Learn, Connect, Growth | Tingkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Indonesia

agenda

tilaarIHQN–MANADO. Akses pelayanan kesehatan di rumah sakit "Apakah pelayanan kesehatan sudah dapat dinikmati oleh semua masyarakat Indonesia?" Inilah pertanyaan pembuka yang dilontarkan oleh dr. Christian Tilaar, M.Sc sebagai pembicara. Begitu banyak program kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah salah satunya adalah BPJS guna untuk memenuhi hak asasi manusia di Indonesia. Pelayanan kesehatan di rumah sakit harus baik dan bermutu, selain itu akses pelayanan kesehatan harus dapat dicapai dimana tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi dan bahasa. Hal –hal tersebut sangat mudah dimengerti tapi sulit untuk dilaksanakan.

Pelayanan rumah sakit baik buruknya dapat diukur dengan cara yang sederhana yaitu dari segi petugas rumah sakit dilihat keramahan, pelayanan yang tepat waktu, dokter yang selalu ada dan lain-lain. Dari segi sarana prasarana rumah sakit dilihat air yang cukup, tersedianya listrik, wc/kamar mandi yang memadai dan lain-lain. Kondisi demografi pun mempengaruhi masyarakat untuk datang ke rumah sakit baik dari jarak yang ditempuh, waktu dan biaya. Hal tersebut dapat memotivasi masyarakat untuk berkunjung ke rumah sakit untuk berobat.

Pelayanan kesehatan di RS pun harus efektif, namun faktanya pasien kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan. Maka ada hal-hal yang harus diperhatikan agar tercipta keseimbangan yaitu harus ada komunikasi yang baik antara petugas dan konsumen (masyarakat/pasien), pelayanan yang memperhatikan sosial budaya masyarakat setempat, rumah sakit harus berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat setempat, menjalin komunikasi yang baik dengan semua pemangku kepentingan lintas sektor maupun lintas program baik sektor Pemerintah, Swasta dan Masyarakat sekitar RS dan Manajemen RS hendaknya memperhatikan kesejahteraan karyawan RS.

Di akhir topik ini ada pertanyaan yang dipaparkan oleh dr. Yopi dari Ambon yaitu "Apa saja kiat-kiat yang dilakukan oleh dr. Christian R. Tilaar, M.Sc selaku direktur rumah sakit waktu masih menjabat untuk mengatasi masalah petugas kesehatan yang cepat pulang dan bekerja tidak optimal ?". dr. Christian R. Tilaar M.Sc menjawab, "Hal tersebut harus disesuaikan dengan keadaan dan kondisi, selain itu melakukan pendekatan antar personal. Di satu sisi juga sebagai pelayan kesehatan harus mensyukuri bahwa profesi kita adalah suatu penghargaan yang tidak semua orang bisa dapatkan, jadi marilah kita menjalankan tugas dengan rasa syukur bukan dengan banyak mengeluh".

Reporter: Agriyen Timbayo

 

ihqnadiPengalaman pasien (patient experience) dapat menjadi cara yang efektif bagi sarana pelayanan kesehatan dalam mendapatkan masukan untuk perbaikan mutu pelayanannya. Hal tersebut menjadi ide dasar dari presentasi yang disampaikan dr. Adi Utarini. Selama ini, mengukur kepuasan pasien (patient satisfaction) merupakan hal yang lazim dilakukan manakala sarana pelayanan kesehatan ingin mendapatkan informasi sebagai dasar perbaikan mutu. Namun menggali kepuasan pasien dianggap memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah konsepnya yang terlalu luas sehingga tidak dapat didefinisikan dengan baik.

Lain halnya dengan pengalaman pasien, yang dapat mengungkapkan patient journey. Pengalaman pasien dapat menggali informasi dari pasien hal apa yang sebenarnya terjadi saat mendapat pelayanan tertentu, episode tertentu, di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan pengalaman pasien, dapat diukur aspek yang dianggap penting oleh pasien ataupun memunculkan hal-hal yang dapat meningkatkan mutu pelayanan menurut pandangan pasien.

Pengukuran pengalaman pasien dapat dilakukan dengan dua cara,yaitu kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif dengan melakukan survei tatap muka, telepon survei, dan cara survei jarak jauh lainnya. Sedangkan cara kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam, Focus Group Discussion, patient Diary. Sudah cukup banyak contoh instrumen pengalaman pasien yang bisa digunakan di rumah sakit maupun primary care.

Satu closing statement dari Adi yang menggambarkan pentingnya pengalaman pasien sebagai dasar perbaikan mutu pelayanan. Disebutkan bahwa tidak semua pasien yang puas terhadap pelayanan dapat menyatakan kepuasannya, begitu juga tidak semua pasien yang tidak puas terhadap pelayanan yang diterima dapat menyatakan ketidakpuasannya.

 

 

ihqntjahMengawali sesi "Mengukur dan Meningkatkan Upaya Mengutamakan Pasien", dr. Tjahjono Kuntjoro mempresentasikan topik tentang "Re-design Alur Pelayanan Menggunakan FMEA". Tjahyono menyampaikan bahwa ada 3 hal yang mendasari dilakukannya desain ulang selain sebagai persyaratan akreditasi RS dan Puskesmas, yaitu kebutuhan akan efisensi, minimalisasi waste serta minimalisasi risiko. Dalam rangka memiminimalkan risiko inilah metode FMEA digunakan sebagai bagian dari manajemen risiko pro aktif di sarana pelayanan kesehatan.

FMEA merupakan alat manajemen risiko untuk mengkaji suatu prosedur (SOP) secara rinci, dan mengenali model-model kegagalan atau kesalahan pada prosedur tersebut. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap tiap model kegagalan tadi dengan mencari penyebab, identifikasi penyebab dan mencari solusi dengan melakukan perubahan terhadap disain atau prosedur tadi.

Diperlukan beberapa langkah dalam penerapan FMEA. Diawali dengan pembentukan tim berisi individu yang terlibat dalam suatu proses atau pelaksana SOP. Berikutnya adalah identifikasi terhadap model-model kegagalan dan penyebab kegagalan serta akibat jika terjadi kesalahan/kegagalan tadi. Setelah itu dilakukan penilaian dan penghitungan risiko terhadap tiap model kegagalan dengan menetapkan Risk Priority Number (RPN). Diperlukan juga penentuan cut of Point dan menetapkan kegiatan yang diperlukan sebelum dilakukan validasi terhadap solusi yang dipilih. Diakhiri dengan penghitungan kembali RPN setelah dlakukan uji coba perbaikan.

Aspek subjektivitas sangat mungkin terjadi pada tahap penilaian risiko untuk memunculkan RPN. Oleh karenanya diperlukan panduan skala risiko dan kecermatan dalam penggunaannya agar aspek subjektivitas dapat diminimalkan. Panduan skala risiko ini dapat diambil dari banyak sumber untuk disesuaikan dengan kebutuhan penerapan FMEA di masing-masing sarana pelayaan kesehatan.

 

 

ihqnhd2IHQN – MANADO. Kegiatan Forum Mutu dilaksanakan untuk mendukung cita-cita terwujudnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), "Menyediakan akses seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali terhadap pelayanan kesehatan dengan mutu yang baik," tutur Hanevi Djasri dalam sesi penutupan rangkaian Forum Mutu XII di Manado. Saat ini program JKN memungkinkan seluruh masyarakat Indonesia untuk mengakses berbagai pelayanan kesehatan. Namun ternyata tidak semua pelayanan kesehatan ini bermutu baik.

Untuk menjawab tantangan ini, Forum Mutu XII banyak membahas materi yang mencakup pengukuran dan peningkatan mutu layanan kesehatan. Pengukuran mutu yang sudah dibahas diantaranya cakupan efektif, pemenuhan standar dan akreditasi, membandingkan antara cost of care dengan kapitasi/ INA CBGs, audit klinis, serta respon time terkait pelayanan yang ada di rumah sakit dan Puskesmas. Metode pengukuran mutu lainnya yang dibahas adalah dengan menggali pengalaman pasien. "Ini satu tingkat lebih tinggi dari menggali kepuasan pasien," ungkap ketua IHQN ini. Pengukuran mutu sangat penting artinya untuk menyusun upaya-upaya peningkatan mutu sesuai enam dimensi mutu dari WHO.

Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan menyelenggarakan Lean manajemen untuk mengurangi pemborosan, "bukan hanya uang, termasuk juga waktu tunggu," jelas Hanevi. Mencegah, mendeteksi, atau bahkan mencegah fraud, juga merupakan bentuk peningakatan mutu dari aspek efisiensi. Peningkatan mutu terkait aspek keselamatan pasien misalnya dengan manajemen bedah, manajemen sarana dan prasarana, serta manajemen obat dan vaksin yang baik. Perbaikan mutu terkait akses dapat dilakukan dengan perbaikan alur untuk mencapai respon time. Peningkatan mutu dari sisi efektivitas misalnya dengan pemberdayaan pasien dan masyarakat maupun penggunaan clinical pathway. "Penerapan clinical pathway itu susah susah gampang, banyak susahnya. Teorinya dua hari selesai, penerapannya butuh waktu yang lebih banyak," tambah Hanevi.

Peningkatan mutu terkait mengutamakan pasien misalnya dengan memperbaiki alur pelayanan dari kaca mata pasien. Berakhirnya rangkaian Forum Mutu XII memberi banyak PR untuk ditindak lanjuti. "Pertama kita sosialisasikan regulasi untuk enam dimensi mutu WHO. Kedua, ini yang sangat penting bagaimana mengembangkan instrumen untuk mengukur enam dimensi mutu," tutur Hanevi. Perlu dilakukan penelitian lebih dalam mengenai topik menggali pengalaman pasien untuk mengembangkan instrumen. Kerangka kerja peningkatan mutu juga perlu disusun agar berbagai pihak mengetahui peran masing-masing dalam upaya mencapai enam dimensi mutu WHO. Terakhir, Hanevi menekankan pentingnya kerja sama antar berbagai institusi untuk tingkatkan mutu layanan kesehatan. "Ini merupakan peran IHQN untuk membangun networking antar organisasi seperti Kemkes, Dinkes, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, persatuan fasyankes, Puskesmas hingga RS, perguruan tinggi, dan IHQN termasuk PERSI."

Reporter: Puti Aulia Rahma, drg., MPH