Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

madeForum Mutu IHQN 2016 pada 22 September 2016 memasuki hari kedua. Pada sesi pagi ini ada 3 pembicara yang akan membawakan meteri dan dilanjutkan diskusi panel. Materi Membangun Peran Serta Pasien dan Keluarga Untuk Meningkatkan Ketepatan Waktu Berobat menjadi urutan kedua yang akan dibawakan oleh dr. I Made Pudja Yasa, AKK. Made adalah Kepala Divisi Regional (Divre) X BPJS Kesehatan.

Sistem penjaminan biaya kesehatan di Indonesia pada tahun 2014 terjadi pemindahan kepada pihak BPJS Kesehatan atau sekitar 121,6 juta peserta BPJS Kesehatan (49% populasi). Tingkat kepuasan peserta di tahun pertama 75 % dan indeks kepuasan fasilitas kesehatan 65%. Sistem pengelolaan BPJS Kesehatan dilakukan dengan terbuka, efisien dan akuntabel. Saat ini, jumalah peserta BPJS di Sulawesi Utara sebanyak 73% dari populasi. Tentunya BPJS Kesehatan memiliki misi untuk meningkatkan pelayanan kepada peserta dan target peserta di 2019 sebanyak 25,7 juta peserta (100% populasi).

Semenara, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tingkat keberhasilannya diukur dari berbagai pihak. Di Indenesia tingkat kepuasan paling tinggi ada pada sektor kesehatan. Peran BPJS kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan adalah sebagai Purchasher. Strategi promotif dan preventif yang dilakukan BPJS Keehatan kepada peserta adalah dengan menumbuhkan kesadaran pasien dan peran serta keluarga dalam menjalankan hidup sehat. Untuk peserta yang sudah menjalankan pengobatan rutin diharapkan bisa berobat/kontrol tepat waktu, untuk menghindari keparahan penyakit tingkat lanjut. Tentu saja hal ini juga membutuhkan peran keluarga dan orang terdekat dari pasien.

BPJS Kesehtan saat ini sedsang mengembangkan Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS). Melalui sebuah sistem yang memadukan sistem pelayanan kesehatan dan komunikasi kepada populasi yang memiliki kondisi dimana kemandirian merupakan hal utama. Tujuan utama dari Prolanis yaitu mendorong kemandirian peserta dengan cara menumbuhkan kesadaran pasien dan peran serta keluarga serta mengendalikan biaya pelayanan kesehatan dalam jangka panjang. Pasien yang mempumyai penyakit kronis dan mulai stabil dibuatkan suatu komunitas (klub) sesuai dengan jenis penyakitnya. Kegiatan di Prolanis ini seperti pertemuan rutin, senam dan edukasi. Core Coordinator prolanis yaitu dokter keluarga (Primary care).

Dalam sesi diskusi, banyak membahas peran BJPS Kesehatan terhadap peserta dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Bahwa BPJS Kesehatan mendapat data keluarga miskin dari Dinsos setempat, kemudian peserta keluarga miskin (gakin) tersebut mendapat fasilitas Penerima Biaya Iuran, yaitu mereka tidak perlu membayar biaya iuran peserta.

Reporter : Elisa Sulistyaningrum, MPH

 

khalidIHQN–MANADO. Indonesian Healthcare Quality Network (IHQN) dalam forum kali ini mengangkat topik Managemen Keselamatan Dalam Pelayanan Bedah di Rumah Sakit, sesi kali ini Dr. dr. Khalid Saleh, Sp.PD-KKV, FINASIM, MARS yang menjadi narasumber. Khalid mengungkapkan, "Keselamatan pasien itu mutlak harus dilakukan" ini disebabkan karena berdasarkan penelitian oleh WHO (2008) pada negara berkembang angka kematian yang berhubungan dengan pembedahan mencapai 5-10% dan infeksi serta komplikasi pasca pembedahan (post-operative) menjadi perhatian yang serius di berbagai negara.

Tindakan pembedahan merupakan proses yang umum terjadi dalam rumah sakit dan bertujuan menyelamatkan pasien oleh karena itu Undang-undang No. 44 Tahun 2009 yang membahas tentang rumah sakit yang di dalamnya mencakup prasarana yang harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja penyelenggara rumah sakit maka dari itu, tujuan dari manajemen keselamatan dalam pelayanan bedah yaitu meningkatkan keamanan tindakan bedah dengan menciptakan standarisasi prosedur yang aman, mengurangi angka mortalitas, morbiditas, dan disabilitas, serta me-recall memory.

Sikap safety yang membudaya dalam diri setiap tenaga kesehatan, melalui pedoman pelayanan bedah yang telah terstruktur ada 3 komponen penting protokol yaitu proses verifikasi, menandai lokasi yang akan dilakukan operasi, dan time out. Patient Safety di kamar operasi yang menjadi masalah utama bagi rumah sakit yang harus teratur dilakukan antara lain meningkatkan komunikasi, pencegahan Medication Errors, mencegah luka tusuk jarum, memfasilitas lingkungan instalasi bedah yang sehat bebas penyalahgunaan obat dan sebagainya.

Dari semua hal yang terkait dengan pedoman perencanaan ada 10 prinsip pelayanan bedah yang perlu diperhatikan antara lain tim bedah mampu mengoperasi pasien pada lokasi yang tepat, menggunakan cara yang tepat, mengenali dan siap secara efektif, meminimalisasikan risiko infeksi, mencegah ketidaksengajaan, mengkomunikasikan secara efektif segala informasi penting, rumah sakit dan sistem kesehatan menetapkan surveilans rutin tentang surgical capacity, volume, dan result.

Reporter: Ator Nataria

 

 

kuntjoroIHQN–MANADO. Topik yang dibawakan oleh dr. Kuntjoro Adi Purjanto, MKes selaku Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia menjelaskan mengapa pengelolaan sarana prasarana penting untuk keselamatan pasien. Setiap rumah sakit dan pelayanan kesehatan memiliki interaksi yang tidak mudah dan memiliki masalah seperti potensi-potensi kekeliruan, potensi Kecelakaan Tidak Diharapkan (KTD), dan potensi apapun yang terkait dengan risiko-risiko yang akan didapatkan oleh pasien termasuk karyawan serta lingkungannya. Dalam uapay menekan risiko kecelakaan sekecil mungkin pada pasien, maka manajemen risiko diberlakukan. Penyebab Kecelakaan Tidak Diharapkan tersebut meliputi alat kesehatan yang tidak sesuai pelayanan dan kurangnya pelatihan pada Sumber Daya Manusia sehingga sangat diperlukan pengelolaan sarana prasarana yang aman, fungsional dan mendukung bagi pasien, keluarga, staf, pengunjung dan lingkungan.

Prinsip manajemen sarana prasarana harus meliputi perencanaan yang multidisipliner termasuk edukasi dan monitoring. Diperlukan juga 6 dokumen perencanaan yaitu perencanaan keselamatan dan keamanan, pengelolaan bahan berbahaya, manajemen kegawat daruratan, penanganan kebakaran, pengelolaan peralatan medis, dan sistem utilitas.

Teori yang harus diterapkan adalah mengaplikasikan Standar Manajemen Fasilitas dan Keselamatan (MFK) menurut standar Akreditasi KARS 2012 dengan harapan dapat menjamin keselamatan pasien terutama dari fasilitas. Salah satu pembahasan menarik adalah masih minimnya tenaga vokasi contohnya fisikawan medik yang ada di rumah sakit Indonesia sehingga investasi edukasi staf menjadi sangat penting dan edukasi sifatnya tidak pernah berakhir. Oleh karena itu, diharapkan teori Standar MFK yang akan diaplikasikan dapat meningkatkan pengelolaan sarana prasarana fasilitas pelayanan kesehatan untuk keselamatan pasien.

Reporter: Gabriela Vania Samahati

 

julitaIHQN/MANADO. Pelayanan primer saat ini merupakan ujung tombak di dalam keberhasilan sistem Jaminan Kesehatan Nasional, terlebih ketika saat ini kita menuju pada Universal Coverage pada 2019. "Bagaimana peranan pelayanan primer ini? Apakah sudah berfungsi sebagai gate keeper dengan baik? Faktanya dana yang dikeluarkan untuk membayar pelayanan primer ini cukup besar, namun yang di level sekunder pun semakin besar. Ini menunjukan fungsi gate keeper yang masih belum berjalan dengan baik" kata Dr. drg. Yulita Hendrartini, AAK.

Untuk mengukur kualitas atau mutu pelayanan di pemberi pelayanan kesehatan primer dilihat dari input, proses dan output. Input dengan sumber daya manusia, obat, infrastruktur, SOP dan SPM yang mempengaruhi. Proses yang mengutamakan pasien (patient centered) dengan memperhatikan lama waktu tunggu, lama konsultasi, prosedur kerja dan output mengenai kepuasan pasien dan status kesehatan. "Dari input, proses, dan output, diharapkan dapat diakses dengan P-Care. BPJS sebagai satu-satunya badan pengelola sistem jaminan kesehatan bisa mengembangkan sistem informasinya bagi pihak Dinas Kesehatan yang mengawasi maupun dari provider itu sendiri," ujar ahli kebijakan pembiayaan dan manajemen asuransi kesehatan ini.

Enam dimensi mutu pelayanan primer yaitu patient safety, patient centered, efektif, efisien, timely dan adil. Fungsi P-Care yang ada di provider primer yang bekerja sama dengan BPJS memiliki banyak kendala. Saat ini P-Care berfungsi dalam administrasi pelayanan, elegibilitas, utilisasi, persetujuan rujukan, keuangan dan screening yang masih belum efektif karena hanya mendeteksi peserta yang berkunjung ke provider, sementara peserta yang tidak berkunjung, tidak ditangani segera. Provider dapat secara aktif dan otomatis meningkatkan mutu layanan kesehatan dengan berfokus untuk melakukan perbaikan pada area yang membutuhkan. Stakeholder pun mendorong provider primer untuk melakukan pelayanan komprehensif.

Pengembangan P-Care yang dibutuhkan dalam keenam dimensi mutu yakni dengan adanya ID dokter, profil PPK dan sarana PPK dalam software sebagai data untuk menjamin patient safety. Kepuasan pasien yang diukur dengan dikreasikan dalam software P-Care menggunakan emoticon sebagai bahan evaluasi dalam pemenuhan mutu patient centered dan adil. Diagnosa dan data obat yang perlu untuk dimasukan dalam P-Care agar dapat efektif dalam pemberian layanan kesehatan. Pemasukan jam dan hari pelayanan dalam software pun dibutuhkan untuk memperkuat dimensi mutu timely. Untuk menunjang layanan dibutuhkan perbaikan P-Care dengan mengembangkan P-Care agar dapat memuat data per provider yakni profiling provider, penggunaan obat per pasien, kepuasan pasien, timer, dan database per pasien untuk monitoring dan alert system.

Implementasi P-Care masih belum optimal untuk mengukur kualitas pelayanan kesehatan secara komprehensif, P-Care berfungsi administrasi dan sebagai instrumen untuk utilisasi, perbaikan pada P-Care agar dapat menilai setiap dimensi mutu dan perlu dikembangkan standar kinerja pemberi pelayanan kesehatan primer yang mengacu pada 6 dimensi mutu.

Reporter : Gloria M. S. Rusli