yang mana ada kesulitan untuk memenuhi sesuai dengan standar yang ada.

Pentingnya pelatihan bagi tenaga terkait dengan emergency obstetric seperti yang dikutip dalam jurnal ini adalah dirasa penting dikarenakan pelatihan merupakan elemen kunci didalam mengurangi kematian ibu dan memastikan bahwa selama Ibu hamil, melahirkan dan sampai pada periode setelah melahirkan semua perempuan memiliki akses pelayanan yang sudah diterima dari para profesional kesehatan. Untuk memastikan bahwa pelatihan memang berdampak untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dari para tenaga kesehatan profesional yang mana terlibat dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak perlu melihat terkait dengan ada 4 level kirkpatrick terkait dengan pelatihan yang mana efektifitas dari pelatihan yang dilakukan dapat dinilai:

  1. Bagaimana reaksi tenaga kesehatan terhadap pelatihan yang dilakukan. Apakah mereka menyukainya; apakah pelatihan dirasa sangat berguna?
  2. Apakah pelatihan dapat meningkatkan pengetahuan dan apakah itu dapat meningkatkan keterampilan.
  3. Apakah kemampuan dan keterampilan dalam pelatihan dapat dipraktekan
  4. Apakah pelatihan bisa meningkatkan hasil yang dicapai atau dapat menurunkan angka kematian ibu.

Perlu adanya review terkait dengan pelatihan yang dilakukan agar tepat sasaran tekait dengan pelatihan: ada beberapa metode seperti dibawah ini:

  1. Pelatihan singkat, misalnya pada advance cardiac / trauma life support in obstetrics, manajemen ponek, dan lain-lain.

    Contoh kasus pada pelatihan ATLS dan ACLS, dilakukan pelatihan pendek hanya 2 hari dan sudah termasuk kelas singkat, pilihan sesi antara teori dan praktek dengan melakukan simulasi, melatih untuk situasi emergency seperti terjadi kelainan pada kehamilan, pendarahan berat, preeklamsia berat dan eklamsia dan neonatal rususitasi.
    Reaksi dari pelatihan yang dilakukan secara singkat tersebut memiliki reaksi positiv dari para peserta dan sukses diimplementasikan dibeberapa negara serta memiliki perubahan pada perilaku kerja tenaga kesehatan. Hal yang bisa dipraktekkan terkait dalam level ketiga dari kircpatrick yakni bahwa dengan adanya pelatihan pendek dapat meningkatkan dari servical dilaktasi untuk menyusun permulaan dari laboratorium, peningkatan dalam penggunaan partografh, meningkatkan pengukuran pencegahan infeksi. Selain perubahan pada level ke 3, adapula perubahan terkait dengan level 4 yakni apakah pelatihan dapat memperlihatkan penurunan angka kematian ibu, hal ini terlihat dari angka ibu hamil yang sulit melahikan dan biasanya di tolak oleh tenaga kesehatan menurun dan tercatat ibu yang melahirkan sehat.

  2. Lama atau durasi pelaksanaan pelatihan 

    Dari total 38 paper yang dikaji ada 13 paper yang berbeda saat melakukan program pelatihan, yakni berkisar antara 1-8 minggu. Semua dari program-program tersebut tentu lebih luas dari pengkajiannya dari hanya sekedar pelatihan pendek namun secara keseluruhan maksud dari pelatihan tersebut adalah untuk memperbaiki kualitas, mencakup topik dari keterampilan BLS seperti antenatal care, permasalahan dalam kehamilan dan persalinan, pencegahan infeksi, kerjasama team, komunikasi pencegahan penularan HIV dari Ibu kepada bayinya dan promosi breastfeeding. Tercatat dari 13 program ada 9 yang sudah digunakan dalam praktek klinik untuk mengajarkan keterampilan. Untuk modul dari WHO mengenai pelatihan bidan ada metode pengajaran baru seperti menggunakan drama, permainan dan kelompok kerja yang sudah digunakan. 

    Ada beberapa reaksi dari pelatihan ini yang termasuk dalam kirkpatrick pada level 1bahwa modul dari WHO sudah dapat dipahami di beberap negara dan modul tersebut sudah di uji coba, kemudian untuk pendekatan keterampilan dan pengetahuan dalam ponek adalah satu bagian yang memiliki tanggapan yang sangat bagus baik dari pelatihan pengenalan sebelum pelayanan asuhan kebidanan. 

    Sangat mencengangkan bahwa pada level 2 dari kirkpatrick, ada 6 study yang hanya sedikit memperlihatkan sedikit perubahan keterampilan kepada pelaku pelayanan kesehatan atau bahkan tidak ada perubahan mengenai kemampuan antenatal care, kemampuan nakes dalam hal persalinan dan kelahiran, penggunaan partograf dan manajemen ponek. Di indonesia ada satu kajian yakni dengan membandingkan satu group dengan yang lainnya dan sudah dilatih dan diberikan kesempatan dengan menolong persalinan sebanyak 15 orang dan didukung evaluasi oleh teman sejawatnya setelah diberikan kesempatan tersebut juga dilanjutkan dengan diberikannya pendidikan lanjutan mengenai apa yang sudah diterapkan dan dikembangkan. Untuk group yang satu juga diberikan kesempatan pemberian pelatihan namun hanya dengan sedikit pasien dan tanpa ada dukungan tindak lanjut kedepannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa meskpun sudah melakukan pelatihan dalam waktu yang panjang apabila tidak di folow'up maka tidaka akan memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan tenaga kesehatan. 

    Pada level ke 3 yang termasuk dalam kirkpatrick bahwa keterampilan yang dapat diterapkan atau di praktek, dari beberapa paper yang dilaporkan bahwa perubahan perilaku pada peserta pelatihan ada pada pelatihan partograf, frekuensi pelepasan plasenta uterin dan pelepasan uterin lebih sering dan beberapa peningkatan partisipasi teknik pembersihan dan aseptic. Adapula sisi positive lain mengenai perubahan tersebut yakni dengan kepedulian yang semakin membaik terhadap kekurangan dari manajemen Rumah Sakit, peningkatan perbaikan pada teamwork dan komunikasi. ada salah satu penulisan yang maloporkan bahwa tidak ada peningkatan kemampuan pada praktek antenatal setelah mengikuti selama 3 minggu. Jadi memang pelatihan harus disesuiaikan dengan kebutuhan agar dapat bermanfaat dan dapat diterapkan.

    Pada level ke 3 yang ada dalam kirkpatrick mengenai apakah ada peningkatan hasil yang dicapai dalam menurunkan angka kematian ibu terkait dengan waktu pelatihan yang panjang, pada satu paper hanya menjelaskan bahwa memang ada peningkatan yang dramatis mengenai jumlah rujukan sebanyak >200%, peningkatan kepuasan pelanggan namun pada hasil rata-rata kasus caecar yang didemonstrasikan tidak memiliki banyak perubahan.

  3. Pembelajaran sendiri secara langsung 

    Pada pembelajaran ini tidak perlu dengan jadwal khusus. Adapun dampak dari pembelajaran ini sesuai dengan yang ada dalam level kirkpatrick level 1 tidak di ukur dan pada level ke 2 sudah ada penilaian dari beberapa studi, baik dari pendidikan perinatal program, laboratorium kesehatan reproduksi dan program pembelanjaran mandiri dan hasilnya sudah perubahan kemampuan. Untuk pendidikan perinatal sudah ada hasil perubahan dari keterampilan praktek dengan penomoran dari antenatal and intrapartum proccedure. Untuk level ke 3 ada perubahan perilaku tidak bisa dipastikan karena masih kurang bukti yang menguatkan hal ini. Setelah pengenalan dari perpustakaan kesehatan reproduksi tidak ada memperlihatkan perubahan.

Secara umum beberapa penelitian menjelaskan tentang reaksi yang positif tentang pelatihan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan dilihat 4 level Kirkpatrick tersebut sudah memperlihatkan perubahan, namun ada beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh para pelaku pelayanan kesehatan terkait:

  1. Practising skill 
    Fakta dari seluruh program yang termasuk pelatihan ketermpilan menyarankan bahwa keterampilan itu adalah aspek yg sangat penting meskpiun demikian ada satu penelitian yang menyatakan bahwa membandingkan perbedaan dan menggunakan pendekatan terhadap perbedaan pendekatan keterampilan dan terhadap keuntungan dari praktek klinik. 

    Lama pelatihan yag sering digunakan adalah praktek kinik dibandingkan pelatihan yang bersifat pelatihan pendek dan program pelatihan sendiri secara langsung. Semakin lamanya proses kursus pelatihan itu lebih baik menggunakan metode dengan praktek klinik dibandingkan pelatihan yang bersifat stimulus. Pelatihan pendek yang sifatnya belajar klinis. Pilihan dari metode yang dipilih tergantung dari pilihan aspek logistik dan design pelatihan.

  2. Team approach 
    Pendekatan tim sangat diperlukan untuk memperkuat pelatihan yang pernah didapat. efektifitas teamwork dan komunikasi sangat penting untuk dikembangkan karena bahkan negara eropa barat tidak dapat mengefektifkan teamwork yang ada untuk mendukung penurunan angka kematian ibu dan anak. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada korelasi antara negara maju terkait dengan kesiapan team dan teamwork karena hal ini selalu menjadi masalah terkait dengan penurunan angka kematian ibu dan anak.

    Team work yang baik didapat dari kontribusi dari rekan sesama team dan juga hubungan yang baik dalam hubungan sesama tenaga kesehatan, baik bidan maupun dukun beranak.

  3. Follow-up 
    Di Indonesia peran serta penilaian oleh teman sejawat serta kesinambungan pendidikan pasca pelatihan akan berdampak pada semakin membaiknya skor keterampilan dalam kinerja dibandingkan dengan melakukan pelatihan yans sama tanpa adanya tinjauan ulang dari tim sejawat. Beberapa isu yang didapat dari penulis yang berbeda dalam sebuah paper bahwa faktor yang berkontribusi dalam suksesnya sebuah pelatihan adalah: efektifitas dari pelatihan itu yang ditentukan dari pengaturan pelayanan kesehatan yang mana merupakan adalah pekerjaanya seorang profesional, begitulah pemandangan dari sumber daya yan tersedia. namun demikian adapula yang mengatakan bahwa pelatihan hanya akan efektif jika merupakan bagian dari program keselamatan ibu. Laporan dari program pelatihan seharusnya sudah termasuk dalam sebuah deskripsi isi dari pelatihan yang masuk dalam sesuatu yang diajarkan, menyangkut biaya, seberapa kuat keyakninan dan bagaimana dengan persiapan para pelatih untuk melakukan tugas mereka dan memilih mana pelatihan yang dianggap merupakan bagian yang sangat kuat membantu program penyelamatan ibu.

Daftar Pustaka :

Lonkhuijzen, L., Dijkman,A., Roosmalen, J., Zeeman, G & Scherpbier, A. 2010. A systematic review of the effectiveness of training in emergency obstetricc care in low-resource environment. An International Journal of Obstetrics and Gynaecology.

 effektifeness of training in emergency obstetric

 

replaIHI

Institute for Healthcare Improvement (www.ihi.org) baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah mengembangkan alat bantu peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara on-line yang disebut sebagai "The IHI Improvement Map". Tools ini menyediakan pedoman yang jelas untuk para pengelola sarana pelayanan kesehatan terutama manajer rumah-sakit untuk menetapkan agenda, memilih prioritas, mengorganisasi kegiatan dan mengelola sumber daya secara efisien dalam upaya peningkatan mutu.

IHI telah mengeluarkan versi percobaan pada bulan Juni 2009, namun demikian versi sebenarnya baru akan dikeluarkan pada bulan September 2009. Pada versi ini para fasilitator upaya peningkatan mutu akan mendapatkan akses interaktif, web-based, yang akan menyediakan informasi terbaik secara manajerial dan klinis untuk membantu rumah-sakit menyediakan pelayanan yang terbaik.

Halaman awal web ini akan ditampilkan pilihan tujuan peningkatan mutu sesuai prioritas yang ditetapkan oleh Institute of Medicine, yang dapat dipilih para pengguna, yaitu: Efektifitas; Efisiensi; Keadilan; Fokus kepada pasien; Keselamatan; dan Ketepatan waktu. Berdasarkan tujuan yang dipilih kemudian akan disajikan berbagai upaya peningkatan mutu yang pernah dilakukan berikut dengan hasil, waktu, biaya dan kesulitan serta level evidence-nya. Lebih lanjut setiap upaya tersebut juga dapat dibaca secara detail untuk mempelajari indikator keberhasilan yang digunakan, hubungannya dengan inisiatif nasional, instrumen dan referensi lain yang digunakan.

Informasi lebih lanjut pada:

http://www.ihi.org/IHI/Programs/ImprovementMap/ImprovementMapPreview.htm

Meski tools ini didesain terutama untuk digunakan oleh rumah-sakit di Amerika, tidak ada salahnya kita pelajari dengan baik untuk kemudian kita kembangkan tools serupa bagi rumah-sakit di Indonesia demi kemajuan bangsa. Dirgahayu Indonesia !

 

 

Tanggal 7 Januari 2013 lalu, Joint Commission International (JCI) mengumumkan bahwa edisi baru Standar Akreditasi Rumah Sakit JCI akan segera terbit menggantikan edisi 4 yang saat ini berlaku. Standar Edisi 5 yang telah disusun sejak tahun 2012 ini akan diterbitkan pada tanggal 1 September 2013 dan akan diberlakukan pada tanggal 1 April 2014. Beberapa hal baru dalam edisi ini meliputi proses survey di lapangan, misalnya akan ada survey tanpa pemberitahuan dan beberapa tipe telusur (tracers) baru.

Berita ini mungkin akan mengejutkan bagi beberapa RS yang sedang menyiapkan diri untuk mendapatkan sertifikasi akreditasi dari JCI berdasarkan standar edisi 4, terlebih edisi 4 tersebut juga diadopsi sebagai standar akreditasi KARS versi tahun 2012 dimana terakreditasi KARS dijadikan batu loncatan sebelum terakreditasi internasinoal (JCI). Apakah dengan adanya edisi baru tersebut KARS perlu juga memperbaharusi edisi standarnya? Apakah pengelola RS harus segera mempelajari edisi baru dari JCI ?

Akreditasi RS merupakan salah satu pendekatan pengelolaan mutu yang meliputi semua aspek RS (organisation-wide basis) dengan harapan dapat membangun budaya mutu RS meliputi aspek pembelajaran bagi seluruh staf RS, komunikasi organisasi, kerjasama multidisplin, etika bekerja hingga reputasi rumah-sakit.

Meski standar akreditasi dibutuhkan untuk membangun budaya mutu RS, namun proses membangunnya secara umum sama: memahami dan menetapkan perubahan budaya yang diinginkan (sesuai standar), menilai kondisi yang ada pada saat ini (self asssessment), menyusun rencana kerja, menerapkan rencana kerja (dimulai dari penyusunan dokumen akreditasi, sosialiasi, pelatihan dan supervisi), dan melakukan monitoring evaluasi pemenuhan standar secara periodik.

Bila proses membangun budaya mutu tersebut telah berjalan sehari-hari dimana program akreditasi telah menjadi bagian dari pekerjaan sehari-hari bukan hanya berupa sebuah "project", maka terbitnya sebuah edisi baru dari standar akreditasi tidak akan menjadi sebuah masalah bagi pimpinan dan staf RS. Edisi baru (bahkan standar akreditasi dari lembaga akreditasi yang berbeda) akan langsung masuk kedalam "mesin" budaya mutu RS. (hd)

 

Oleh : Nasiatul Aisyah Salim, SKM.,MPH

artjan28-aisMenetapkan indikator mutu pelayanan klinis, mengukur dan mengevaluasinya secara periodik lalu melakukan intervensi berdasarkan hasil evalusi terbukti efektif meningkatkan mutu. Di Amerika Utara berkurangnya angka kematian di rumah sakit akibat penyakit cardiovascular terutama myocardial infarction akut (AMI) terjadi setelah banyak rumah sakit melaporkan indikator mutu secara rutin untuk membandingkan dan menilai rumah sakit.

 

Berbagai cara dapat dilakukan untuk menetapkan indikator mutu pelayanan klinis, salah satunya dilakukan oleh Hongpeng Sun dan kawan-kawan yang menetapkan 3 jenis indikator mutu yang potensial yaitu indikator struktur, indikator proses dan indikator hasil untuk AMI.

Indikator struktural didefinisikan sebagai aspek lingkungan atau teknis perawatan pasien. Indikator proses atau pengukuran kinerja klinis, meliputi bagaimana dokter menangani pasien. Indikator hasil didefinisikan sebagai perubahan status kesehatan pasien. American Heart Association (AHA) merekomendasikan bahwa aspek struktural perawatan AMI meliputi sarana dan prasarana yang diberikan sejak masa pre-hospitalisasi, IGD, rawat inap dan rawat jalan. Indikator proses didasarkan pada perawatan pharmakologis dan non-pharmakologis sesuai pedoman pelayanan klinis.

Untuk menentukan indikator mutu AMI, Hongpeng Sun dkk menggunakan 3 tahap melalui diskusi panel yaitu :

  1. Menetapkan definisi: Empat panelis dan dua ahli biostatistik dari Harbin diundang dalam pertemuan pertama tatap muka untuk mendiskusikan definisi dari masing-masing indikator, signifikansi klinis dan bagaimana menggunakan indikator.
  2. Menilai indikator mutu yang potensial: Kuesioner penilaian semua indikator dibuat dan dikirim ke anggota panel untuk memperoleh opini ahli. Panelis diminta untuk menilai masing-masing indikator yang potensial sesuai karakteristik berikut : berdasarkan bukti, kegunaan, kamampuan interpretasi, validasi, kemampuan mencegah akibat, kelayakan, dan dugaan secara keseluruhan. Masing-masing karakteristik, menggunakan skala 5 poin : tidak setuju (nilai=1), agak setuju (nilai=2-4), dan setuju (nilai=5).
  3. Menentukan indikator mutu: Dalam diskusi tatap muka kedua, hasil dari penilaian awal dipresentasikan ke para ahli. Panelis mendiskusikan variasi aspek indikator. Fokusnya mendiskusikan apakah indikator ini cocok dengan lingkungan perawatan kesehatan China atau tidak serta menguraikan alasannya. Jika anggota panel setuju ada indikator yang tidak sesuai dengan China maka indikator tersebut dibuang. Opini terakhir para ahli, diambil ketika mencapai sebuah konsensus.

Hasil penetapan indikator mutu pelayanan untuk pelayanan AMI yang disusun oleh Hongpeng Sun adalah sebagai berikut:

  1. Indikator struktur meliputi review administrasi ilmiah rumah sakit, menguatkan peraturan, menaikkan fasilitas medis, dan menjadi latar belakang dasar pemikiran alokasi sumber daya manusia.
  2. Indikator proses meliputi empat indikator pengobatan untuk mengevaluasi prosedur pemberian obat bagai pasien rawat inap meliputi aspirin, clopidogrel, beta-adrenoceptor blocking agent dan terapi thrombolytic.
  3. Indikator hasil meliputi angka kematian di rumah sakit.

Daftar Pustaka :

Hongpeng Sun, Meina Liu & Shuang Hou. Quality Indicators for Acute Myocardial Infarction Care in China. International Journal for Quality in Health Care 2011; Volume 23, Number 4: pp 365-374